


Di buat oleh: mira sandrana
Kelas:X.1
Tugas:Agama islam

KATA PENGANTAR
Pertama-tama
perkenankanlah saya selaku penyusun
makalah ini mengucapkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa sehingga
saya dapat menyusun makalah ini dengan
judul Perilaku Terpuji.
Tujuan
disusunnya makalah ini adalah untuk memahami aspek pendidikan agama islam
terutama untuk perilaku terpuji. Dengan mempelajari isi dari makalah ini
diharapkan generasi muda bangsa mampu menjadi islam yang sesungguhnya, saleh,
beriman kepada Allah SWT dan bermanfaat bagi masyarakat.
Ucapan
terima kasih dan puji syukur saya
sampaikan kepada Allah dan semua pihak yang telah membantu kelancaran,
memberikan masukan serta ide-ide untuk menyusun makalah ini.
Saya selaku penyusun telah berusaha sebaik mungkin
untuk menyempurnakan makalah ini, namun tidak mustahil apabila terdapat
kekurangan maupun kesalahan. Oleh karena itu saya memohon saran serta komentar yang dapat
saya jadikan motivasi untuk
menyempurnakan pedoman dimasa yang akan datang.
Daftar isi
·
Kata pengantar ...........................................................
ii
·
Daftar isi ........................................................... iii
· Perilaku terpuji ........................................................... 1
· Hukum dan ibadah dalam islam …………………………… 12
A. Pengertian Perilaku Terpuji
Perilaku terpuji adalah segala sikap, ucapan dan perbuatan
yang baik sesuai ajaran Islam. Kendatipun manusia menilai baik, namun apabila
tidak sesuai dengan ajaran Islam, maka hal itu tetap tidak baik. Sebailiknya,
walaupun manusia menilai kurang baik, apabila Islammeyatakan baik, maka hal itu
tetap baik.
Kita sebagai umatnya tentunya ingin dapat mengikuti apa yang
terjadi tuntutan rasulullah dalam kehidupan sehari-hari sebagai suritauladan
manusia.
Orang yang baik akhlaknya tentunya didalam pergaulan
sehari-hari akan senantiasa dicintai oleh sesama, dan tentunya mereka kelak
dihari kiamat akan masuk surga bersama dengan nabi saw. Sebagaimana beliau
bersabda dalam hadisnya yang artinya sebagai berikut:
“Sesungguhnya
(orang) yang paling aku cintai diantara kalian dan orang yang paling dekat
tempatnya dariku pada hari kiamat adalah oarang yang paling baik budi
pekertinya diantara kalian”.
Harta yang banyak, pangkat yang tinggi atau dimilikinya
beberapa gelar kesarjanaan tak mampu mengangkat derajat manusia tanpa
dimilikinya akhlak terpuji.
Islam hadir dimuka bumi sebenarnya sangat mengedepankan
akhlak terpuji, karena Rasulullah saw. sendiri diutus untuk menyempurnakan
akhlak sebagaimana sabdanya sebagai berikut:
اِنَّماَ بُعِثْتُ لِؤُتَمِّمَ
مَكَأرِمَ اْلأَخْلاَقْ
Artinya:
“Sesungguhnya
aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak”.
Alangkah indahnya ajaran Islam yang memerintahkan untuk
berakhlakul karimah. Jika hidup kita dihiasi dengan ahklak terpuji tentunya
akan dicintai oleh Allah awt dan masyarakatnya akan menjadi baik, temteram dan
damai.
Sebagian manusia, berbicara tentang akhlak terpuji dalam era
globalisassi seperti ini dinilai kuno dan kurang maju. Anggapan ini muncul
karena sedah terpengaruh budaya barat yang dinilai maju dan modern. Akhlak
terpuji amat penting dalam kehidupan manusia, termasuk dalam pergaulan remaja.
Akhmad Syauki Bey (seorang penyair) mangatakan sebagai berikut:
“Sesungguhnya
suatu umat akan tetap memiliki nama harum selama uamat tersebut memiliki akhlak
yang terpuji. Manakala akhlak terpuji telah lenyap, lenyap pulalah nama harum
umat tersebut.
B. Perilaku
Terpuji Terhadap Lingkungan Sosial
Manusia diciptakan Allah swt sebagai makhluk sosial artinya
manusia selalu berhubungan dan membutuhkan bantuan orang lain. Oleh karena itu,
dalam bergaul dengan orang lain harus diperhatikan norma-norma yang ada
sehingga pergaulan antar masyarakat akan berlangsung dengan harmoni. Denagn
demikian setiap manusia dituntut untuk berperilaku terpuji dalam hubungan
dengan orang lain dilingkungan sosialnya tanpa membedakan status sosialnya,
agama, maupun keturunannya. Rasulullah bersabda: “Engkau belum disebut sebagai
orang yang beriman kecuali engkau mencintai orang lain sebagaimana engkau
mencintai dirimu sendiri”.
Macam-macam perilaku terpuji terhadap sesama dalam
masyarakat
1. Ta’aruf
Dalam pergaulan sehari-hari sering kita dengar ungkapan
“tidak kenal maka tidak sayang”. Hal tersebut berlaku untuk apa saja baik itu
dalam perdagangan, perumahan, lingkungan masyarakat dan lain-lain. Begitu juga
dengan sesama manusia, kalau kita belum kenal mungkin kita punya dzan
(sangkaan) yang bermacam-macam. Orang kita sangka baik ternyata belum tentu
baik, orang yang kita sangka buruk belum tentu buruk, oleh karena itu supaya
tidak punya dzan yang bermacam-macam, sabaiknya kita memperkenalkan diri.
Perkenalan bukan hanya dari segi nama saja, tetapi dari berbagai aspek baik itu
keluarga, pendidikan, agama, pekrjaan dan lain-lain.
Itulah makna kita saling kenal mengenal yang dalam bahasa
arab disebut Ta’aruf. Ta’aruf dapat di artikan saling mengenal, saling
mengetahui manusia satu dengan manusia lain. Saling kenal mengenal tersebut
harus didasari dengan kemanusiaan, persaudaraan kecintaan serta ketakwaan
kepada Allah swt . tanpa membedakan ras, keturunan, warna kulit, pangkat
jabatan maupun agama. Dalam ta’aruf perbedaa-perbedaan itu harus kita jauhkan
dan di ganti dengan kasih sayang.
Atas kodrat dan irodat Allah, kita lajir didunia yang
memiliki berbagai macam perbedaan-perbedaan baik bentuk fisik, warna kulit,
rambut, suku bangsa, maupun yang dibentuk oleh manusia itu sendiri seperti
kelompok buruh, majikan dan lain-lain. Adanya perdaan itu jangan dijadikan
alasan untuk permusuhan dan pertentangan akan tetapi harus dijadikan sarana
saling kenal mengenal.
Ajaran tentang persaudaraan dan saling kenal mengenal antar
manusia harus dilandasi dengan landasan yang amat luas. Yang dituju disini
bukan hanya kaum mukmin, malinkan manusia pada umumnya yang mereka itu
seakan-akan satu keluarga dan terbagi menjadi bangsa, kebilah dan keluarga.
Supaya perkenalan menjadi persaudaraan semakin erat, ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan dan kita kerjakan, yaitu sebagai berikut:
a.
Jaga persatuan dan kesatuan, karena pada dasarnya setiap muslim itu adalah
saudara.
b. Sebarkan salam, beri makan
dan sambung tali persaudaraan.
c. Segala urusan
dimusyawarahkan
d. Lemah lembut dan
berseri-seri.
2. Tafahum
Tafahum artinya saling memahami keadaan seseorang, baik
sifat watak maupun latar belakang seseorang.
3. Jujur
Allah meminta kapada manusia dalam membina kehidupan ini
supaya berlaku benar dan jujur, karena kebenaran dan kejujuran merupakan hal
yang pokok dalam kehidupan manusia. Akan tetapi sebaliknya, apabila manusia
melalaikan hal yang pokok ini, maka kehancuran dan kekacauan yang akan menimpa
manusia. Oleh karenanya berpegang teguh pada kejujuran dan kebenaran dalam segala
hal merupakan faktor yang penting dalam membina akhlak bagi orang-orang muslim.
Benar atau jujur artinya sesuainya sesuatu dengan kenyataan
yang sesungguhnya, tidak saja berupa perkataan tetapi juga perbuatan. Dalam
bahasa arab benar atau jujur disebut sidiq (ash shidqu). Benar atau jujur
perkataan artinya mengatakan sesuatu keadaanya yang sebenarnya, tidak
mengada-ngada dan tidak pula menyembunyikan. Akan tetapi, apabila yang
disembunyikan itu suatu rahasia atau menjaga nama baik seseorang, maka itu diperbolehkan.
Benar atau jujur dalam perbuatan ialah melaksanakan suatu pekerjaan sesuai
dengan aturan atau oetunjuk agama. Apabila menurut agama itu diperbolehkan,
maka itu benar, dan apabila perbuatan itu menurut agama dilarang, berarti
perbuatan itu tidak benar.
Benar atau jujur pada diri sendiri berarti kita harus
bersungguh-sungguh untuk meningkatkan kemampuan dan tujuan hidup kita untuk
memberikan sesuatu yang terbaik bagi orang lain, yaitu kita memperlihatkan diri
kita yang sebenarnya, tangpa dibuat-buat, bersih dan lurus. Benar atau juur
kepada orang lain tidak hanya sekedar berbuat dan berkata yang benar, akan
tetapi harus berusaha memberikan manfaat yang sebesar-besarnya. Sebagaimana
disabdakan rasulullah yang artinya: “sebaik-baik manusia adalah mereka yang
paling bermanfaat bagi orang lain.” Disamping memberikan manfaat kepada
orang lain rasulullah juga mencontohkan kepeduliannya terhadap orang lain.
Jujur adalah kata yang mudah umtuk diucapkan, akan tetapi
berat dalam pelaksanaannya. Kejujuran memancarkan kewibawaan, karena orang yang
berlaku jujur dapat menepiskan segala prasangka buruk, dia berni karena benar.
4. Adil
Adil menurut istilah agama adalah sama dalam segala urusan
dan menjalankan sesuai dengan ketentuan agama. Dengan kata lain, adil adalah
mengerjakan yang benar dan menjauhkan yang batil.
Adil adalah jalan bagi seseorang untuk menuju kepada
ketakwaan. Apabila didalam pergaulan hidup ini masing-masing pihak berbuat
sesuai dengan pekerjaannya, maka diharapkan akan terwujud ketenteraman dan
kedamaian didalam masyarakat. Salah satu sifat yang ahrus dimiliki setiap orang
untuk dapat menegakkan kebenaran adalah sifat adil.
Didalam Al-Quran dijelaskan bahwa bersikap adil tidak
pilih-pilih, kepada golongan yang kita bencipun kita haarus tetap berlaku adil.
Dengan berbuat adil, maka akan mendekatkan kita kepada sifat takwa. Firman
Allah SWT dalam Q.S. Al-Maidah:8 yang artinya:
“Dan
janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk
berlaku tidak adil. berlaku adillah, Karena adil itu lebih dekat kepada takwa.
dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu
kerjakan.” (Q.S.
Al-Maidah:8)
5. Amanah
Secara bahasa, amanah adalah kepercayaan, kesetiaan atau
ketulusan hati. Berdasarkan istilah, amanah adalah sesuatu yang dititipkan
kepada pihak lain sehingga menimbulkan rasa aman bagi pemberinya, dan
sebaliknya, pihak penerima memelihara amanah dengan baik.
Dibawah ini akan disampaikan tiga amanah Allah yang pokok
kepada manusia, yaitu sebagai berikut:
1)
Amanah ilmu pengetahuan, yang diberikan kepada manusia yang berpredikat ulama,
kaum cerdik pandai dan para sarjana.. mereka ini bertanggungjawab untuk
memelihara ilmu, menyiarkannya serta mengembangkannya.
2)
Amanah kekuasaan, yang diberikan kepada mereka yang memegang kekuasaan, yaitu
para pemimpin, tokoh masyarakat. Kekuasaan yang ada pada mereka itu merupakan
amaliah Allah yang harus dilaksanakan sesuai dengan norma-norma yang telah
ditentukan oleh Allah.
3)
Amanah harta, amanah ini dilimpahkan Allah kepada mereka hartawan, usahawan,
produsen, supaya dapat mengursnya dengan baik sesuaid engan garis-garis yang
telah ditentukan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Oleh karena itu amanah itu hendaknya diberikan kepada orang
yang mampu melaksanakannya. Begitu juga orang yang menerima amanah harus
menyadari, bahwa amanah yang diterimanya itu harus dapat dipertanggungjawabkan
kepada yang memberi amanah dan kepada Allah SWT.
6. Tasamuh
Tasamuh dapat diartikan sebagai lapang dada, yaitu sikap
tidak terburu-buru menerima atau menolak saran atau pendapat orang lain,
sekalipun hal tersebut menyangkut pada masalah agama, akan tetapi dipikirkan
dalam-dalam dipertimbangkan masak-masak baru menetapkan sikap.
7. Toleransi
Secara bahasa toleransi artinya bersabar, menahan diri dan
membiarkan. Toleransi menghendaki agar kerukunan hidup diantara manusia yang
bermacam-macam paham, keyakinan dapat terhindar dari sifat-sifat kaku, bahkan
menjurus pada sikap-sikap permusuhan.
Pada dasarnya, tujuan utama dalam toleransi adalah
terciptanya kerukunan hidup antar manusia, dan dalam agama Islam juga diajarkan
bahkan merupakan sesuatu ajaran yang sangat prinsip diantara ajaran-ajaran yang
lain. Tuuan yang demikian ini merupakan tujuan utama dari agama Islam dimuka
bumi ini dan sesuai pula dengan kata “Islam” yang berarti “damai” yaitu damai
dengan sesama umat manusia.
8. Ta’awun
Ta’awun artinya tolong menolong. Manusia tidak dapat berbuat
banyak kalau seorangdiri, apalagi untuk kepentingan orang banyak. Karena
manusia tidak dapat hidup sendiri maka manusia memerlukan bantuan atau
pertolongan orang lain, bahkan harus mengikat kerjasama dengan orang lain.
Dampak positif ta’awun dan tasamuh
a. Terwujudnya kehidupan
masyarakat yang rukun dan damai.
b. Tercapai ketentraman batin
hidup bersama masyarakat.
c. Terjalinnya hubungan
batin yang mesra antara sesama manusia.
d. Terwujudnya kesatuan dan
persatuan.
C. Perilaku
Terpuji Terhadap Sesama
1. Akhlak terpuji terhadap
orang lemah
Dalam menghadapi kehidupan didunia ini, Allah telah
memberikan kepada semua manusia antara lain berupa panca indera, akal dan
sebagainya. Namun, diantara manusia ada yang tidak dapat memanfaatkan karunia
dari Allah dengan sempurna karena beberapa sebab. Ada yang disebabkan karena
lanjut usia, karena cacat, lumpuh dan sebagainya.
Kita tentu sangat beruntung dibandingkan dengan mereka, kita
dapat membeyangkan, bagaimana caranya mereka menghadapi kehidupan ini. Kalau
mereka masih mempunyai sanak keluarga yang mampu, mereka dapat membantu
menghidupi keperluan hidupnya. Tetapi, bagi mereka yang sudah tidak mempunyai
sanak keluarga yang mampu, anggota masyarakat seluruhnyalah yang menjadi
harapannya. Untuk itu, umat Islam berkewajiban mengeluarkan sebagian dari
haratanya sebagai zakat untuk mencukupi keperluan hidup mereka. Adapun bagi
orang Islam yang mempunyai sedikit kelebihan dari keperluan hidupnya
sehari-hari dapat membantunya dengan sedikit sesuai dengan kemampuannya.
2. Akhlak terhadap tetangga
Tetangga adalah orang yang terdekat dengan kita. Dekat bukan
karena pertalian saudara ataupun pertalian darah, bahkan mungkin tidak seagama
dengan kita.
3. Akhlak terhadap orang yang
berbeda agama
Agama Islam adalah agama perdamaian, artinya Islam melarang
umatnya mencari lawan, karena mencari lawan merupakan perbuatan yang tertcela
yang dilarang agama. Dalam hal ini keyakinan kita harus berbeda, tetapi dalam
kemasyarakatan kita harus bersatu untuk menjaga kerukunan bersama.
D. Akhlak Terpuji
Kepada Allah
a.
Pengertian Akhlak Terpuji Kepada Allah
Akhlak terpuji disebut juga akhlak mahmudah. Islam
mengjarkan , berakhlak terpuji tidak hanya berhubungan dengan sesama manusia,
tetapi juga terhadap Allah SWT. sebagai Zat Yang Maha Pencipta. Akhlak terpuji
kepada Allah adalah suatu sikap atau perilaku terpuji yang hanya ditujukan
kepada Allah SWT. sebagai hamba ciptaan Allah kita wajib berperilaku terpuji
kepada Allah. Hal ini wujud rasa terima kasih atau bersyukur kepada Allah yang
telah menciptakan manusia dengan segala kelengkapan dan fasilitas untuk
memenuhi kebutuhan hidup manusia.
b.
Macam-macam Akhlak Terpuji Kepada Allah
1.
Ikhlas
Ikhlas adalah melakukan atau mengerjakan sesuatu pekerjaan
semata-mata hanya karena Allah SWT.. Orang yang berbuat ikhlas tidak
mengharapkan balas jasa atau pujian dari orang lain kecuali hanya mengharap
rida dari Allah SWT.. Orang yang beramal secara ikhlas disebut mukhlis.
Dampak positif dari perbuatan ikhlas adalah sebagai berikut:
1) Memperoleh pahala yang
besar dari Allah SWT.
2)
Memperoleh kepuasan batin karena merasa bahwa kebaikan yang dilakukan sesuai
dengan perintah Allah SWT.
3) Merasa lebih dekat dengan
Allah,karena amalnya diterima oleh Allah SWT.
Ada beberapa upaya untuk membiasakan sifat ikhlas antara
lain:
1) Melatih diri untuk beramal
baik saat tidak dilihat oleh orang lain.
2) Tidak merasa kecewa apabila
perbuatan baiknya diremehkan orang lain.
3) Melatih diri agar tidak
merasa bangga jika perbuatan baiknya dipuji orang.
4)
Tidak suka memuji perbuatan baik yang dilakukan seseorang karena hal itu dapat
mendorong pelakunya menjadi riya.
2.
Taat
Taat menurut bahasa berarti tunduk, patuh, dan setia. Adapun
taat dalam berakhlak terpuji kepada Allah ialah tunduk, patuh, dan setia kepada
Allah SWT dan Rasul-nya baik dalam bentuk pelaksanaan perintah maupun
meninggalkan larangannya.
Orang yang taat kepada Allah dan Rasulnya tentu akan
memperoleh dampak positif dari dirinya, antara lain sebagai berikut:
1)
Memperoleh rida dari Allah SWT, karena mampu menaati perintah-nya dan menjauhi
larangan-nya.
2) Memperoleh kepuasan batin
karena telah mampu melaksanakan salah satu kewajibannya kepada Allah dan
Rasul-nya.
3)
Memperoleh kemenangan dan keberuntungan yang besar sesuai firman Allah SWT
dalam Q,S, An-nisa: 13 yang artinya:
Artinya:
“Barangsiapa
taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam syurga
yang mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan
Itulah kemenangan yang besar”.
(Q,S,
An-nisa: 13 )
hukum
dan ibadah dalam islam
PENGERTIAN
DAN PEMBAGIANNYA
Sumber-sumber hukum islam (mashadir al-syari’at) adalah dalil –dalil syari’at yang darinya hukum syari’at digali. Sumber-sumber hukum islam dalam pengklasifikasiannya didasarkan pada dua sisi pandang. Pertama, didasarkan pada sisi pandang kesepakatan ulama atas ditetapkannya beberapa hal ini menjadi sumber hukum syari’at. Pembagian ini menjadi tiga bagian :
1. Sesuatu yang telah disepakati semua ulama islam sebagai sumber hukum syari’at, yaitu al-Qur’an dan al-Sunah.
2. Sesuatu yang disepakati mayoritas (jumhur) ulama sebagai sumber syari’at,yaitu ijma’ dan qiyas.
3. Sesuatu yang menjadi perdebatan para ulama, bahkan oleh mayoritasnya yaitu Urf (tradisi), istishhab(pemberian hukum berdasarkan keberadaannya pada masa lampau) maslahah mursalah (pencetusan hukum berdasarkan prinsip kemaslahatan secara bebas), syar’u man qablana (syari’at sebelum kita), dan madzhab shahabat.
Tentang pembagian ketiga ini, al-Nabhani menyatakan bahwa hal-hal yang disangka sebagai sumber hukum adalah hal-hal yg ditemukan sisi argumentasinya bahwa hal-hal tersebut adalah hujjah,tetapi status dalil tersebut adalah dzanni atau tidak sesuai dengan apa yg ditunjukkannya. Diantaranya yang terpenting adalah syari’at kaum sebelum kita, madzhab sahabat, istihsan dan maslahah mursalah.
Selanjutnya mengenai istishhab, an-Nabhani mengomentari bahwa ia bukan dalil syara’. Karena penetapan sesuatu sebagai dalil syara’ haruslah dengan hujjah yg qath’i. Sedangkan dalam istishhab tidak ada hujjah qath’I yg menetapkannya menjadi dalil syara’. Istishhab tak lebih hanyalah hukum syara’ sehingga dalam penetapan hukumnya cukup menggunakan dalil dzanni. Ia adalah metode pemahaman dan istidlal (metode pencarian dalil) bukan sebuah dalil. Senada dengan pernyatan ini, al-‘Amudi tidak menganggap istishhab sebagai sumber hukum.
Sedangkan sadd al-dzara’I (langkah antisipasi) al-‘Amudi tidak menganggapnya sebagai bagian dari dalil yang mu’tabarah (diperhitungkan legalistasnya) ataupun mauhumah (yang dipersangkakan legalistasnya). Ia bukanlah sumber hukum melainkan hanya sekedar kaidah yg menjadi subordinat dari kaidah dasar ma’alat al-af’al (orientasi kemudian). kaidah ini beserta kaidah-kaidah subordinatnya semisal sadd al-dzara’I , kaidah al-hiyal (rekayasa hukum) dan kaidah mura’at al-khilaf (menghindarkan ketidaksesuaian dengan apa yg disyari’atkan) dan yg lain,sumbernya adalah bahwa syari’at datang dengan tujuan mengedepankan maslahah dan menghindarkan mafsadah.
Pembagian kedua, didasarkan pada cara pengambilan dan perujukannya,sumber hukum islam dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama yaitu sumber-sumber hukum yg dirujuk secara naql (dogmatic) yakni al-Qur’an dan al-Sunah. Hal lain yg disamakan dengan bagian ini adalah ijma’, madzhab sahabat,dan syar’u man qablana. Bagian kedua adalah sumber-sumber hukum islam yg diruju’ secara ‘aql (penalaran logis) yakni qiyas. Hal lain yg disamakan dengan bagian ini adalah istihsan,maslahah mursalah,dan istishhab.
Wahbah al-Zuhaili memaparkan analisisnya mengenai sumber-sumber islam secara ringkas. Menurutnya batasan ringkas mengenai dalil ini bahwasanya dalil-dalil adakalanya merupakan wahyu dan bukan wahyu. Dalil yg merupakan wahyu adakalanya dibacakan dan tidak dibacakan. Wahyu yg dibacakan adalah al-Qur’an dan wahyu yg tidak dibacakan adalah al-sunah. Sedangkan dalil yg bukan merupakan wahyu bila merupakan kesepakatan pendapat atau analisis mujtahid disebut ijma’, bila meruapakan analogi suatu hal terhadap hal lain mengenai status hukumnya Karena adanya persamaan dalam ‘illatnya maka disebut qiyas. Sedangkan bila tidak memiliki criteria-kriteria di atas maka dinamakan istidlal,dan klasifikasi ini memiliki bermacam-macam jenis.
Selanjutnya ia mengulas sisi independensi dalil-dalil ini menjadi dua klasifikasi. Dalil –dalil ini adakalanya merupakan sumber hukum mandiri dalam pensyari’atan yaitu al-Qur’an, al-sunah,ijma’ dan sumber-sumber yg berkaiatn dengannya sebagaimana istihsan,’urf dan madzhab sahabat. Adakalanya dalil-dalil ini merupakan sumber hukum islam yg memiliki ketergantungan, tidak mandiri yaitu qiyas. Yang dimaksud dalil mandiri adalah bahwa sumber hukum ini dalam penetapan hukumnya tidak membutuhkan pada yang lain. Sedangkan qiyas diklasifikasikan tidak mandiri karena dalam penetapan hukum ia masih membutuhkan pada ashl (kasus lama) atau maqis ‘alaih (sumber analogi) yg terdapat dalam al-Qur’an,al-sunah,dan ijma’. Selain itu dalam penggunaannya qiyas membutuhkan pengetahuan dan analisis yg mendalam tentang ‘illat dari hukum ashl. Sedangkan ijma’ walaupun dalam penggunaannya masih membutuhkan sandaran namun hal ini tidak mencegah keberadaanya sebagai dalil mandiri karena hal tersebut dibutuhkan sebagai legalitas dan keabsahan ijma’ sebagai sumber hukum,bukan dari sisi istidlal (penggalian hukumnya) nya, berbeda dengan qiyas.
Sumber-sumber hukum islam (mashadir al-syari’at) adalah dalil –dalil syari’at yang darinya hukum syari’at digali. Sumber-sumber hukum islam dalam pengklasifikasiannya didasarkan pada dua sisi pandang. Pertama, didasarkan pada sisi pandang kesepakatan ulama atas ditetapkannya beberapa hal ini menjadi sumber hukum syari’at. Pembagian ini menjadi tiga bagian :
1. Sesuatu yang telah disepakati semua ulama islam sebagai sumber hukum syari’at, yaitu al-Qur’an dan al-Sunah.
2. Sesuatu yang disepakati mayoritas (jumhur) ulama sebagai sumber syari’at,yaitu ijma’ dan qiyas.
3. Sesuatu yang menjadi perdebatan para ulama, bahkan oleh mayoritasnya yaitu Urf (tradisi), istishhab(pemberian hukum berdasarkan keberadaannya pada masa lampau) maslahah mursalah (pencetusan hukum berdasarkan prinsip kemaslahatan secara bebas), syar’u man qablana (syari’at sebelum kita), dan madzhab shahabat.
Tentang pembagian ketiga ini, al-Nabhani menyatakan bahwa hal-hal yang disangka sebagai sumber hukum adalah hal-hal yg ditemukan sisi argumentasinya bahwa hal-hal tersebut adalah hujjah,tetapi status dalil tersebut adalah dzanni atau tidak sesuai dengan apa yg ditunjukkannya. Diantaranya yang terpenting adalah syari’at kaum sebelum kita, madzhab sahabat, istihsan dan maslahah mursalah.
Selanjutnya mengenai istishhab, an-Nabhani mengomentari bahwa ia bukan dalil syara’. Karena penetapan sesuatu sebagai dalil syara’ haruslah dengan hujjah yg qath’i. Sedangkan dalam istishhab tidak ada hujjah qath’I yg menetapkannya menjadi dalil syara’. Istishhab tak lebih hanyalah hukum syara’ sehingga dalam penetapan hukumnya cukup menggunakan dalil dzanni. Ia adalah metode pemahaman dan istidlal (metode pencarian dalil) bukan sebuah dalil. Senada dengan pernyatan ini, al-‘Amudi tidak menganggap istishhab sebagai sumber hukum.
Sedangkan sadd al-dzara’I (langkah antisipasi) al-‘Amudi tidak menganggapnya sebagai bagian dari dalil yang mu’tabarah (diperhitungkan legalistasnya) ataupun mauhumah (yang dipersangkakan legalistasnya). Ia bukanlah sumber hukum melainkan hanya sekedar kaidah yg menjadi subordinat dari kaidah dasar ma’alat al-af’al (orientasi kemudian). kaidah ini beserta kaidah-kaidah subordinatnya semisal sadd al-dzara’I , kaidah al-hiyal (rekayasa hukum) dan kaidah mura’at al-khilaf (menghindarkan ketidaksesuaian dengan apa yg disyari’atkan) dan yg lain,sumbernya adalah bahwa syari’at datang dengan tujuan mengedepankan maslahah dan menghindarkan mafsadah.
Pembagian kedua, didasarkan pada cara pengambilan dan perujukannya,sumber hukum islam dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama yaitu sumber-sumber hukum yg dirujuk secara naql (dogmatic) yakni al-Qur’an dan al-Sunah. Hal lain yg disamakan dengan bagian ini adalah ijma’, madzhab sahabat,dan syar’u man qablana. Bagian kedua adalah sumber-sumber hukum islam yg diruju’ secara ‘aql (penalaran logis) yakni qiyas. Hal lain yg disamakan dengan bagian ini adalah istihsan,maslahah mursalah,dan istishhab.
Wahbah al-Zuhaili memaparkan analisisnya mengenai sumber-sumber islam secara ringkas. Menurutnya batasan ringkas mengenai dalil ini bahwasanya dalil-dalil adakalanya merupakan wahyu dan bukan wahyu. Dalil yg merupakan wahyu adakalanya dibacakan dan tidak dibacakan. Wahyu yg dibacakan adalah al-Qur’an dan wahyu yg tidak dibacakan adalah al-sunah. Sedangkan dalil yg bukan merupakan wahyu bila merupakan kesepakatan pendapat atau analisis mujtahid disebut ijma’, bila meruapakan analogi suatu hal terhadap hal lain mengenai status hukumnya Karena adanya persamaan dalam ‘illatnya maka disebut qiyas. Sedangkan bila tidak memiliki criteria-kriteria di atas maka dinamakan istidlal,dan klasifikasi ini memiliki bermacam-macam jenis.
Selanjutnya ia mengulas sisi independensi dalil-dalil ini menjadi dua klasifikasi. Dalil –dalil ini adakalanya merupakan sumber hukum mandiri dalam pensyari’atan yaitu al-Qur’an, al-sunah,ijma’ dan sumber-sumber yg berkaiatn dengannya sebagaimana istihsan,’urf dan madzhab sahabat. Adakalanya dalil-dalil ini merupakan sumber hukum islam yg memiliki ketergantungan, tidak mandiri yaitu qiyas. Yang dimaksud dalil mandiri adalah bahwa sumber hukum ini dalam penetapan hukumnya tidak membutuhkan pada yang lain. Sedangkan qiyas diklasifikasikan tidak mandiri karena dalam penetapan hukum ia masih membutuhkan pada ashl (kasus lama) atau maqis ‘alaih (sumber analogi) yg terdapat dalam al-Qur’an,al-sunah,dan ijma’. Selain itu dalam penggunaannya qiyas membutuhkan pengetahuan dan analisis yg mendalam tentang ‘illat dari hukum ashl. Sedangkan ijma’ walaupun dalam penggunaannya masih membutuhkan sandaran namun hal ini tidak mencegah keberadaanya sebagai dalil mandiri karena hal tersebut dibutuhkan sebagai legalitas dan keabsahan ijma’ sebagai sumber hukum,bukan dari sisi istidlal (penggalian hukumnya) nya, berbeda dengan qiyas.
TERTIB URUTAN SUMBER-SUMBER HUKUM
Bila ditelusuri lebih jauh,sumber-sumber hukum islam baik yg telah disepakati para ulama dalam penetapannya maupun yang masih manjadi perdebatan pada dasarnya terkonsentrasi pada sumber uhukum naqliyah(dogmatic) yakni al-Qur’an dan al-sunah. Karena sumber –sumber hukum tidaklah ditetapkan keabsahannya melalui potensi akal namun bergantung kepada adanya legitimasi dari la-Qur’an dan al-sunah. Karena itulah al-Qur’an dan al-sunah adalah dalil primer dalam perujukan hukum-hukum syari’at. Hal ini didasarkan pada dua sisi :
1. Muatan al-Qur’an dan al-sunah mencakup keterangan hukum-hukum parsial dan cabangan secara detail sebagaimana hukum-hukum zakat,perdagangan,dan sanksi-sanksi pelanggaran.
2. Muatan al-Qur’an dan al-sunah yg mencakup kaidah universal yg menjadi sandaran hukum-hukum parsial dan cabangan sebagaimana ijma’ adalah hujjah dan merupakan sumber hukum,begitu pula qiyas dan lain sebagainya.
Legalitas al-Sunah sebagai sumber hukum juga tertera dalam al-Qur’an. Hal ini juga didasarkan pada dua sisi pandang:
1. Al-Qur’an memerintahkan untuk mengamalkan dan berpedoman kepada al-sunah.
2. Al-Sunah memiliki fungsi sebagai penjelas dari kandungan al-Qur’an.
Berdasarkan alasan-alasan di atas maka al-Qur’an adalah sumber dari segala sumber hukum islam. Karenanya dalam perujukan hukum-hukum syari’at al-Qur’an haruslah dikedepankan. Bila di al-Qur’an tidak ditemui maka beralih kepada al-Sunah karena al-sunah adalah penjelas bagi kandungan al-Qur’an. Apabila di al-sunah tidak ditemukan maka beralih kepada ijma’ karena sandaran ijma’ adalah nash-nash al-Qur’qn dan al-Sunah. Bila dalam ijma’ tidak ditemukan maka haruslah merujuk kepada qiyas.
Dengan demikian maka tertib urutan hukum islam adalah al-Qur’an, al-Sunah, ijma’ dan qiyas. Hal ini berdasarkan hadits yg diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal ketika ia diutus oleh Rasulullah SAW menjadi qadli di Yaman. Rasulullah bertanya : “Ketika dihadapkan suatu permasalahan, dengan cara bagaimana engkau member putusan? Mu’adz menjawab “ Saya akan memutusinya berdasarkan kitab Allah. Rasulullah bertanya lagi “ Bila engkau tidak menemuinya di dalam kitab Allah?” Mu’adz menjawab” Saya akan memutusinya dengan sunah Rasulullah”. Rasul kembali bertanya” Bila tidak engkau temukan di dalam sunah Rasulullah?” Mu’adz menegaskan “ Saya akan berijtihad berdasarkan pendapat saya dan saya akan berhati-hati dalam menerapkannya.”kemudian Rasulullah menepuk dada Mu’adz dan berkata” Segala puji bagi Allah yg memberi petunjuk pada utusan Rasulullah dengan apa yg diridlai oleh Allah dan rasul-Nya”.
Diriwayatkan dari Abu Bakar ra,ketika beliau menjumpai suatu permasalahan, maka beliau merujuk kepada kitabullah. Bila tidak dijumpai di dalam kitabullah maka beliau memutusinya dengan sunah Rasulullah SAW. Bila beliau kesulitan menemukannya,maka beliau mengumpulkan beberapa tokoh pilihan dari sahabat kemudian mengajaknya musyawarah. Bila forum bersepakat maka Abu Bakar memutusinya dengan kesepakatan itu. Demikian pula langkah Umar bin Khathab serta sahabat yg lain dan diikuti oleh kaum muslimin setelahnya.
2.
Macam-macam sumber hukum Islam :
a.
Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam yang berisi firman-firman Allah SWT. Yang di wahyukan dalam bahasa Arab kepada Nabi Muhammad SAW. Dan bagi orang yang membacanya termasuk ibadah.
Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam yang berisi firman-firman Allah SWT. Yang di wahyukan dalam bahasa Arab kepada Nabi Muhammad SAW. Dan bagi orang yang membacanya termasuk ibadah.
b.
Hadits
Hadits disebut juga dengan sunah yang artinya segala tingkah laku Nabi Muhammad baik berupa perkataan, perbuatan maupun ketetapannya.
Hadits disebut juga dengan sunah yang artinya segala tingkah laku Nabi Muhammad baik berupa perkataan, perbuatan maupun ketetapannya.
Menurut
para ulama, hadits terbagi menjadi 6 macam, yaitu:
1) Hadits Qauli (ucapan, perkataan, atau pernyataan nabi)
2) Hadits Fi’li (perbuatan, perilaku, atau yang dikerjakan nabi)
3) Hadits Taqriri (persetujuan atau ketetapan dalam hati nabi)
4) Hadits Qudsi (pesannya dari Allah redaksinya dari Nabi Muhammad SAW)
5) Hadits Hammi (keinginan ataurencana nabi)
6) Hadits Ahwali (keadaan sifat-sifat nabi)
1) Hadits Qauli (ucapan, perkataan, atau pernyataan nabi)
2) Hadits Fi’li (perbuatan, perilaku, atau yang dikerjakan nabi)
3) Hadits Taqriri (persetujuan atau ketetapan dalam hati nabi)
4) Hadits Qudsi (pesannya dari Allah redaksinya dari Nabi Muhammad SAW)
5) Hadits Hammi (keinginan ataurencana nabi)
6) Hadits Ahwali (keadaan sifat-sifat nabi)
c.
Ijtihad
Secara harfiah ijtihad berasal darikata jahada yang artinya berusaha dengan sungguh-sungguh. Menurut istilah dalam ilmu fikih, ijtihad berarti mengerahkan tenaga dan pikirandengan sungguh-sungguh untuk menyelidiki dan mengeluarkan (mengistimbatkan) hukum-hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an. Seorang muslim yang melakukan ijtihad disebut dengan Mujtahid , persoalan yangdipertimbangkannya disebut Mujtahid Fihi.
Secara harfiah ijtihad berasal darikata jahada yang artinya berusaha dengan sungguh-sungguh. Menurut istilah dalam ilmu fikih, ijtihad berarti mengerahkan tenaga dan pikirandengan sungguh-sungguh untuk menyelidiki dan mengeluarkan (mengistimbatkan) hukum-hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an. Seorang muslim yang melakukan ijtihad disebut dengan Mujtahid , persoalan yangdipertimbangkannya disebut Mujtahid Fihi.
PENUTUP
1.
PERILAKU
TERPUJI
Kesimpulan
Dalam kehidupan bermasyarakat mengenai
tata krama, sopan santun atau adab merupakan masalah penting karena manusia
adalah makhluk berakal dan berbudaya.
Macam-macam sopan santun atau adab ,
diantaranya adalah berpakaian, berhias, perjalanan, bertamu dan menerima tamu.
Allah menyukai orang-orang yang
berperilaku terpuji, maka dari itu kita dituntut agar dapat terus berperilaku
terpuji.
Saran
Perilaku terpuji merupakan perilaku
yang disukai Allah SWT, untuk dapat menjalankan perilaku terpuji kita harus
lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT dan ikhlas menjalaninya semata-mata
karena Allah SWT. Siapa mereka yang mengingikan hidup bahagia dunia-akhirat
harus bisa berperilaku terpuji.
HUKUM
DAN IBADAH DALAM ISLAM
A. KESIMPULAN
BAB III
SIMPULAN
Dari pembahasan di atas dapat penyusun simpulkan bahwa :
Ibadah adalah ketundukan yang tidak terbatas bagi pemilik
keagungan yang tidak terbatas pula. Dalam Islam perhubungan dapat dilakukan
oleh seorang hamba dengan Allah secara langsung. 'Ibadah di dalam Islam tidak
berhajat adanya orang tengah sebagaimana yang terdapat pada setengah setengah
agama lain. Begitu juga tidak terdapat dalam Islam tokoh tokoh tertentu yang
menubuhkan suatu lapisan tertentu yang dikenali dengan nama tokoh tokoh agama
yang menjadi orang orang perantaraan antara orang ramai dengan Allah.
Secara garis besar iadah dibagi menjadi dua:
- Ibadah murni (mahdhah), adalah suatu rngkaian aktivitas ibadah yang ditetapkan Allah Swt. Dan bentuk aktivitas tersebut telah dicontohkan oleh Rasul-Nya, serta terlaksana atau tidaknya sangat ditentukan oleh tingkat kesadaran teologis dari masing-masing individu.
- Ibadah Ghairu Mahdhah, yakni sikap gerak-gerik, tingkah laku dan perbuatan yang mempunyai tiga tanda yaitu: pertama, niat yang ikhas sebagai titik tolak, kedua keridhoan Allah sebagai titik tujuan, dan ketiga, amal shaleh sebagai garis amal.Ruang lingkup 'ibadah di dalam Islam amat luas sekali. Ianya merangkumi setiap kegiatan kehidupan manusia. Setiap apa yang dilakukan baik yang bersangkut dengan individu maupun dengan masyarakat adalah 'ibadah menurut Islam selagi mana ia memenuhi syarat syarat tertentu.Manusia diciptakan Allah bukan sekedar untuk hidup di dunia ini kemudian mati tanpa pertanggungjawaban, tetapi manusia diciptakan oleh Allah untuk beribadah. Karena Allah maha mengetahui tentang kejadian manusia, maka agar manusia terjaga hidupnya, bertaqwa, diberi kewajiban ibadah. Tegasnya manusia diberi kewajiban ibadah agar menusia itu mencapai taqwa.
SARAN
Hukum dan ibadah
dalam islam dapat dilaksanakan dengan baik. Sesuai dengan ajaran di dalam
al-quran. Kita bisa belajar dari al-qur’an , karena al-quran pedoman hidup
manusia.
0 komentar:
Posting Komentar
@mira_rara ツ
@Mirasandrana
hidup tuh punya tujuan ツ untuk sekarang,esok,dan masa depan ツ.bissmilahirohmanirohim ツI love Allah ツ
rengat,riau ,indonesia · http://mira-sandrana.blogspot.com
Sunting profil anda
* 161 Tweets
* 350 Following
* 88 Followers