Rabu, 09 November 2016

BUKU AGAMA ISLAM

Diposting oleh Mira Sandrana di 08.37


BAB 1
PEMAHAMAN TENTANG PENDIDIKAN ISLAM
1.      Pengertian Pendidikan Islam
Agama islam adalah agama universal yang mengajarkan kepada umat manusia mengenai berbagai aspek kehidupan baik kehidupan yang sifatnyaduniawi maupun yang sifatnya ukhrawi. Salah satu ajaran Islam adalah mewajibkan kepada umatnya untuk melaksanakan pendidikan, karena dengan pendidikan manusia dapat memperoleh bekal kehidupan yang baik dan terarah.[1]
Definisi pendidikan Islam yang dikemukakan oleh beberapa tokoh pendidikan berikut ini:
Prof.Dr. Omar Mohammad At-Toumi Asy-Syaibany mendefinisikan pendidikan islam sebagai proses mengubah tingkah laku individu pada kehidupan pribadi, masyarakat, dan alam sekitarnya, dengan cara pengajaran sebagai suatu aktivitas asasi dan sebagai profesi di antara profesi-profesi asasi dalam masyarakat. (Asy-Syaibany, 1979: 399).[2]
Pengertian tersebut memfokuskan perubahan tingkah laku manusia yang konotasinya pada pendidikan etika. Selain itu, pengertian tersebut menekankan pada aspek-aspek produktivitas dan kreatifitas manusia dalam peran dan profesinya dalam kehidupan masyarakat dan alam semesta.
Dr. Muhammad SA Ibrahimy (Bangladesh) mengemukakan pengertian pendidikan islam sebagi berikut; Pendidikan dalam pandangan yang sebenarnya adalah suatu sistem pendidikan yang memungkinkan seseorang dapat mengarahkan kehidupannya sesuai dengan cita-cita islam, sehingga dengan mudah ia dapat membentuk hidupnya sesuai dengan ajaran islam.
Pengertian itu mengacu pada perkembangan kehidupan manusia masa depan tanpa menghilangkan prinsip-prinsip islami yang diamanahkan oleh Allah kepada manusia, sehingga manusia mampu memenuhi kebutuhan dan tuntutan hidupnya seiring dengan perkembangan iptek.
2.      Tujuan Pendidikan Islam
Tujuan pendidikan islam secara umum dapat dibagi menjadi tiga kelompok utama. Tujuan umum ini harus dibangun berdasarkan ketiga komponen ini yang masing-masingnya harus dipelihara sebaik-baiknya. Ini berarti bahwa kita didalam pendidikan ini mempunyai tiga tujuan pokok, yakni tujuan jasmaniah (ahdaf al-jasmaniyah) tujuan rohani (ahdaf al-ruhaniyah) dan tujuan mental (ahdaf alaqliyah).
Tujuan umum pendidikan islam diberi perhatian dan tidak terkena perubahan dari waktu-kewaktu. Finalitas kenabian secara implisit menyatakan cita-cita yang diajarkan nabi muhammad saw kepada manusia semua yang bersifat universal.
Islam menghendaki agar manusia dididik supaya mampu merealisasikan tujuan hidupnya agar sebagaimana yang telah digariskan oleh Allah. Tujuan hidup manusia itu menurut Allah ialah beribadah kepada Allah. Ini diketahui dari surat Al-Dzariyat ayat 56 yang berbunyi :
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ(56)
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali supaya mereka beribadah kepada-Ku”. (QS. Al-Dzariyat : 56)[3]
3.      Hakikat Pendidikan Islam
Pendidikan adalah suatu proses yang dilakukan secara sadar atau disengaja guna untuk menambah pengetahuan, wawasan serta pengalaman untuk menentukan tujuan hidup sehingga bisa memiliki pandangan yang luas untuk ke arah masa depan lebih baik dan dengan pendidikan itu sendiri dapat menciptakan orang-orang berkualitas.
Pendidikan Islam berarti sistem pendidikan yang memberikan kemampuan seseorang untuk memimpin kehidupannya sesuai dengan cita-cita dan nilai-nilai Islam yang telah menjiwai dan mewarnai corak kepribadiannya, dengan kata lain pendidikan Islam adalah suatu sistem kependidikannya yang mencakup seluruh aspek kehidupan yang dibutuhkan oleh hamba Allah sebagaimana Islam telah menjadi pedoman bagi seluruh aspek kehidupan manusia baik duniawi maupun ukhrawi.
Istilah pendidikan dalam konteks Islam pada umumnya mengacu kepada term al-tarbuyah, al-ta’dib, dan al-ta’lim. Dari keriga istilah tersebut term yang populer digunakan dalam praktek pendidikan Islam adalah term al-tarbiyah. Sedangkan term al-ta’dib dan al-ta’lim jarang sekali digunakan. Padalah kedua istilah tersebut telah digunakan sejak awal pertumbuhan pendidikan Islam.[4]
Kedatipun demikian, dalam hal-hal tertentu, ketiga terma tersebut memiliki kesamaan makna. Namun secara esensial, setiap term memiliki perbedaan, baik secara tekstual maupun kontekstual. Untuk itu, perlu dikemukakan uraian dan analisis terhadap ketiga term pendidikan Islam tersebut dengan beberapa argumentasi tersendiri dari beberapa pendapat para ahli pendidikan Islam.
Ø  Tarbiyah
Penggunaan istilah al-Tarbiyah berasal dari kata rabb. Walaupun kata ini memiliki arti, akan tetapi pengertian dasarnya menunjukkan makna tumbuh, berkembang, memelihara, merawat, mengatur, dan menjaga kelestarian atau eksistensinya.[5]

Ø  Taklim
Istilah al-Ta’lim telah digunakan sejak periode awal pelaksanaan pendidikan islam. Menurut para ahli, kata ini lebih bersifat universal dibanding dengan al-Tarbiyah maupun al-Ta’dib. Rasyid Ridha mengartikan al-Ta’lim sebagai proses transmisi berbagai ilmu pengetahuan pada jiwa individu tanpa adanya batasan dan ketentuan tertentu.[6]

Ø  Takdib
Atas menawarkan satu istilah lain yang menggambarkan pendidikan Islam, dalam keseluruhan esensinya yang fundamental yakni kata takdib. Istilah ini mencakup unsur-unsur pengetahuan (‘ilm), pengajaran (taklim) dan pengasuhan yang baik (tarbiyah).

4.      Objek dan Fungsi Pendidikan Islam
A.    Objek pendidikan Islam
Pendidikan islam mengidentifikasi sasaran pada tiga pengembangan fungsi manusia yang mana semua itu berjalan dengan misi agama islam yang bertujuan memberikan rahmat bagi sekalian makhluk di alam ini: [7]
Menyadarkan manusia sebagai makhluk individu, yaitu makhluk yang hidup di tengah-tengah makhluk lain, manusia harus memerankan fungsi dan tanggung jawabnya, manusia akan mampu berperan sebagai makhluk Allah yang paling utama diantara makhluk lainnya dan memfungsikan sebagai kholifah di muka bumi ini.
Menyadarkan manusia sebagai makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial manusia harus mengadakan interaksi dengan sesamanya dalam kehidupan bermasyarakat. Itulah sebabnya islam mengajarkan persamaan, persaudaraan, gotong royong, dan bermusyawarah dengan upaya membentuk masyarakat menjadi persekutuan hidup yang utuh.
Menyadarkan manusia sebagai hamba Allah SWT. Manusia sebagai makhluk berketuhanan, sikap dan watak religiusitasnya perlu dikembangkan sedemikian rupa sehingga mampu  menjiwai dan mewarnai kehidupannya. Dalam fitrah manusia telah diberikan kemampuan beragama. Dengan kesadaran demikian, manusia sebagai kholifah dimuka bumi dan yang terbaik diantara makhluk lainnya akan mendorong untuk melakukan pengelolaan serta mendayagunakan ciptaan Allah untuk kesejahteraan hidup bersama dengan yang lainnya.

B.     Fungsi Pendidikan Islam
Fungsi pendidikan agama islam, antara lain untuk membimbing dan mengarahkan manusia agar mampu mengemban amanah dari allah, yaitu menjalankan tugas-tugas hidupnya dimuka bumi baik sebagai abdullah (hamba Allah yang harus tunduk dan taat atas segala aturan kehendaknya dan mengabdi hanya kepadanya), maupun sebagai khalifah di bumi yang menyangkut tugas kekhalifahan terhadap diri sendiri, dalam keluarga/rumah tangga, terhadap masyarakat dan kekhalifahan terhadap alam.[8]
Menurut Hasan Langgulung, fungsi pendidikan adalah pengembangan potensi-potensi yang ada pada individu-individu supaya dapat dipergunakan olehnya sendiri dan seterusnya oleh masyarakat untuk menghadapi tantangan-tantangan yang selalu berubah.
Fungsi Pendidikan Agama Islam di sekolah atau madrasah Abdul Majid, dan Dian Andayani, dalam bukunya Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompotensi, yakni sebagai berikut:
  1. Pengembangan, yaitu meningkatkan keimanan dan ketakwaan peserta didik kepada Allah swt yang telah ditanamkan dalam lingkungan keluarga. Pada dasarnya kewajiban menanamkan keimanan dan ketakwaan di lakukan oleh setiap orang tua dalam keluarga. Sekolah berfungsi untuk menumbuh kembangkan lebih lanjut dalam diri anak melalui bimbingan, pengajaran dan pelatihan agar keimanan dan ketakwaan tersebut dapat berkembang secara optimal sesuai dengan tingkat perkembangannya.
  2. Penanaman nilai, sebagai pedoman hidup untuk mencari kebahagian hidup didunia dan di akhirat.
  3. Penyesuaian mental, yaitu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial dan dapat mengubah lingkungannya sesuai dengan ajaran agama islam.
  4. Perbaikan, yaitu untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan, kekurangan-kekurangan dan kelemahan-kelemahan peserta didik dalam keyakinan, pemahaman dan pengalaman ajaran dalam kehidupan sehari-hari.


  1. Pencegahan, yaitu untuk menangkal, hal-hal negatif dari lingkungannya atau dari budaya lain yang dapat membahayakan dirinya dan menghambat perkembangannya menuju manusia Indonesia seutuhnya.
  2. Pengajaran, tentang ilmu pengetahuan keagamaan secara umum system dan fungsional.
  3. Penyaluran, yaitu untuk menyalurkan anak-anak yang memiliki bakat khusus di bidang agama islam agar bakat tersebut dapat berkembangsecara optimal sehingga dapat dimanfaatkan untuk dirinya sendiri dan bagi orang lain.





















BAB II
AL-QUR’AN DAN HADITS SEBAGAI PEDOMAN HIDUP
1.      Defenisi Al-qur’an dan Hadits
a.    Pengertian Al-qur’an
1.    Pengertian Al - Qur'an secara etimologi (bahasa)
Ditinjau dari bahasa, Al Qur'an berasal dari bahasa arab, yaitu bentuk jamak dari kata benda (masdar) dari kata kerja qara'a - yaqra'u - qur'anan yang berarti bacaan atau sesuatu yang dibaca berulang-ulang. Konsep pemakaian kata tersebut dapat dijumpai pada salah satu surah al Qur'an yaitu pada surat al Qiyamah ayat 17 - 18.
Artinya: 17. sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. 18. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu.

2.    Pengertian Al - Qur'an secara terminologi (istilah islam)
Secara istilah, al Qur'an diartikan sebagai kalam Allah swt, yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw sebagai mukjizat, disampaikan dengan jalan mutawatir dari Allah swt sendiri dengan perantara malaikat jibril dan mambaca al Qur'an dinilai ibadah kepada Allah swt. Al Qur'an adalah murni wahyu dari Allah swt, bukan dari hawa nafsu perkataan Nabi Muhammad saw. Al Qur'an memuat aturan-aturan kehidupan manusia di dunia. Al Qur'an merupakan petunjuk bagi orang-orang yang beriman dan bertaqwa. Di dalam al Qur'an terdapat rahmat yang besar dan pelajaran bagi orang-orang yang beriman. Al Qur'an merupakan petunjuk yang dapat mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju jalan yang terang.

3.    Pengertian Al - Qur'an menurut Para Ahli
Berikut ini pengertian al Qur'an menurut beberapa ahli :
a.    Muhammad Ali ash-Shabuni
Al Qur'an adalah Firman Allah swt yang tiada tandingannya, diturunkan kepada Nabi Muhammad saw penutup para nabi dan rasul dengan perantaraan malaikat Jibril as, ditulis pada mushaf-mushaf kemudian disampaikan kepada kita secara mutawatir, membaca dan mempelajari al Qur'an adalah ibadah, dan al Qur'an dimulai dengan surat al Fatihah serta ditutup dengan surat an Nas.
b.      Dr. Subhi as-Salih
Al Qur'an adalah kalam Allah swt merupakan mukjizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw ditulis dalam mushaf dan diriwayatkan dengan mutawatir serta membacanya adalah ibadah.
c.       Syekh Muhammad Khudari Beik
Al Qur'an adalah firman Allah yang berbahasa arab diturunkan kepada Nabi Muhammad saw untuk dipahami isinya, disampaikan kepada kita secara mutawatir ditulis dalam mushaf dimulai surat al Fatihah dan diakhiri dengan surat an Nas.
Dari beberapa pengertian tersebut, dapat kita simpulkan bahawa al Qur'an adalah wahyu Allah swt. yang diturunkan kepada nabi Muhammad saw dengan perantara malaikat jibril, disampaikan dengan jalan mutawatir kepada kita, ditulis dalam mushaf dan membacanya termasuk ibadah. Al Qur'an diturunkan secara berangsur-angsur kepada Nabi Muhammad saw selama kurang lebih 22 tahun.

b.    Pengertian Hadits
Hadits merupakan segala tingkah laku Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan, maupun ketetapan (taqrir). Hadits merupakan sumber hukum Islam yang kedua setelah Al-Qur’an. Allah SWT telah mewajibkan untuk menaati hukum-hukum dan perbuatan-perbuatan yang disampaikan oleh nabi Muhammad SAW dalam haditsnya. Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT: 
Artinya: ” … Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah, …” (QS Al Hasyr : 7)
2.      Fungsi Al-qur’an dan Hadits
a.    Fungsi Al-Qur’an
Al-Qur’an berfungsi sebagai:
1.      Petunjuk bagi manusia
Allah swt menurunkan Al-qur’an sebagai petunjuk umat manusia. Seperti yang di jelaskan dalam Q.S Al-Baqarah : 185 ,  Q.S Al-Baqarah : 2 ,  QS. Fushshilat : 44
Artinya :Bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur” (QS.  Al Baqarah: 185)

Artinya : “Kitab (Al Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa,” (QS. Al Baqarah : 2)

Artinya : “Dan jikalau Kami jadikan Al Qur'an itu suatu bacaan dalam selain bahasa Arab tentulah mereka mengatakan: "Mengapa tidak dijelaskan ayat-ayatnya?". Apakah (patut Al Qur'an) dalam bahasa asing, sedang (rasul adalah orang) Arab? Katakanlah: "Al Qur'an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang yang beriman. Dan orang-orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada sumbatan, sedang Al Qur'an itu suatu kegelapan bagi mereka. Mereka itu adalah (seperti) orang-orang yang dipanggil dari tempat yang jauh" (QS. Fushshilat : 44)

1.      Sumber pokok ajaran Islam
Fungsi Al-Qur’an sebagai sumber ajaran islam sudah diyakini dan diakui kebenarannya oleh segenap para ulama. Adapun ajarannya meliputi persoalan kemanusiaan secara umum, seperti hukum, ibadah, ekonomi, politik, sosial, budaya, pendidikan, ilmu pengetahuan dan seni.

2.      Peringatan dan pelajaran bagi manusia
Dalam Al-qur’an banyak diterangkan tentang kisah para nabi dan umat terdahulu, baik umat yang taat melaksanakan perintah allah maupun mereka yang menentang dan mengingkari ajaran-Nya. Bagi kita, umat yang akan datang harus pandai mengambil hikmah dan pelajaran dari kisah-kisah yang diterangkan dalam Al-qur’an.

3.      Sebagai mukjizat Nabi Muhammad saw
Turunnya Al-Qur’an merupakan salah satu mukjizat yang dimiliki oleh Nabi Muhammad saw.
           
b.    Fungsi Hadits
1.   Bayan At taqrir
  Bayan at taqrir atau disebut juga bayan at ta’kid dan bayan al itsbat yaitu menetapkan dan memperkuat apa yang telah diterangkan di dalam Al-qur’an. Fungsi hadits dalam hal ini hanya memperkokoh kandungan Al-qur’an. contohnya seperti dibawah ini;

فمن شهد منكم الشهر فليصمه (البقرة 2: 185)
“Maka barang siapa yang mempersaksikan pada waktu itu bulan, hendaklah ia berpuasa...(QS Al Baqarah : 185)

Hadits yang mentaqrir ayat Al quran diatas adalah;

فأذا رأيتم الهلال فصوموا وإذا رأيتموه فأفطروا (رواه مسلم(
“Apabila kalian melihat (ru’yah)bulan, maka berpuasalah, juga apabila melihat (ru’yah) itu maka berbukalah”. (HR Muslim)

2.   Bayan At tafsir
  Yaitu bahwa hadits berfungsi untuk memberikan rincian dan tafsiran terhadap ayat-ayat Al quran yang masih bersifat global (mujmal), memberikan persyaratan atau batasan (taqyid) ayat-ayat yang bersifat mutlak, dan mengkhususkan (takhsish) terhadap ayat-ayat yang masih bersifat umum.
a.    Tafsil al mujmal
Hadits memberi penjelasan secara terperinci pada ayat-ayat yang masih bersifat global, baik menyangkut masalah ibadah maupun hukum, sebagian ulama menyebutnya bayan tafshil atau bayan tafsir . [9]
صلوا كما رأيتموني أصلي (رواه البخارى)
“Shalatlah sebagaimana engkau melihatku shalat” (HR Al bukhari)
Hadits ini menjelaskan bagaimana sholat harus didirikan, sedangkan dalam Al quran perintah sholat tidak dijelaskan secara rinci, seperti pada ayat berikut;

وأقيموا الصلاة وأتوا الزكاة واركعوا مع الراكعين (البقرة 2 : 43)
“Dan kerjakanlah sholat, tunaikan zakat, dan ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’ “ (QS Al baqarah 43)
b.    Takhsish al ‘amm
Yaitu bahwa hadits mengkhususkan ayat-ayat Al-qur’an yang umum , seperti pada contoh ayat berikut;
يوصيكم الله فى أولادكم للذكرمثل حظ الأنشيين (النساء 4: 11)
“Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu; bahagian anak laki-laki sama dengan bahagian anak perempuan.” (QS An Nisa 11)

Ayat diatas masih umum, sedangkan hadits yang mentakhsish ayat tersebut yaitu;
نحن معاشرالأنبياء لا نورث ماتركناه
“kami para nabi tidak meninggalkan harta warisan”

Selain hadits tersebut ayat diatas juga di takhsish oleh hadits;
لا يرث القاتل
“Pembunuh tidak dapat mewarisi (harta pusaka)” (HR At Tirmidzi)

c.    Taqyid al muthlaq
Hadits membatasi kemutlakan ayat-ayat Al-qur’an. Artinya Al-qur’an keterangannya secara mutlaq kemudian di taqyid dengan hadits tertentu, misalnya pada ayat dibawah ini;
والسارق والسارقة فاقطعوا أيديهما (المائدة 5 : 38)
“Pencuri laki-laki dan pencuri perempuan, maka potonglah tangan-tangan mereka” (QS Al Maidah 38)
Dalam ayat tersebut tidak ada batasan tentang tangan yang harus di potong oleh karenanya ditaqyid dengan hadits berikut ini;

أتي رسول الله صلى الله عليه وسلم بسارق فقطع يده من مفصل الكف
“Rasulullah SAW didatangi seseorang dengan membawa pencuri, maka beliau memotong tangan pencuri dari pergelangan tangan”

           
3.    Bayan At tasyri’
Yang dimaksud dengan bayan tasyri’ adalah mewujudkan suatu hukum atau ajaran-ajaran yang tidak didapati Al-qur’an, atau dalam Al-qur’an hanya terdapat pokok-pokoknya (ashl) saja. [10]
 Para ulama berbeda pendapat tentang fungsi sunnah sebagai dalil pada suatu hal yang tidak disebutkan dalam Al quran. mayoritas mereka bahwa sunnah berdiri sendiri sebagai dalil hukum dan yang lain berpendapat bahwa sunnah menetapkan dalil yang terkandung atau tersirat secara implisit dalam teks Al-qur’an. [11]
Didalam sunnah terdapat ketentuan agama yang tidak diatur dalam Al-qur’an. Artinya, Nabi diberikan legitimasi oleh Allah untuk mengambil kebijakan, ada yang berupa penjelasan terhadap kandungan Al-qur’an dan dalam hal-hal tertentu Nabi membuat ketetapan khusus sebagai wujud penjelasan hal yang tidak tertuang eksplisit dalam Al-qur’an. [12]
Surat Al A’raf ayat 157 menunjukkan demikian. Disana disebutkan;

ويحل لهم الطيبات ويحرم عليهمم الخبائث... (الأعرف 157)

“…Dan Nabi menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk” (QS Al a’raf 157)
Contoh hukum yang tidak terdapat dalam Al quran tetapi hanya terdapat dalam hadits yaitu; larangan menikahi seorang wanita bersama bibinya dalam waktu yang sama.

...لا يجمع بين المرأة وعمتها ولا بين المرأة وخالتها
“Tidak boleh dikumpulkan seorang perempuan dengan saudara ayahnya atau dengan saudara ibunya”
Selain itu juga larangan memakan daging “himar jinak” dan hewan yang mempunyai taring dan berkuku tajam. Aturan yang hanya terkandung dalam sunnah ini mengikat semua orang islam sebagaimana Al quran mengikat mereka.

4.    Bayan Al nasakh
Hadits menghapus (nasakh) hukum yang diterangkan dalam Al-qur’an. misalnya kewajiban wasiat yang diterangkan dalam surat Al baqarah ayat 180;

 “Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf, (ini adalah kewajiban) atas orang-orang yang bertaqwa.” (QS Al baqarah 180)

Ayat diatas dinasakh dengan hadits Nabi;
إن الله قد اعطى كل ذي حق حقه ولا وصية لوارث
“Sesungguhnya Allah member hak kepada setiap orang yang mempunyai hak dan tak ada wasiat itu wajib bagi waris.” (HR An nasa’i)

Namun demikian perlu diketahui bahwa mengenai fungsi hadits yang ke-4 ini masih terjadi perbedaan pendapat diantara para ulama, ada yang membolehkan adanya naskh namun ada juga yang menolak naskh. Diantara kelompok yang membolehkan naskh yaitu; golongan mu’tazilah, hanafiyah, dan madzhab ibn hazm al dhahiri. Sedangkan ulama yang menolak naskh diantaranya yaitu imam syafi’I dan sebagian besar pengikutnya, pengikut madzhab zhahiriyah dan kelompok khawarij [13]. Terlepas dari itu tentunya mereka mempunyai alasan tersendiri wallahua’lam.

3.    Proses Turunnya Al-qur’an

Dalam proses pewahyuannya terdapat beberapa cara untuk menyampaikan wahyu yang dibawa Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad, diantaranya: [14]
Pertama: Turunnya wahyu kepada beliau seperti suara lonceng, dan cara ini adalah cara yang paling berat bagi Rasulullahshallallahu 'alaihi wasallam. Sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari rahimahullah, dari ‘Aisyah radhiyallahu 'anha bahwasanya al-Harits bin Hisyamradhiyallahu 'anhu bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, ia berkata: ”Wahai Rasulullah, bagaimana wahyu turun kepada anda?”
Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab:

( أحيانا يأتيني مثل صلصلة الجرس، وهو أشده علي فيفهم عني وقد وعيت عنه ما قال )
”Terkadang wahyu itu datang kepadaku seperti suara lonceng, dan itu adalah yang paling berat bagiku. Kemudian ia terhenti sedangkan aku sudah memahami apa yang Jibril katakan.”
’Aisyah radhiyallahu 'anha berkata:

وَلَقَدْ رَأَيْتُهُ يَنْزِلُ عَلَيْهِ الْوَحْىُ فِى الْيَوْمِ الشَّدِيدِ الْبَرْدِ، فَيَفْهمُ عَنْهُ، وَإِنَّ جَبِينَهُ لَيَتَفَصَّدُ عَرَقًا
”Dan sungguh aku telah melihat wahyu itu turun kepada beliau (Nabi shallallahu 'alaihi wasallam) pada hari yang sangat dingin, lalu wahyu itu terhenti sementara keringat telah mengalir di dahi beliau.”
Kedua: Dan terkadang wahyu turun dalam bentuk seorang laki-laki yang menyampaikan Kalamullah kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, sebagaimana hadits yang lalu dalam shahih al-Bukhari. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam telah ditanya tentang tata cara turun wahyu, maka beliau menjawab:
( وأحيانا يتمثل لي الملك رجلاً فيكلمني فأعي ما يقول )
”Dan terkadang Malaikat menjelma kepadaku sebagai seorang laki-laki, lalu ia berbicara kepadaku dan kemudian aku memahami apa yang dia katakan.”
Karena sesungguhnya Malaikat telah menjelma menjadi sosok lelaki dalam bentuk yang beraneka macam, dan tidak ada yang terluput darinya apa yang dibawa oleh Malaikat pembawa wahyu tersebut. Sebagaimana dalam kisah datangnya Malaikat dalam rupa Dihyah al-Kalbi, atau seorang Arab badui dan dalam bentuk yang lainnya. Dan semuanya tercatat dalam kitab Shahih.
Ketiga: Dan terkadang wahyu turun dengan cara Allah berbicara langsung kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dalam keadaan terjaga (tidak tidur), sebagaimana dalam hadits Isra’ Mi’raj yang panjang, yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukahari, dan di dalamnya disebutkan:
فلما جاوزتُ نادى منادٍ: أمضيتُ فريضتي وخففتُ عن عبادي
”Ketika aku lewat, ada penyeru yang berkata:”Aku telah berlakukan kewajibanku dan telah aku ringankan atas hamba-hambaku.”
4.    Macam-Macam Hadits
Hadits menurut sifatnya mempunyai klasifikasi sebagai berikut:
1.    Hadits Shohih, adalah hadits yang diriwayatkan oleh Rawi (orang yang meriwayatkan atau memberitakan hadist) yang adil, sempurna ingatan, sanadnya bersambung, tidak ber illat, dan tidak janggal. Illat hadits yang dimaksud adalah suatu penyakit yang samar-samar yang dapat menodai keshohehan suatu hadits
2.    Hadits Makbul, adalah hadits-hadits yang mempunyai sifat-sifat yang dapat diterima sebagai Hujjah. Yang termasuk Hadits Makbul adalah Hadits Shohih dan Hadits Hasan
3.    Hadits Hasan, adalah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang adil, tapi tidak begitu kuat ingatannya (hafalannya), bersambung sanadnya, dan tidak terdapat illat dan kejanggalan pada matannya. Hadits Hasan termasuk hadits yang makbul biasanya dibuat hujjah untuk sesuatu hal yang tidak terlalu berat atau tidak terlalu penting
4.    Hadits Dhoif, adalah hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih syarat-syarat hadits shohih atau hadits hasan. Hadits dhoif banyak macam ragamnya dan mempunyai perbedaan derajat satu sama lain, disebabkan banyak atau sedikitnya syarat-syarat hadits shohih atau hasan yang tidak dipenuhi
Adapun syarat-syarat suatu hadits dikatakan hadits yang shohih, yaitu:
·      Rawinya bersifat adil
·      Sempurna ingatan
·      Sanadnya tidak terputus
·      Hadits itu tidak berilat
·      Hadits itu tidak janggal

5.    Struktur Komponen Hadits
Secara struktur hadits terdiri atas tiga komponen utama yakni sanad, matan dan rawi. 

a.    Sanad Hadits 

Sanad menurut bahasa adalah al-mu’tamad artinya “sandaran” atau sesuatu yang dijadikan sandaran, pegangan dan pedoman. Dikatakan demikian, karena hadits bersandar kepadanya.

Sedangkan menurut istilah sanad adalah jalannya hadis, maksudnya mata rantai (jalur) para rawi yang ‎menghubungkan matan mulai dari awal hingga akhir.

Sanad terdiri atas seluruh penutur mulai dari orang yang mencatat hadits tersebut dalam bukunya atau kitab hadits hingga mencapai Rasulullah. Agar lebih jelas, berikut akan dipaparkan contoh sanad hadits:

“Musaddad mengabari bahwa yahya sebagaimana diberitakan oleh Syu’bah dari Qatdah dari Anas dari Rasulullah SAW bahwa beliau bersabda:”

Sanad mengandung dua bagian penting, yakni:

1.    Nama-nama periwayat yang terlibat dalam periwayatan hadits yang bersangkutan.
2.    Lambang-lambang periwayatan hadits yang telah digunakan oleh masing-masing periwayat dalam meriwayatkan hadits yang bersangkutan, misalnya sami’tu, akhbarani, ‘an, dan anna. [15]
Para ulama hadits menilai bahwa sangat penting kedudukan sanad dalam meriwayatkan hadits. Karena demikian pentingnya kedudukan dalam meriwayatkan sanad itu, maka suatu berita yang dinyatakan sebagai hadits, tetapi berita tersebut tidak memiliki sanad sama sekali tidak dapat disebut hadits. Sekiranya berita tersebut tetap dinyatakan sebagai hadits, maka berita tersebut oleh ulama hadits dinyatakan sebagai hadits maudhu’.
Sebuah hadits dapat memiliki beberapa sanad dengan jumlah penutur atau perawi bervariasi dalam lapisan atau tingkatan sanadnya. Sedangkan yang perlu dicermati dalam memahami Al-Hadits terkait dengan sanadnya ialah:
·         Keutuhan sanadnya
·         Jumlahnya
·         Perawi akhirnya
Kemudian dari kata sanad keluarlah kata isnad,musnid dan musnad.Isnad mempunyai dua makna yaitu pertama artinya mengasalkan hadits kepada orang yang mengatakan kedua artinya silsilah orang-orang yang menghubungkan hadits kepada matan.
Musnid adalah seseorang yang meriwayatkan hadits dengan sanadnya, baik dia mengerti apa yang diriwayatkannya atau tidak.
Musnad mempunya dua makna yaitu pertama bermakna hadits yang sanadnya bersambung sampai Rasul saw. kedua berarti nama satu kitab hadits yang ditulis berdasarkan tartib nama-nama para sahabat rawi hadits, seperi kitab Musnad Imam Ahmad.

b.        Matan Hadits

Kata matan atau al- matan menurut bahasa berarti ma shaluba wa irtafa’amin al  -aradhi (tanah yang meninggi). Secara temonologis, istilah matan memiliki beberapa definisi, yang mana maknanya sama yaitu materi atau lafazh hadits itu sendiri. Definisi matan dari sisi bahasa bermakna 'punggung jalan' atau ‘gundukan’ bisa juga bermakna ‘isi atau muatan’. Ibarat tangga , akhir dari anak tangga berujung pada teks itu sendiri adalah ucapan yang dituturkan oleh si pengucap. Pengucap atau penutur teks itu bias nabi, sahabat, atau bias juga tabi’in.

Matan menurut hadits yaitu “perkataan yang disebut pada akhir sanad, yakni sabda nabi saw yang disebut sesudah habis disebutkan sanadnya.”

Terkait dengan matan atau redaksi, maka yang perlu dicermati dalam memahami hadits ialah:

1.    Ujung sanad sebagai sumber redaksi, apakah berujung pada Nabi Muhammad atau bukan.

2.    Matan Hadits itu sendiri dalam hubunganya dengan hadits lain yang lebih kuat sanadnya (apakah ada yang melemahkan atau menguatkan) dan selanjutnya dengan ayat dalam Al-Qur’an (apakah ada yang bertolak belakang).

Suatu materi hadits dapat dinilai baik apabila materi hadits itu tidak bertentangan dengan Al-Qur’an atau hadits lain yang lebih kuat, tidak bertentangan dengan realita, fakta sejarah dan prinsip-prinsip pokok ajaran islam.

Matan harus melalui proses penelitian mengenai isinya agar bisa dikatakan maqbul (diterima). Tolok ukur penelitian matan yang dikemukakan ulama tidak seragam. Menurut Al-Khatib Al-Baghdadi (wafat 463 H/1072 M), suatu matan dinyatakan diterima apabila:

1.      Tidak bertentangan dengan akal sehat

2.      Tidak bertentangan dengan hukum Al-Qur’an yang telah muhkam (ketentuan hukun yang telah tetap)

3.      Tidak bertentangan dengan hadits mutawatir.

4.      Tidak bertentangan dengan amalan yang telah menjadi kesepakatan ulama masa lalu (ulama salaf)

5.      Tidak bertentangan dengan dalil yang telah pasti.

6.      Tidak bertentangan dengan hadits ahad yang kualitas keshahihannya lebih kuat.

Dalam praktik, penelitian matan memang tidak mudah. Sebagai penyebab sulitnya penelitian matan ialah:

1.      Adanya periwayatan secara makna.

2.      Acuan yang digunakan sebagai pendekatan tidak satu macam saja.

3.      Latar belakang timbulnya petunjuk hadits tidak selalu mudah dapat dikketahui.

4.      Adanya kandungan hadits yang berkaitan dengan hal-hal yang berdimensi supra rasional.

c.    Rawi Hadits
          Kata Al-rawi berarti orang yang meriwayatkan atau memberitahukan hadits. Sebenarnya antara sanad dan rawi merupakan dua istilah yang tidak dapat dipisahkan. Sanad-sanad hadits pada setiap generasi atau thabaqah juga terdiri dari para rawi. Mereka adalah orang-orang yang menerima dan memindahkan hadits dari seorang guru kepada murid-muridnya atau kepada teman-temannya. Kemudian bagi perawi yang terakhir yang menghimpun hadits ke dalam satu kitab tadwin disebut dengan perawi atau disebut juga dengan mukharrij demikian juga mereka disebut dengan mudawwin, karena ia menerangkan para perawi dalam sanad dan derajat hadits tersebut dalam bukunya.
Tidak semua perawi yang meriwayatkan hadits dapat diterima periwayatannya. Para ulama telah membuat beberapa persyaratan agar periwayatan seorang perawi dapat diterima. Ada dua hal yang harus diteliti pada diri periwayat hadits untuk dapat diketahui apakah riwayat yang dikemukakannya dapat diterima sebagai sebuah hadits yang dapat dijadikan hujjah atau ditolak, yaitu:
1.        Adil, keadilan memiliki empat kriteria atau empat unsur yakni beragama Islam, mukalaf, melaksanakan ketentuan agama dan menjaga muru’ah. Kriteria tersebut berbeda di saat menerima dan menyampaikan hadits. Keempat kriteria tersebut harus terpenuhi disaat periwayat menyampaikan periwayatan hadits. Sedangkan tatkala menerima riwayat, kriteria beragama islam dan mukalaf tidak mesti terpenuhi. Periwayat tatkala menerima hadits riwayat hadits tidak harus beragama Islam dan mukalaf, asalkan dia telah mumayyiz atau dapat memahami maksud pembicaraan dan dapat membedakan antara sesuatu dengan yang lainnya. Akan tetapi tatkala menyampaikan riwayat hadits, dia telah memeluk Islam.
2.        Dhabith, yaitu kuat hafalannya atau mempunyai catatan pribadi yang dapat dipertanggungjawabkan.
        Sebagian ulama menyatakan bahwa orang yang dhabith ialah orang yang mendengarkan pembicaraan sebagai mana seharusnya, dia memahami arti pembicaraan tersebut secara benar, kemudian dia menghafalnya dengan sungguh-sungguh dan sempurna, sehingga dia mampu menyampaikan hafalannya itu kepada orang lain dengan baik. 
Dhabith ada dua:
·         Dhabith Shadar, yakni menghafal dengan baik.
·         Dhabith Kitab, yakni memelihara kitabnya dengan baik dari kemasukan sisipan atau yang lain.
Dalam periwayatan Hadits ada istilah Muttabi’ dan Syahid,.

1.      Muttabi’
Muttabi’ disebut juga At-Thaabi’ menurut bahasa adalah isim fa’il dari taba’a yang artinya mengiringi atau yang mencocoki. Sedangkan menurut istilah adalah satu hadits yang sanadnya menguatkan sanad lain dari hadits itu juga, dan sahabat yang meriwayatkan adalah satu.
2.      Asy-Syahid,
 menurut bahasa adalah isim fa’il yang artinya adalah yang menyaksikan. Sedangkan menurut istilah sdalah satu hadits yang matannya sama dengan hadits lain dan biasanya sahabat yang meriwayatkan hadits tersebut berlainan.










BAB III
KONSEP KETUHANAN DALAM ISLAM

1.    Pentingnya Beriman KepadaAllah
a.    Arti beriman kepada Allah SWT
Menurut pengertian secara bahasa, kata iman adalah percaya atau membenarkan. Menurut ilmu tauhid, iman berarti kepercayaan yang diyakini kebenarannya dalam hati, diikrarkan secara lisan, dan direalisasikan dalam perbuatan.
b.    Menunjukkan tanda –tanda adanya Allah SWT
a)      Meyakinkan hati bahwa Allah itu ada
Untuk membuktikan bahwa Allah itu ada dibutuhkan keyakinan dalam hati dan keyakinan tersebut diterima dan dibenarkan dalam pikiran dan perasaannya bahwa Allah itu benar-benar ada.
b)      Mengamati dan memikirkan ciptaan Allah
Banyak cara yang dapat dilakukan untuk memahami dan meyakini adanya Allah SWT. Salah satunya adalah dengan cara memahami dan memikirkan ciptaan Allah. Untuk memahaminya dapat dilakukan dengan cara mengamati segala ciptaan Allah SWT.
c)      Menunjukkan adanya Allah melalui dalil naqli
Dalam ayat Al-Qur’an, banyak diterangkan tenang nama, sifat dan keberadaan Allah. Semuanya menunjukkan bahwa Allah benar-benar ada. Sebagaimana pada ayat berikut :
اِنَّرَبَّكُمُ اللهُ الَّذِيْ خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ فِيْ سِتَّةِ ايَّامٍ ثُمَّ اسْتَوٰى عَلَى الْعَرْشِۗ يُغْشِى الَّيْلَ النَّهَا رَ يَطْلُبُهُ حَثِيْثًاۙ وَّالشَّمْسَ وَلْقَمَرَ وَالنُّجُوْمُ مُسَخَّرٰتٍ بِاَمْرِهِۙ اَلاَ لَهُ الْخَلْقُ وَالْاُمْرُۗ تَبٰرَكَ اللهُ رَبُّ الْعٰلَمِيْنَ.
Artinya :
sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu ia bersemayam di atas Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintahkan adalah hak Allah, Maha suci Allah, Tuhan semesta alam.”(Q.S. Al-A’raf, 7:54) .[16]




2.      Definisi Iman dan Takwa
Iman secara etimologis berasal dari kata aamana-yu’minu berarti tasdiq yaitu membenakan mempercayai. Dan menurut istilah Iman ialah “ membenarkan dengan hati diucapkan dengan lisan dan dibuktikan dengan amal perbuatan”.
Tanda-tanda orang beriman:
1.      Bila disebut nama Allah hatinya bergetar.
2.      Iman mereka bertambah bila mendengar ayat Allah.
3.      Bertawakal kepada Allah.
4.      Menegakkan shalat.
5.      Menginfakkan sebagian rezeki yang mereka peroleh

Takwa
Kata takwa (التَّقْوَى) dalam etimologi bahasa Arab berasal dari kata kerja (وَقَى) yang memiliki pengertian menutupi, menjaga, berhati-hati dan berlindung. Oleh karena itu imam Al Ashfahani menyatakan: Takwa adalah menjadikan jiwa berada dalam perlindungan dari sesuatu yang ditakuti, kemudian rasa takut juga dinamakan takwa. Sehingga takwa dalam istilah syar’I adalah menjaga diri dari perbuatan dosa.
Al-Hasan Al-Bashri menyatakan bahwa taqwa adalah takut dan menghindari apa yang diharamkan Allah, dan menunaikan apa-apa yang diwajibkan oleh Allah. Taqwa juga berarti kewaspadaan, menjaga benar-benar perintah dan menjauhi larangan.[17]
Tanda-tanda oarang bertakwa:
1.      Beriman kepada ALLAH dan yang ghaib
2.      Sholat, zakat, puasa
3.      Infak disaat lapang dan sempit
4.      Menahan amarah dan memaafkan orang lain
5.      Takut pada ALLAH
6.      Menepati janji
7.      Berlaku lurus pada musuh ketika mereka pun melakkukan hal yang sama
8.      Bersabar dan menjadi pendukung kebenaran
9.      Tidak meminta ijin untuk tidak ikut berjihad
10.  Berdakwah agar terbebas dari dosa ahli maksiat




3.      Proses Terbentukknya Keimanan
Benih iman yang dibawa sejak dalam kandungan memerlukan pemupukan yang berkesinambungan. Benih yang unggul apabila tidak disertai pemeliharaan yang intensif, besar kemungkinan menjadi punah. Demikian pula halnya dengan benih iman. Berbagai pengaruh terhadap seseorang akan mengarahkan iman/kepribadian seseorang, baik yang datang dari lingkungan keleuarga, masyarakat, pendidikan maupun lingkungan termasuk benda benda mati seperti cuaca, tanah, air, dan lingkungan flora serta fauna. Pengaruh pendidikan keluarga secara langsung maupun tidak langsung baik yang disengaja maupun tidak disengaja amat berpengaruh terhadap keimanan seseorang. Tingkah laku orang tua dalam rumah tangga senantiasa menjadi contoh dan teladan bagi anak anak. Dalam hal ini Rasulullah bersabda"Setiap anak lahir membawa fitrah. Orang tuanya berperan menjadikan anak tersebut menjadi yahudi, nasrani, atau majusi". Pada dasarnya proses pembentukan Iman juga demikian. Di awali dengan proses perkenalan, kemudian meningkat menjadi senang atau benci. mengenal ajaran Allah adalah langkah awal mencapai iman kepada Allah. Jika seseorang tidak mengenal ajaran Allah, maka orang tersebut tidak mungkin beriman kepada Allah.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَخْرُحُ مِنَ النَّارِ مَنْ كَانَ فِيْ قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنَ اْلإِيْمَانِ.
“Akan keluar dari Neraka orang yang di dalam hatinya masih ada seberat dzarrah dari iman..”  [18]

4.      Implementasi
1.    Pemantapan Iman dan Taqwa
Masa depan ditentukan oleh umat yang memiliki kekuatan budaya yang dominan. Generasi pelopor penyumbang dibidang pemikiran (aqliyah), dan pembaruan (inovator), perlu dibentuk di era pembangunan.
Keunggulan generasi pelopor akan di ukur ditengah masyarakat dengan pengetahuan dan pemahaman (identifikasi) permasalahan yang dihadapi umat, dengan equalisasi mengarah kepada kaderisasi (patah tumbuh hilang berganti). Keunggulan ini di iringi dengan kemampuan penswadayaan kesempatan-kesempatan. Pentingnya menumbuhkan generasi pelopor menjadi relevansi tuntutan agama dalam menatap kedepan.
Mantapnya pemahaman agama dan adat budaya (tamaddun) dalam perilaku seharian jadi landasan dasar kaderisasi re-generasi. Usaha kearah pemantapan metodologi pengembangan melalui program pendidikan dan pelatihan, pembinaan keluarga, institusi serta lingkungan mesti sejalin dan sejalan dengan pemantapan Akidah Agama pada generasi mendatang. Political action berkenaan pengamalan ajaran Agama menjadi sumber kekuatan besar menopang proses pembangunan melalui integrasi aktif, dimana umat berperan sebagai subjek dalam pembangunan bangsa itu sendiri.
2.          Melemahnya Jati Diri
Kelemahan mendasar ditengah perkembangan zaman adalah melemahnya jati diri, dan kurangnya komitmen kepada nilai luhur agama yang menjadi anutan bangsa. Isolasi diri karena tidak berkemampuan menguasai “bahasa dunia” (politik, ekonomi, sosial, budaya, iptek), berujung dengan hilangnya percaya diri. Kurangnya kemampuan dalam penguasaan teknologi dasar yang akan menopang perekonomian bangsa, dipertajam oleh kurangnya minat menuntut ilmu, menjadikan isolasi diri masyarakat bertambah tertutup. Kondisi ini akan menjauhkan peran serta di era-kesejagatan (globalisasi), dan akhirnya membuka peluang menjadi anak jajahan di negeri sendiri.
Sosialisasi pembinaan jati diri bangsa mesti disejalankan dengan pengokohan lembaga keluarga (extended family), dan peran serta masyarakat pro aktif menjaga kelestarian adat budaya (hidup beradat, di masyarakat Minangkabau adat bersendikan syarak, syarak bersendikan Kitabullah). Setiap generasi yang di lahirkan dalam satu rumpun bangsa wajar tumbuh menjadi kekuatan yang peduli dan pro-aktif menopang pembangunan bangsa.
Melibatkan generasi muda secara aktif menguatkan jalinan hubungan timbal balik antara masyarakat serumpun di desa dalam tata kehidupan sehari-hari. Aktifitas ini mendorong lahirnya generasi penyumbang yang bertanggung jawab, di samping antisipasi lahirnya generasi lemah.
3.          Arus Globalisas
Menjelang berakhirnya alaf  kedua memasuki millenium ketiga, abad dua puluh satu ditemui lonjakan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan pesat. Globalisasi sebenarnya dapat diartikan sebagai suatu tindakan atau proses menjadikan sesuatu mendunia (universal), baik dalam lingkup maupun aplikasinya. Era globalisasi adalah era perubahan cepat. Dunia akan transparan, terasa sempit seakan tanpa batas.
Hubungan komunikasi, informasi, transportasi menjadikan jarak satu sama lain menjadi dekat, sebagai akibat dari revolusi industri, hasil dari pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Arus globalisasi juga menggeser pola hidup masyarakat dari agraris dan perniagaan tradisional menjadi masyarakat industri dan perdagangan modern.
Arus kesejagatan (globalisasi) secara dinamik memerlukan penyesuaian kadar agar arus kesejagatan tidak mencabut generasi dari akar budaya bangsanya. Sebaliknya arus kesejagatan mesti di rancang bisa merobah apa yang tidak di kehendaki.
Membiarkan diri terbawa arus deras perubahan sejagat tanpa memperhitungkan jati diri akan menyisakan malapetaka. Globalisasi menyisakan banyak tantangan (sosial, budaya, ekonomi, politik, tatanan, sistim, perebutan kesempatan menyangkut banyak aspek kehidupan kemanusiaan.
Globalisasi juga menjanjikan harapan dan kemajuan. Setiap Muslim harus ‘arif dalam menangkap setiap pergeser­an dan tanda-tanda perubahan zaman. Kejelian dalam menangkap ruh zaman (zeitgeist) mampu men- jaring peluang‑peluang yang ada, sehingga memiliki visi jauh ke depan.  Diantara yang menjanjikan itu adalah pertumbuhan ekonomi yang pesat. Pesatnya pertumbuhan ekonomi menjadi alat untuk menciptakan kemakmuran masyarakat.
4.          Paradigma Tauhid
Paradigma tauhid, laa ilaaha illa Allah, mencetak manusia menjadi ‘abid, hamba yang mengabdi kepada Allah dalam arti luas,  berkemampuan melaksanakan ajaran syar’iy mengikuti perintah Allah dan sunnah Rasul Allah, untuk menjadi manusia mandiri (self help), sesuai dengan eksistensi manusia itu di jadikan.
Manusia pengabdi (‘abid) adalah manusia yang tumbuh dengan Akidah Islamiah yang kokoh. Akidah Islamiah merupakan sendi fundamental dari dinul Islam, dan titik dasar paling awal untuk menjadikan seorang muslim.
Akidah adalah keyakinan bulat tanpa ragu, tidak sumbing dengan kebimbangan, membentuk manusia dengan watak patuh dan ketaatan yang menjadi bukti penyerahan total kepada Allah. Akidah menuntun hati manusia kepada pembenaran  kekuasaan Allah secara absolut. Tuntunan Akidah membimbing hati manusia merasakan nikmat rasa aman dan tentram dalam mencapai Nafsul Mutmainnah dengan segala sifat-sifat utama.
Apabila Akidah tauhid telah hilang, dapat dipastikan akan lahir prilaku fatalistis dengan hanya menyerah kepada nasib sambil bersikap apatis dan pesimis. Sikap negatif ini adalah virus berbahaya bagi individu pelopor penggerak pembangunan. Keyakinan tauhid secara hakiki menyimpan kekuatan besar berbentuk energi ruhaniah yang mampu mendorong manusia untuk hidup inovatif.



















BAB IV
KONSEP MORAL DAN AKHLAK DALAM ISLAM
1.        Defenisi Akhlak dan Moral
a)   Pengertian akhlak
Kata akhlak berasal dari kata khalaq atau khuluqan[19] (bahasa arab) yang berarti budi pekerti, adat kebiasaan, perangai, muru’ah atau segala sesuatu yang sudah menjadi tabiat[20]. Pengertian akhlak adalah tingkah laku manusia untuk menetapkan nilai-nilai baik atau buruknya perbuatan itu. Baik atau buruk apabila dilakukan sesuai atau bertentangan dengan norma-norma akhlak tersebut[21]
b)   Pengertian moral
c)    Adapun arti moral dari segi bahasa berasal dari bahasa latin, mores yaitu jamak dari kata mos yang berarti adat kebiasaan[22]. Dalam bahasa indonesia, moral diartikan dengan arti susila. Yang dimaksud dengan moral ialah sesuai dengan ide-ide yang diterima tentang tindakan manusia mana yang baik dan wajar, disesuaikan dengan ukuran-ukuran yang oleh umum diterima yang meliputi kesatuan sosial atau lingkungan tertentu.
2.        Akhlak Islami
Secara sederhana akhlak Islami dapat diartikan sebagai akhlak yang berdasarkan ajaran Islam atau akhlak yang bersifat Islami. Kata Islam yang berada di belakang kata akhlak dalam hal menempati posisi sebagai sifat. Dengan demikian akhlak Islami adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudah, disengaja, mendarah-daging dan sebenarnya yang didasarkan pada ajaran Islam. Dilihat dari segi sifatnya yang universal, maka akhlak Islami juga bersifat universal. Namun dalam rangka menjabarkan akhlak islami yang universal ini diperlukan bantuan pemikiran akal manusia dan kesempatan sosial yang terkandung dalam ajaran etika dan moral[23].
Dengan kata lain akhlak Islami adalah akhlak yang disamping mengakui adanya nilai-nilai universal sebagai dasar bentuk akhlak, juga mengakui nilai-nilai bersifat lokal dan temporal sebagai penjabaran atas nilai-nilai yang universal itu. Namun demikian, perlu dipertegas disini, bahwa akhlak dalam ajaran agama tidak dapat disamakan dengan etika atau moral, walaupun etika dan moral itu diperlukan dalam rangka menjabarkan akhlak yang berdasarkan agama (akhlak Islami). Hal yang demikian disebabkan karena etika terbatas pada sopan santun antara sesama manusia saja, serta hanya berkaitan dengan tingkah laku lahiriah. Jadi ketika etika digunakan untuk menjabarkan akhlak Islami, itu tidak berarti akhlak Islami dapat dijabarkan sepenuhnya oleh etika atau moral.
3.                  Indikator Manusia Berakhlak
Manusia berakhlak adalah manusia yang suci dan sehat hatinya, sedang manusia tidak berakhlak adalah manusia yang kotor dan sakit hatinya. Namun sering kali manusia tidak sadar kalau hatinya sakit. Kalaupun dia sadar tentang kesakitan hatinya, ia tidak berusaha untuk mengobatinya. Padahal penyakit hati jauh lebih berbahaya ketimbang penyakit fisik. Seseorang yang sakit secara fisik jika penyakitnya tidak dapat diobati dan disembuhkan ujungnya hanya kematian. Kematian bukanlah akhir dari segala persoalan melainkan pintu yang semua orang akan memasukinya. Tetapi penyakit hati jika tidak disembuhkan maka akan berakhir dengan kecelakaan di alam keabadian.
Indikator manusia berakhlak (husn al-khuluq), kata Al-Ghazali, adalah tertanamnya iman dalam hatinya. Sebaliknya manusia yang tidak berakhlak (su’u al-khuluq) adalah manusia yang ada nifaq di dalam hatinya. Nifaq artinya sikap mendua dalam Tuhan. Tidak ada kesesuaian antara hati dan perbuatan. Iman bagaikan akar dari sebuah tumbuhan. Sebuah pohon tidak akan tumbuh pada akar yang rusak dan kropos. Sebaliknya sebuah pohon akan baik tumbuhnya bahkan berbuah jika akarnya baik. Amal akan bermakna jika berpangkal pada iman, tetapi amal tidak membawa makna apa-apa apabila tidak berpangkal pada iman. Demikian juga amal tidak bermakna apabila amal tersebut berpangkal pada kemunafikan. Hati orang beriman itu bersih, di dalamnya ada pelita yang bersinar dan hati orang kafir itu hitam dan malah terbalik.
Taat akan perintah Allah, juga tidak mengikuti keinginan syahwat dapat mengkilaukan hati, sebaliknya melakukan dosa dan maksiat dapat menghitamkan hati. Barang siapa melakukan dosa, hitamlah hatinya dan barang siapa melakukan dosa tetapi menghapusnya dengan kebaikan, tidak akan gelaplah hatinya hanya cahaya itu berkurang. Dengan mengutip beberapa ayat Al Qur’an dan Hadits, selanjutnya Al-Ghazali mengemukakan tanda-tanda manusia beriman, diantaranya :
1.    Manusia beriman adalah manusia yang khusu’ dalam shalatnya
2.    Berpaling dari hal-hal yang tidak berguna (tidak ada faedahnya)
3.    Selalu kembali kepada Allah
4.    Mengabdi hanya kepada Allah
5.    Selalu memuji dan mengagungkan Allah
6.    Bergetar hatinya jika nama Allah disebut
7.    Berjalan di muka bumi dengan tawadhu’ dan tidak sombong
8.    Bersikap arif menghadapi orang-orang awam
9.    Mencintai orang lain seperti ia mencintai dirinya sendiri
10.                        Menghormati tamu
11.                        Menghargai dan menghormati tetangga
12.                        Berbicara selalu baik, santun dan penuh makna
13.                        Tidak banyak berbicara dan bersikap tenang dalam menghadapi segala persoalan
14.                        Tidak menyakiti orang lain baik dengan sikap maupun  perbuatan
Sufi yang lain mengungkapkan tanda-tanda manusia berakhlak, antara lain: Memiliki budaya malu dalam interaksi dengan sesamanya, tidak menyakiti orang lain, banyak kebaikannya, benar dan jujur dalam ucapannya, tidak banyak bicara tapi banyak bekerja, penyabar, hatinya selalu bersama Allah, tenang, suka berterima kasih, ridha terhadap ketentuan Allah, bijaksana, hati-hati dalam bertindak, disenangi teman dan lawan, tidak pendendam, tidak suka mengadu domba, sedikit makan dan tidur, tidak pelit dan hasad, cinta karena Allah dan benci karena Allah.
Ketika Rasulullah ditanya tentang perbedaan mukmin dan munafik, Rasulullah menjawab, orang mukmin keseriusannya dalam shalat, puasa dan ibadah sedangkan orang munafik kesungguhannya dalam makan minum layaknya hewan. Hatim al-‘Asam seorang ulama tabi’in menambahkan, bahwa indikator mukmin adalah manusia yang sibuk dengan berfikir dan hikmah, sementara munafik sibuk dengan obsesi dan panjang angan-angan, orang mukmin putus harapan terhadap manusia kecuali pada Allah. Sebaliknya orang munafik banyak berharap kepada sesama manusia dan bukan kepada Allah. Mukmin merasa aman dari segala sesuatu kecuali dari Allah, munafik merasa takut oleh segala sesuatu kecuali oleh Allah. Mukmin berani mengorbankan hartanya demi agamanya sedangkan munafik berani mengorbankan agamanya demi hartanya. Mukmin menangis dan berbuat baik, munafik berbuat jahat dan tertawa terbahak-bahak. Mukmin senang berkhalawat (bersemedi) sedang munafik senang keramaian. Mukmin menanam dan menjaga agar tidak terjadi kerusakan, munafik menuai dan mengharap keuntungan. Mukmin memerintah dan melarang (amar ma’ruf nahi munkar) untuk kekuasaan, maka kerusakannlah yang terjadi.
Kalau akhlak dipahami sebagai pandangan hidup, maka manusia berakhlak adalah manusia yang menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban dalam hubungannya dengan Tuhan, sesama makhluk dan alam dalam arti luas.
4.             Aktualisasi Akhlak dalam Kehidupan
Aktualisasi akhlak adalah bagaimana seseorang dapat mengimplementasikan iman yang dimilikinya dan mengaplikasikan seluruh ajaran islam dalam setiap tingkah laku sehari-hari. Dan akhlak seharusnya diaktualisasikan dalam kehidupan seorang muslim seperti di bawah ini[24].
a)        Akhlak terhadap Allah
Akhlak kepada Allah dapat diartikan sebagai sikap atau perbuatan yang seharusnya dilakukan oleh manusia sebagai makhluk, kepada Tuhan sebagai Khalik[25]
1.        Beribadah kepada-Nya dengan ikhlas
Yaitu melaksanakan perintah untuk menyembah Allah sesuai dengan perintah-Nya. Perintah beribadah dengan ikhlas ditegaskan Allah dalam firmannya
 Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaqwaan kepada-Nya dalam (menjalankannya) dengan lurus dan supaya mereka mendirikan sholat dan menunaikan zakat, demikianlah agama yang lurus” [26]
2.        Mentauhidkan Allah
Allah itu maha esa setiap mukmin yang memiliki pengetahuan tentang ke-Mahaesaan-Nya, maka aktivitas kesehariannya tertuju hanya kepada Allah semata. Dalam alqur’an ditegaskan
Katakanlah dialah Allah yang Maha Esa, Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan dan tidak ada satupun yang setara dengan-Nya” [27]
1.        Bertawakal
Yaitu mempercayakan diri kepada Allah dikala melakukan sesuatu perbuatan. Dalam hal ini Allah berfirman “Sesungguhnya orang-orang yang berfirman itu apabila disebut nama Allah hatinya bergetar dan apabila dibacakan ayat ayat alquran bertambah imannya dan kepada Allah mereka bertawaqal.”
1)   Bertaqwa kepada Allah
Yaitu akhlak yang paling mulia disisi Allah dan ini pulalah yang harus dicapai oleh setiap muslim dalam kehidupannya. Diantaranya Allah berfirman
Hai orang orang yang beriman bertaqwalah kamu kepada Allah yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu dan Allah meciptakan dari diri yang satu itu istrinya dan keduanya Allah menciptakan laki-laki dan perempuan yang banyak, bertaqwalah kepada-Nya yang dengan atas nama-Nya” [28]
1.    Berdoa kepada Allah saja
Orang mukmin merasa dirinya lemah, mereka tidak mampu mewujudkan segala sesuatu yang diinginkannya kecuali dengan pemberian dan pertolongan dari Allah. Maka mereka berdoa memohon pertolongan dari Allah, seperti dalam ayat berikut.
Hanya kepada engkau kami menyembah dan kepada engkau kami meminta pertolongan” [29]
2.      Berzikir kepada Allah
Yaitu mengingat Allah dalam berbagai situasi dan kondisi. Dengan berzikir kepada Allah akan menentramkan hati dan menyejukkan perasaan dan pikiran. Dalam hal ini Allah berfirman
              
Ingatlah dengan berzikir kepada Allah hati menjadi tentram” [30]

B.    Akhlak terhadap Rasulullah
1.      Mengikuti atau menjalankan sunnah Rosul
Mengacu kepada sikap, tindakan, ucapan dan cara Rasulullah menjalani hidupnya atau garis-garis perjuangan / tradisi yang dilaksanakan oleh Rasulullah. Sunnah merupakan sumber hukum kedua dalam Islam, setelah Al-Quran.
2.      Bersholawat Kepada Rosul
Mengucapkan puji-pujian kepada Rasulullah S.A.W. Sesungguhnya Tuhan beserta para malaikatnya semua memberikan sholawat kepada Nabi (dari Allah berarti memberi rahmat, dan dari malaikat berarti memohonkan ampunan).

Hai orang-orang beriman, ucapkanlah Sholawat kepada-Nya[31]
C. Akhlak Terhadap diri sendiri
1.      Sikap sabar
Sabar adalah menahan amarah dan nafsu yang pada dasarnya bersifat negative. Kemudian manusia harus sabar dalam menghadapi segala cobaan.
2.      Sikap Syukur.
Dalam keseharian, kadang atau bahkan sering kali kita lupa untuk bersyukur, atau mensyukuri segala nikmat Allah yang telah diberikan kepada kita. Ada 3 (tiga) cara yang mudah untuk mensyukuri nikmat Allah yaitu bersyukur dengan hati yang tulus, mensyukuri dengan lisan yang dilakukan dengan memuji Allah melalui ucapan alhamdulillah, dan bersyukur dengan perbuatan yang dilakukan dengan menggunakan nikmat dan rahmat Allah pada jalan dan perbuatan yang diridhoi-Nya
3.      Sikap Tawadlhu’
Tawadlhu’ atau rendah hati merupakan salah satu bagian dari akhlak mulia jadi sudah selayaknya kita sebagai umat muslim bersikap tawadhu, karena tawadhu merupakan salah satu akhlak terpuji yang wajib dimiliki oleh setiap umat islam. Orang yang tawadhu’  adalah orang  menyadari bahwa semua kenikmatan yang didapatnya bersumber dari Allah SWT
4.      Bertaubat.
Apabila melakukan kesalahan, maka segera bertaubat dan tidak mengulanginya lagi. Apabila ada dari kita yang merasa telah terlalu banyak berbuat dosa dan maksiat sebaiknya kita jangan  berputus asa dari rahmat ampunan Allah, karena Allah SWT selalu memberikan kesempatan pada kita untuk  bertobat.
D. Akhlak Terhadap Sesama Manusia
1.      Merajut Ukhuwah atau Persaudaraan
Membina persaudaraan adalah perintah Allah yang diajarkan oleh semua agama, termasuk agama Islam. Oleh sebab itu, sudah sewajarnya kalau semua elemen membangun ukhuwwah dalam komunitasnya. Apabila ada kelompok tertentu dengan mengatas-namakan agama tetapi enggan memperjuangkan perdamaian dan persaudaraan maka perlu dipertanyakan kembali komitmen keagamaannya.
2.      Ta’awun atau saling tolong menolong
Dalam Islam, tolong-menolong adalah kewajiban setiap Muslim. Sudah semestinya konsep tolong-menolong tidak hanya dilakukan dalam lingkup yang sempit. Tolong-menolong menjadi sebuah keharusan karena apapun yang  kita kerjakan membutuhkan pertolongan dari orang lain. Tidak ada manusia seorang pun di muka bumi ini yang tidak membutuhkan pertolongan dari yang lain.
3.      Suka memaafkan kesalahan orang lain
Islam mengajar umatnya untuk bersikap pemaaf dan suka memaafkan kesalahan orang lain tanpa menunggu permohonan maaf daripada orang yang berbuat salah kepadanya. Pemaaf adalah sikap suka memberi maaf terhadap kesalahan orang lain tanpa ada sedikit pun rasa benci dan dendam di hati. Sifat pemaaf adalah salah satu perwujudan daripada ketakwaan kepada Allah.
4.      Menepati Janji
Janji memang ringan diucapkan namun berat untuk ditunaikan. Menepati janji adalah bagian dari iman. Maka seperti itu pula ingkar janji, termasuk tanda kemunafikan.
E. Akhlak Terhadap Lingkungan
1.      Tafakur (Berfikir)
Salah satu ciri khas manusia yang membedakanya dari makhluk yang lain, bahwa manusia adalah makhluk yang berpikir. Dengan kemampuan itulah manusia bisa meraih berbagai kemajuan, kemanfaatan, dan kebaikan.[32]

2.      Memanfaatkan Alam
Kedudukan manusia di bumi ini bukanlah sebagai penguasa yang sewenang-wenang, tetapi sebagai khalifah yang mengemban amanat Allah. Karena itu, segala pemanfaatan manusia atas bumi ini harus dengan penuh tanggung jawab dan tidak menimbulkan kerusakan. Sebab, Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan
5.       Hubungan Tasawuf dengan Akhlak
Para ahli Ilmu Tasawuf pada umumnya membagi tasawuf kepada tiga bagian. Pertama tasawuf falsafi, kedua tasawuf akhlaki dan ketiga tasawuf amali. Ketiga macam tasawuf ini tujuannya sama, yaitu mendekatkan diri kepada Allah dengan cara membersihkan diri dari perbuatan yang tercela dan menghias diri dengan perbuatan yang terpuji[33]. Dengan demikian dalam proses pencapaian tujuan bertasawuf seseorang harus terlebih dahulu berakhlak mulia. Ketiga macam tasawuf ini berbeda dalam hal pendekatan yang digunakan. Pada tasawuf falsafi pendekatan yang digunakan adalah pendekatan rasio atau akal pikiran, karena dalam tasawuf ini menggunakan bahan-bahan kajian atau pemikiran yang terdapat dikalangan para filosof, seperti filsafat tentang Tuhan, manusia, hubungan manusia dengan Tuhan dan lain sebagainya. Selanjutnya pada tasawuf akhlaki pendekatan yang digunakan adalah pendekatan akhlak yang tahapannya terdiri dari takhalli (mengosongkan diri dari akhlak yang buruk), tahalli (menghiasinya dengan akhlak yang terpuji), dan tajalli (terbukanya dinding penghalang (hijab)) yang membatasi manusia dengan Tuhan, sehingga Nur Illahi tampak jelas padanya. Sedangkan pada tasawuf amali pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan amaliayah atau wirid, yang selanjutnya mengambil bentuk tarikat. Dengan mengamalkan tasawuf baik yang bersifat falsafi, akhlaki atau amali, seseorang dengan sendirinya berakhlak baik. Perbuatan yang demikian itu ia lakukan dengan sengaja, sadar, pilihan sendiri, dan bukan karena paksaan.
Hubungan antara Ilmu Akhlak dengan Ilmu Tasawuf lebih lanjut dapat kita ikuti uraian yang diberikan Harun Nasution. Menurutnya ketika mempelajari tasawuf ternyata pula bahwa al-Quran dan al-Hadis mementingkan akhlak. Al-Quran dan al-Hadis menekankan nilai-nilai kejujuran, kesetiakawanan, persaudaraan, rasa kesosialan, keadilan, tolong-menolong, murah hati, suka memberi maaf, sabar, baik sangka, berkata benar, pemurah, keramahan, bersih hati, berani, kesucian, hemat, menepati janji, disiplin, mencintai ilmu dan berpikiran lurus. Nilai-nilai serupa ini yang harus dimiliki oleh seorang muslim, dan dimasukkan ke dalam dirinya dari semasa ia kecil.[34]
Sebagaimana diketahui bahwa dalam tasawuf masalah ibadah amat menonjol, karena bertasawuf itu pada hakikatnya melakukan serangkaian ibadah seperti shalat, puasa, haji, zikir, dan lain sebagainya, yang semuanya itu dilakukan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Ibadah yang dilakukan dalam rangka bertasawuf itu ternyata erat hubungannya dengan akhlak. Dalam hubungan ini Harun Nasution lebih lanjut mengatakan, bahwa ibadah dalam islam erat sekali hubungannya dengan pendidikan akhlak. Ibadah dalam al-Quran dikaitkan dengan taqwa, dan taqwa berarti melaksanakan perintah Tuhan dan menjauhi larangan-Nya, yaitu orang yang berbuat baik dan jauh dari yang tidak baik. Inilah yang dimaksud dengan ajaran amar ma’ruf nahi munkar, mengajak orang pada kebaikan dan mencegah orang dari hal-hal yang tidak baik. Tegasnya orang yang bertaqwa adalah orang yang berakhlak mulia. Harun Nasution lebih lanjut mengatakan, kaum sufilah, terutama yang pelaksanaan ibadahnya membawa kepada pembinaan akhlak mulia dalam diri mereka. Hal itu, dalam istilah sufi disebut dengan al-takhalluq bi akhlaqillah, yaitu berbudi pekerti dengan budi pekerti Allah, atau al-ittishaf bi shifatillah, yaitu mensifati diri dengan sifat-sifat yang dimiliki Allah[35]


BAB VI
KERUKUNAN ANTAR UMAT BERAGAMA
1.      Agama Islam Rahmat dari Allah
Agama Islam adalah agama yang allah turunkan sejak manusia pertama,yaitu Nabi Adam as kemudian Allah turunkan secara berkesinambungan kepada Nabi atau Rasul berikutnya. Akhir dari penurunan agama Islam itu terjadi pada masa kerasulan Muhammad Saw.
Ketika Islam mulai disampaikan oleh Rasulullah Saw kepada masyarakat Arab, beliau mengajak masyarakat untuk menerima dan mentaati ajaran Islam, tanggapan yang mereka sampaikan pada Rasulullah adalah sikap heran dan aneh. Islam dianggapnya sebagai ajaran yang menyimpang dari tradisi leluhur yang telah mendarah daging bagi masyrakat Arab, yang telah mereka taati secara turun menurun.
Kata Islam berarti damai, selamat, selamat, penyerahan diri, tunduk dan patuh. Pengertian tersebut menunjukan bahwa agama Islam adalah agama yang mengandung ajaran untuk menciptakan kedamaian, kerukunan, keselamatan, dan kesejahteraan bagi kehidupan umat manusia pada khususnya dan semua makhluk Allah pada umumnya, bukan untuk mendatangkan dan membuat bencana atau kerusakan di muka bumi.
Fungsi Islam sebagai Agama Rahmatan Lil Alamin tidak tergantung pada peneriman atau penilaian manusia, substansi rahmat terletak pada fungsi ajaran tersebut,dan fungsi itu baru akan terwujud dan dapat dirasakan oleh manusia sendiri maupun oleh makhluk-makhluk yang lain , apabila manusia sebagai pengemban amanat Allah telah dapat mentaati dan menjalankan aturan-aturan ajaran Islam dengan benar dan khaffah.
Fungsi Islam juga sebagai rahmat dan bukan sebagai agama pembawa bencana, dijelaskan oleh Allah dalam Alqur’an surat Al Anbiya’: 107
قرأتفيتفسيرعمادالدينأبيالفداءالإمامإسماعيلبنعمربنكثيرعليهرحماتاللهعندتفسيرقولهتعالى -(وماأرسلناكإلارحمةللعالمين) فيسورةالأنبياءالآية 107 قوله: (…فإنقيل: فأيرحمةحصلتلمنكفربه؟فالجوابمارواهأبوجعفربنجريرعنابنعباسفيقوله: وماأرسلناكإلارحمةللعالمين.قال: منآمنباللهواليومالآخر،كتبلهالرحمةفيالدنياوالآخرة،ومنلميؤمنباللهورسوله،عوفيمماأصابالأمممنالخسفوالقذف. yang artinya:”Dan tidaklah Kami mengutus kamu Muhammad, melainkan untuk menjadi rahmat sebagai semesta alam.” Sedangkan bentuk-bentuk kerahmatan Allah pada ajaran Islam itu adalah:
  1. Islam menunjukan Manusia jalan hidup yang benar.
  2. Islam menghormati dan menghargai semua manusia sebagai hamba Allah, baik mereka muslim maupaun non muslim.
  3. Islam mengatur pemanfaatan alam secara baik dan professional.
  4. Islam memberikan kebebasan kepada manusia untuk menggunakan potensi yang diberikan oleh Allah secara tanggung jawab, dll.
2.      Definisi Kerukunan
Kerukunan dalam Islam diberi istilah “tasamuh” atau toleransi.Sehingga yang dimaksud toleransi adalah kerukunan sosial kemasyarakatan, bukan dalam hal akidah Islamiyah (keimanan), karena akidah telah digariskan secara jelas dan tegas dalam Alqur’an dan Hadits. Dalam hal akidah atau keimanan seorang muslim hendaknya meyakini bahwa Islam adalah satu-satunya agama dan keyakinan yang dianutnya sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat Al Kafirun ayat 1-6 sebagai berikut:
Artinya : “Katakanlah, Hai orang-orang kafir!. Aku tidak menyembag apa yang kamu sembah. Dan tidak (pula) kamu menyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku bukan penyembah apa yang biasa kamu sembah. Dan kamu bukanlah penyembah Tuhan yang aku sembah. Bagimu agamamu dan bagiku agamaku” [36]
Manusia ditakdirkan Allah Sebagai makhluk social yang membutuhkan hubungan dan interaksi sosial dengan sesama manusia. Sebagai makhluk social, manusia memerlukan kerja sama dengan orang lain dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, baik kebutuhan material maupun spiritual.
Ajaran Islam menganjurkan manusia untuk bekerja sama dan tolong menolong (ta’awun) dengan sesama manusia dalam hal kebaikan. Dalam kehidupan sosial kemasyarakatan umat Islam dapat berhubungan dengan siapa saja tanpa batasan ras, bangsa, dan agama.
A.  Kerja sama intern umat beragama
Persaudaraan atau ukhuwah, merupakan salah satu ajaran yang mendapat perhatian penting dalam islam. Al-qur’an menyebutkan kata yang mengandung arti persaudaraan sebanyak 52 kali yang menyangkut berbagai persamaan, baik persamaan keturunan, keluarga, masyarakat, bangsa, dan agama. Ukhuwah yang islami dapat dibagi kedalam empat macam,yaitu :[37]
1.    Ukhuwah ‘ubudiyyah, ialah persaudaraan yang timbul dalam lingkup sesama makhluk yang tunduk kepada Allah.
2.    Ukhuwah insaniyyah atau basyariyyah, yakni persaudaraan karena sama-sama memiliki kodrat sebagai manusia secara keseluruhan (persaudaraan antarmanusia, baik itu seiman maupun berbeda keyakinan).
3.    Ukhuwah wataniyyah wa an nasab, yakni persaudaraan yang didasari keterikatan keturunan dan kebangsaan.
4.    Ukhuwah diniyyah, yakni persaudaraan karena seiman atau seagama.

3.      Kerukunan antar umat beragama
Kerukunan antar umat beragama adalah suatu kondisi sosial ketika semua golongan agama bisa hidup bersama tanpa menguarangi hak dasar masing-masing untuk melaksanakan kewajiban agamanya.
Kerukunan antar umat beragama juga di contohkan rasulullah dalam hijrahnya ke madinah beliau berhubungan baik dengan antar kaum anzar dengan muhajirin dan juga dengan umat yahudi .di perjelas dengan adanya perjanjian yg isinya :
1.    Umat yahudi dan umat islam hidup dalam satu bangsa
2.    Menjalankan agamanya masing masing tanpa mengganggu satu sama lain
3.    Jika satu dari mereka di serang musuh maka mereka akan saling membantu
4.    Jika madinah di serang musuh , maka umat islam dan yahudi ikut mempertahankannya
5.    Jika kedua belah pihak berselisih maka rasulullah yang akan mengadilinya .[38]
Kerukunan antar umat beragama itu sendiri juga bisa diartikan dengan toleransi antar umat beragama.Dalam toleransi itu sendiri pada dasarnya masyarakat harus bersikap lapang dada dan menerima perbedaan antar umat beragama. Selain itu masyarakat juga harus saling menghormati satu sama lainnya misalnya dalam hal beribadah, antar pemeluk agama yang satu dengan lainnya tidak saling mengganggu.
Kerukunan umat Islam dengan penganut agama lainnya telah jelas disebutkan dalam Alqur’an dan Al-hadits. Hal yang tidak diperbolehkan adalah dalam masalah akidah dan ibadah, seperti pelaksanaan sosial, puasa dan haji, tidak dibenarkan adanya toleransi, sesuai dengan firman-Nya dalam surat Al Kafirun: 6, yang artinya: “Bagimu agamamu, bagiku agamaku”.Beberapa prinsip kerukunan antar umat beragama berdasar Hukum Islam :
a.    Islam tidak membenarkan adanya paksaan dalam memeluk suatu agama (QS.Al-Baqarah : 256).
ا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لا انْفِصَامَ لَهَا وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
b.      Allah SWT tidak melarang orang Islam untuk berbuat baik,berlaku adil dan tidak boleh memusuhi penganut agama lain,selama mereka tidak memusuhi,tidak memerangi dan tidak mengusir orang Islam.(QS. Al-Mutahanah : 8).
ايَنْهَاكُمُاللَّهُعَنِالَّذِينَلَمْيُقَاتِلُوكُمْفِيالدِّينِوَلَمْيُخْرِجُوكُمْمِنْدِيَارِكُمْأَنْتَبَرُّوهُمْوَتُقْسِطُواإِلَيْهِمْإِنَّاللَّهَيُحِبُّالْمُقْسِطِينَ . ﴿سورةالممتحنة : ٨-۹
c.       Setiap pemeluk agama mempunyai kebebasan untuk mengamalkan syari'at agamanya masing-masing (QS.Al-Baqarah :139).
قُلْأَتُحَاجُّونَنَافِياللَّهِوَهُوَرَبُّنَاوَرَبُّكُمْوَلَنَاأَعْمَالُنَاوَلَكُمْأَعْمَالُكُمْوَنَحْنُلَهُمُخْلِصُونَ
d.  Islam mengharuskan berbuat baik dan menghormati hak-hak tetangga,tanpa membedakan agama tetangga tersebut.Sikap menghormati terhadap tetangga itu dihubungkan dengan iman kepada Allah SWT dan iman kepada hari akhir (Hadis Nabi riwayat Muttafaq Alaih).
e.  Barangsiapa membunuh orang mu'ahid,orang kafir yang mempunyai perjanjian perdamaian dengan umat Islam, tidak akan mencium bau surga;padahal bau surga itu telah tercium dari jarak perjalanan empat puluh tahun (Hadis Nabi dari Abdullah bin 'Ash riwayat Bukhari).

4.      Menjaga Kerukunan Hidup Antar Umat Beragama
Menjaga Kerukunan Hidup Antar Umat Beragama salah satunya dengan dialog antar umat beragama. Secara historis banyak terjadi konflik antar umat beragama, misalnya konflik di Poso antara umat islam dan umat kristen. Agama disini terlihat sebagai pemicu atau sumber dari konflik tersebut.Sangatlah ironis konflik yang terjadi tersebut padahal suatu agama pada dasarnya mengajarkan kepada para pemeluknya agar hidup dalam kedamaian, saling tolong menolong dan juga saling menghormati.Untuk itu marilah kita jaga tali persaudaraan antar sesama umat beragama.
Menurut Prof. Dr. H Muchoyar H.S, MA dalam menyikapi perbedaan agama terkait dengan toleransi antar umat beragama agar dialog antar umat beragama terwujud  memerlukan 3 konsep yaitu :[39]
1.      Setuju untuk tidak setuju, maksudnya setiap agama memiliki akidah masing- masing sehingga agama saling bertoleransi dengan perbedaan tersebut.
2.      Setuju untuk setuju, konsep ini berarti meyakini semua agama memiliki kesamaan dalam upaya peningkatan kesejahteraan dan martabat umatnya.
3.      Setuju untuk berbeda, maksudnya dalam hal perbedaan ini disikapi dengan damai bukan untuk saling menghancurkan.
Faktor Penyebab Ketidakharmonisan Kerukunan Antar Umat Beragama
Terdapat delapan faktor utama penyebab timbulnya ketidak harmonisan di bidang kerukunan hidup umat beragama ditilik dari dampak kegiatan keagamaan antara lain:[40]
a.    Pendirian Tempat Ibadah.
Tempat ibadah yang didirikan tanpa mempertimbangkan situasi dan kondisi lingkungan umat beragama setempat sering menciptakan ketidak-harmonisan umat beragama yang dapat menimbulkan konflik antar umat beragama.
b.   Penyiaran Agama.
Penyiaran agama, baik secara lisan, melalui media cetak seperti brosur, pamflet, selebaran dsb, maupun media elektronika, serta media yang lain dapat menimbulkan kerawanan di bidang kerukunan hidup umat beragama, lebih-lebih yang ditujukan kepada orang yang telah memeluk agama lain.
c.    Bantuan Luar Negeri.
Bantuan dari Luar negeri untuk pengembangan dan penyebaran suatu agama, baik yang berupa bantuan materiil / finansial ataupun bantuan tenaga ahli keagamaan, bila tidak mengikuti peraturan yang ada, dapat menimbulkan ketidak-harmonisan dalam kerukunan hidup umat beragama, baik intern umat beragama yang dibantu, maupun antar umat beragama.
d.   Perkawinan Beda Agama.
Perkawinan yang dilakukan oleh pasangan yang berbeda agama, walaupun pada mulanya bersifat pribadi dan konflik antar keluarga, sering mengganggu keharmonisan dan mengganggu kerukunan hidup umat beragama, lebih-lebih apabila sampai kepada akibat hukum dari perkawinan tersebut, atau terhadap harta benda perkawinan, warisan, dsb.
e.    Perayaan Hari Besar Keagamaan.
Penyelenggaraan perayaan Hari Besar Keagamaan yang kurang mempertimbangkan kondisi dan situasi serta lokasi dimana perayaan tersebut diselenggarakan dapat menyebabkan timbulnya kerawanan di bidang kerukunan hidup umat beragama.
f.     Penodaan Agama.
Perbuatan yang bersifat melecehkan atau menodai agama dan keyakinan suatu agama tertentu yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang, dapat menyebabkan timbulnya kerawanan di bidang kerukunan hidup umat beragama.
g.    Kegiatan Aliran Sempalan.
Kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang yang didasarkan pada keyakinan terhadap suatu agama tertentu secara menyimpang dari ajaran agama yang bersangkutan dapat menimbulkan keresahan terhadap kehidupan beragama, sehingga dapat pula menyebabkan timbulnya kerawanan di bidang kerukunan hidup beragama.
h.   Aspek Non Agama yang mempengaruhi.
Aspek-aspek non agama yang dapat mempengaruhi kerukunan hidup umat beragama antara lain : kepadatan penduduk, kesenjangan sosial ekonomi, pelaksanaan pendidikan, penyusupan ideologi dan politik berhaluan keras yang berskala regional maupun internasional, yang masuk ke Indonesia melalui kegiatan keagamaan.






BAB VII
1.      FILSAFAT PENDIDIKAN
A.    Pengertian Filsafat Pendidikan
Filsafat pendidik­an adalah aktivitas pikiran yang teratur yang menjadikan filsafat sebagai jalan untuk mengatur, menyelaraskan, dan memadukan proses pendidikan. Artinya, filsafat pendidikan dapat menjelas­kan nilai-nilai dan maklumat-maklumat yang diupayakan untuk mencapainya. Dalam hal ini, filsafat, filsafat pendidikan, dan pengalaman kemanusiaan merupakan faktor yang integral. Filsafat pendidikan juga bisa didefinisikan sebagai kaidah filosofis dalam bidang pendidikan yang menggambarkan aspek­-aspek pelaksanaan falsafah umum dan menitikberatkan pada pelaksanaan prinsip-prinsip dan kepercayaan yang menjadi dasar dari filsafat umum dalam upaya memecahkan persoalan-persoal­an pendidikan secara praktis.
Berdasarkan uraian diatas dapat kita tarik pengertian bahwa filsafat pendidikan sebagai ilmu pengetahuan normatif dalam bidang pendidikan merumuskan kaidah-kaidah norma dan atau ukuran tingkah laku perbuatan yang sebenarnya dilaksanakan oleh manusia dalam hidup dan kehidupannya.
B.      Ruang Lingkup Filsafat Pendidikan
Secara mikro yang menjadi ruang lingkup filsafat pendidikan meliputi:
1.       Merumuskan secara tegas sifat hakikat pendidikan (the nature of education);
2.       Merumuskan sifat hakikat manusia, sebagai subjek dan objek pendidikan (the nature of man);
3.       Merumuskan secara tegas hubungan antara filsafat, filsafat pendidikan, agama dan kebudayaan;
4.       Merumuskan hubungan antara filsafat, filsafat pendidikan, dan teori pendidikan;
5.       Merumuskan hubungan antara filsafat Negara (ideologi), filsafat pendidikan dan politik pendidikan (sistem pendidik­an);
6.       Merumuskan sistem nilai-norma atau isi moral pendidik­an yang merupakan tujuan pendidikan.
Dengan demikian, dari uraian di atas diperoleh suatu kesim­pulan bahwa yang menjadi ruang lingkup filsafat pendidikan itu ialah semua aspek yang berhubungan dengan upaya manusia untuk mengerti dan memahami hakikat pendidikan itu sendiri, yang berhubungan dengan bagaimana pelaksanaan pendidikan yang baik dan bagaimana tujuan pendidikan itu dapat dicapai seperti yang dicita-citakan.
C.      Hubungan Filsafat dengan Filsafat Pendidikan
Hubungan antara filsafat dan filsafat pendidikan sangatlah penting sebab ia menjadi dasar, arah dan pedoman suatu sistem pendidikan. Menurut Jalaludin & Idi (2007: 32) filsafat pendidikan merupakan aktivitas pemikiran teratur yang menjadikan filsafat sebagai medianya untuk menyusun proses pendidikan, menyelaraskan dan mengharmoniskan serta menerangkan nilai-nilai dan tujuan yang ingin di capai.
Lebih jauh, Jalaludin & Idi (2007: 32) menyampaikan hubungan fungsional antara filsafat dan teori pendidikan, sebagai berikut:
1.       Filsafat merupakan suatu cara pendekatan yang dipakai untuk memecahkan problematika pendidikan dan menyususn teori-teori pendidikan.
2.       Filsafat berfungsi memberi arah terhadap teori pendidikan yang memiliki relevansi dengan kehidupan yang nyata.
3.       Filsafat, dalam hal ini fisafat pendidikan, mempunyai fungsi untuk memberikan petunjuk dan arah dalam pengembangan teori-teori pendidikan menjadi ilmu pendidikan.
Adapun hubungan filsafat umum dan filsafat pendidikan terdapat batasan-batasan sebagai berikut:
1.       Filsafat pendidikan merupakan pelaksana pandangan filsafat dan kaidah filsafat dalam bidang pengalaman kemanusiaan yang disebut pendidikan.
2.       Kajian tentang filsafat pendidikan sangat penting karena merupakan upaya dalam pengembangan pandangan terhadap proses pendidikan dalam upaya memperbaikai keadaan pendidikan.
3.       Filsafat pendidikan memiliki prinsip-prinsip, kepercayaan, konsep andaian yang kontinuansi satu sama lainnya.
Dari uraian di atas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa antara filsafat pendidikan dan pendidikan terdapat suatu hubung­an yang erat sekali dan tak terpisahkan. Filsafat pendidikan mempunyai peranan yang amat penting dalam sistem pendi­dikan karena filsafat merupakan pemberi arah dan pedoman dasar bagi usaha-usaha perbaikan, meningkatkan kemajuan dan landasan kokoh bagi tegaknya sistem pendidikan.[41]
2.      FILSAFAT MANUSIA SEMPURNA
A.    Pengertian Manusia Sempurna[42]
Manusia adalah makhluk yang memiliki kemampuan, hak istimewa, dan memiliki tugas menyelidiki hal-hal yang mendalam. Ia memikirkan dan bertanya tentang segala hal. [43] Setiap individu manusia memiliki tanggung jawab terhadap dirinya sendiri. Meskipun ia tidak perlu mengenal dan mengerti segala hal, setidaknya manusia berusaha mengenal serta megerti dirinya sendiri secara cukup mendalam untuk dapat mengatur sikapnya dalam hidup. Tetapi untuk dapat mengatur diri dan untuk dapat membedakan apa yang baik atau yang buruk baginya. Ia harus sudah memperoleh pandangan yang cukup tepat tentang apakah hakikat sifat manusia itu, kemampuan apa yang dimiliki oleh sifat-sifat manusiawi itu, apa yang dicita-citakannya, dan apa yang benar dapat mengembangkan manusia sehingga menjadi “Manusia Sempurna”.
Wacana manusia sempurna seperti ini merupakan wacana yang sudah banyak dikaji oleh para filosof dan juga di dalam kitab-kitab suci yang menjadi pandangan hidup manusia. Meskipun sebutan manusia sempurna memiliki istilah yang berbeda-beda pada masing-masing sistem, seperti Wakil Tuhan, Jivan Mukti, Manusia Super, Manusia yang teraktualisasi, Insan Kamil dan masih banyak istilah-istilah lain. Namun semuanya menyatu pada satu “muara” yaitu bagaimana manusia yang seharusnya.

B.     Menuju Manusia Sempurna
Menjadi manusia yang baik merupakan idaman setiap orang, baik dalam dimensi rohani yang berhubungan dengan Tuhan maupun baik dalam dimensi jasmani yang terkait dalam kehidupan sosial. Dalam pembentukan karakter manusia diperlukan pemahaman terhadap nilai-nilai. Oleh karena itu, pengkajian akan nilai, etika, dan implementasinya dalam kehidupan sosial, sangatlah diperlukan. Terlebih ditambah dengan bagaimana cara dalam penanaman esensi-esensi nilai dan etika pada diri seseorang untuk membentuk pribadi ideal dan yang lebih tinggi.
Disadari atau tidak, nilai-nilai di dalam realitas kehidupan telah mengalami degradasi nilai yang menjadikan manusia lupa akan kemanusiaannya. Kriminalitas yang marak terjadi pada saat ini seharusnya menjadi cermin bagi manusia akibat dari pendewaan terhadap modernisme dan kebebasan tanpa batas agar berupaya mengatasinya. [44]
Pandangan Al-Ghazali
Menurut Al-Ghazali kebahagiaan yang sebenarnya merupakan tujuan seseorang dalam mencapai tahap kesempurnaan paling tinggi terutama bagi manusia adalah mengenal hakikat sesuatu, hal tersebut tidak dapat tercapai seluruhnya di dunia. Bagi setiap orang yang berusaha untuk meraih dengan sebenar-benarnya, maka akan didapatnya di akhirat. Karena selama di dunia sarana untuk mendapatkan ma’rifat selalu memperoleh cobaan. Yang demikian itu akan lenyap besok jika manusia sudah hidup di akhirat, dan cobaan yang menghalangi manusia akan dilepas supaya mata manusia berubah menjadi jelas dan terang.
Ma’rifat merupakan tingkat tertinggi yang dapat dicapai oleh manusia dan merupakan tujuan hidupnya dalam konsep al-Ghazali. Menurut al-Ghazali jalan menuju ma’rifat adalah paduan antara ilmu dan amal dengan memfungsikan keutamaan-keutamaan di dunia. Dalam hal ini diaktualisasikan dengan menjalankan syari’at Islam secara kaffah, yang secara fisik terwujud dalam amalan-amalan lahiriah dan menjadikan ibadah sebagai parameter di setiap gerak dan tingkah lakunya. Secara psikis dengan memperhatikan kesucian jiwa, yang dilakukan dengan dua hal. Pertama al-mujahadat yaitu kesugguhan menghilangkan segala hambatan dan kedua al-riyadhat yaitu latihan pendekatan diri kepada Tuhan. Usaha pembersihan diri berlangsung secara berangsur-angsur melalui beberapa maqam, yaitu: taubat, sabar, kefakiran, zuhud, tawakkal, mahabbah, dan ridlo. Setelah hal-hal tersebut terpenuhi, sampailah ia pada tingkatan paling tinggi yaitu al-ma’rifat atau pengetahuan yang tertinggi tentang Tuhan.[45]

3.         ETIKA MURID TERHADAP GURU
Pada zaman Rasulullah dan para Sahabat murid itu mendapatkan kedudukan yang sangat tinggi dalam proses pendidikan, karena murid itu adalah sosok yang sedang tumbuh dan berkembang yang harus diperhatikan oleh pendidik. Dalam hal ini, para guru membuat aturan bagaimana murid mampu merealisasikan aturan, sehingga dapat menciptakan proses pembelajaran yang baik.[46]
Adapun mengenai etika murid terhadap guru, menurut Sa’id bin Muhammad Da’ib Hawwa itu ada delapan:
1.      Mendahulukan kesucian jiwa dari pada kejelekan akhlak dan keburukan sifat, karena ilmu adalah ibadahnya hati, shalatnya jiwa, dan
2.       peribadatannya batin kepada Allah.
3.      Mengurangi keterikatannya dengan kesibukan dunia, karena iktan-iktan itu menyibukkan dan memalingkan kepada Allah. Jika pikiran terpecah maka tidak bisa mengetahui berbagai hakekat. Oleh karena itu, ilmu tidak akan diberikan kepada seseorang sebelum seseorang tersebut menyerahkan seluruh jiwanya.
4.      Tidak bersikap sombong kepada orang yang berilmu dan tidan tidak bertindak sewenang-wenang terhadap guru, bahkan ia harus menyerahkan seluruh urusannya dan mematuhi nasehatnya. Oleh karena itu, penuntut ilmu tidak boleh bersikap sombong terhadap guru. Di antara bentuk kesombongannya terhadap guru adalah sikap tidak mau mengambil manfaat (ilmu) kecuali dari orang-orang besar yang terkenal.
5.      Hendaknya seorang murid menjaga diri dari mendengarkan perselisihan di antara mereka, baik yang ditekuni itu termasuk ilmu dunia ataupun akhirat. Karena itu akan membingungkan akal dan pikirannya, dan membuatnya putus asa dari melakukan pengkajian dan telaah mendalam.
6.      Seorang penuntut ilmu tidak boleh meninggalkan suatu cabang ilmu yang terpuji, atau salah satu jenis ilmu, kecuali ia harus mempertimbangkan matang-matang dan memperhatikan tujuan dan maksudnya.
7.      Hendaknya seorang tidak menekuni semua bidang ilmu secara sekaligus melainkan memulai dengan yang lebih mudah.
8.      Hendaklah seorang murid tidak memasuki suatu cabang ilmu sebelum menguasai cabang ilmu yang sebelumnya.
9.      Hendaklah mengetahui faktor penyebab adanya ilmu yang mulia. Yang dimaksud adalah kemulian hasil, kekokohan dan kekuatan dalil.
10.  Hendaklah tujuan murid di dunia adalah semata-mata untuk menghias dan mempercantik hatinya dengan keutamaan, dan akhirat adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah dan meningkatkan diri untuk bisa berdekatan dengan makhluk tertinggi dari kalangan malaikat dan orang-orang yang didekatkan (muqorrobin).
11.  Hendaklah mengetahui kaitan dengan tujuan agar supaya mengutamakan yang tinggi.[47]
Sedangkan menurut Hasyim Asy’ari bahwa etika murid terhadap ada sepuluh macam yang harus diketahui oleh murid.
1.      Murid hendaknya membersihkan hati dari segala kotoran, agar ilmu mudah masuk pada dirinya.
2.      Memfokuskan niat hanya semata-mata karena Allah dan beramal dengan ilmunya, menjaga syariat, menerangi hati dan taqorrub Kepada Allah.
3.      Berusaha semaksimal mungkin untuk segera memperoleh ilmu, tidak tertipu oleh lamunan-lamunan kosong atau kemalasan.
4.      Qona’ah dan sabar terhadap makanan dan pakaian yang sederhana agar segera memperoleh kedalam ilmu dan sumber hikmah.
  1. Pandai mengatur waktu, sehingga semua potensi bisa dimanfaatkan secara maksimal.
6.      Makan sekedarnya, tidak terlalu kenyang, agar tidak menghambat ibadah dan memberatkan badan.
7.      Berusaha bersikap waro’ (hati-hati terhadap masalah haram, subhat dan sia-sia); memilih yang halal bagi kebutuhan hidupnya agar hati senantiasa bersinar dan siap menerima cahaya ilmu dan keberkahanya.
8.      Menghindari makanan yang menyebabkan kemalasan dan melemahkan keberanian, termasuk juga menghindari hal-hal yang banyak menyebabkan lemahnya daya ingat.
9.      Menyedikitkan tidur selama tidak mengganggu kesehatan diri.

10.  Meninggalkan hal yang bisa menarik pada kesia-sian dan kelalaian dari belajar dan ibadah [48]
Sangat jelas sekali, keharusan adanya niat dan kebersihan hati dalam belajar. Karena belajar dianggap sebagai ibadah dan tujuannya adalah ridha dan taqorrub kepada Allah. Untuk itu, murid harus menyesuaikan diri dengan sifat-sifat bersih dan suci dari Allah. Penekanan pentingnya kebersihan hati dalam belajar itu berdasarkan atas kepercayaan bahwa ilmu merupakan anugerah dari Allah yang maha Agung. Semakin suci dan bersih hati manusia akan semakin baik dan kuat menerima ilmu dan nur Allah.
Dan juga perlu disadari, bahwa hormat dan patuh kepada gurunya bukanlah manifestasi penyerahan total kepada guru yang dianggap memiliki otoritas, melainkan karena keyakinan murid bahwa guru adalah penyalur kemurahan Tuhan kepada para murid di dunia maupun di akhirat. Selain itu juga didasarkan atas kepercayaan bahwa guru tersebut memiliki kesucian karena memegang kunci penyalur ilmu pengetahuan dari Allah. Dengan demikian, dalam kontek kepatuhan santri pada guru hanyalah karena hubungannya dengan kesalehan guru kepada Allah, ketulusannya, dan kecintaanya mengajar murid-murid.




























BAB VIII
ISLAM MEMBANGUN PERSATUAN DALAM KEBERAGAMAN

Pengertian Persatuan dan Kerukunan
Secara bahasa persatuan diartikan sebagai gabungan (ikatan,kumpulan dan lain sebagainya), beberapa bagian yang sudah bersatu. Sedangkan rukun berarti baik, damai, tidak bertengkar. Kerukunan berarti sebagai hidup rukun, damai dan tidak bertengkar antara warga masyarakat.[49]
Persatuan dan kerukunan sangat diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat, sebab terciptanya persatuan dan kerukunan dalam suatu negara akan menjadikan rakyat nyaman dan tentram dalam bekerja, menurut ilmu, melaksanakan ajaran agama, melaksanakan pembangunan dan lain sebagainya. Agama islam mengajarkan kepada umatnya untuk membina persatuan dan kerukunan. Firman Allah:
Artinya: “Hai manusia,Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujuraat:13)
Ayat tersebut menegaskan bahwa manfaat diciptakan manusia dengan berbeda-beda suku, bangsa adalah supaya saling mengenal dan memberi manfaat satu dengan yang lainnya. Pada ayat lain,Allah melarang hamba-Nya saling mengolok-olok kaum satu dengan yang lainnya:
Artinya: “ wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain,boleh jadi yang mereka itu lebih baik dari mereka(yang mengolok-olok), dan jangan pula sekumpulan perempuan mengolok-olok kumpulan lainnya, boleh jadi yang di perolok-olokkan itu lebih baik perempuan yang mengolok-olok. Janganlah kamju saling mencela satu sama lain, dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah yang buruk setelah beriman. Dan barang siapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.”(QS. al-Hujuraat :11)

1.      Menggali konsep Islam tentang Pluralitas

a.       Keberagaman pluralitas dalam Beragama
Istilah pluralisme  merupakan istilah yang banyak di dengar dewasa ini. Banyak ilmuan dan pemikir yang membahas masalah ini kepada masyarakat. Menurut mereka paham ini sangat cocok di kembangkan di Indonesia, dikarenakan kondisi masyarakat yang plural(sangat beragam dalam berbagai hal). Menurut Adnin Armas, paham pluralisme mengajarkan bahwa semua agama adalah sama. Dalam setiap agama terdapat kebenaran. Banyak jalan menuju kebenaran. Oleh sebab itu,islam bukan lah satu satunya jalan yang sah menuju pada kebenaran.
Kata “pluralisme” di terjemahkan dalam berbagai interpretasi. Interpretasi populer dari Johan Hick, mengenai pluralisme ini adalah anggapan bahwa kebenaran merupakan suatu hal yang kolektif  diantara semua agama, dan seluruh agama bisa menjadi sumber keselamatan, kesempurnaan dan keagungan bagi para penganutnya.[50]
Sejalan dengan itu, Nurcholis Madjid berpendapat bahwa pluralisme tidak dapat dipahami hanya dengan mengatakan bahwa masyarakat kita majemuk, beraneka ragam terdiri dari berbagai suku dan agama, yang hanya menggambarkan kesan pragmentasi, sekedar “kebaikan negatif” yang hanya untuk menyingkirkan kesan fanatisme. Pluralisme menurutnya harus di paham sebagai pertalian sejati kebijakan dalam pertalian keadaban,bahkan pluralisme juga suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia,antara lain mekanisme pengawasan dan pengimbangan yang di hasilnya. 
Interpretasi lain tentang pluralisme tersorot kepada dimensi sosial kehidupan beragama,artinya segenap peganut agama bisa hidup berdampingan secara damai dalam sebuah masyarakat serta saling menjaga batas-batas dan hak masing- masing. Menurut pendapat Ali Rabbani,pluralisme agama yang bisa di terima adalah pluralisme dalam makna kedua, yakni dalam kehidupan bersama secara rukun, masing-masing meyakini kebenaran berada di pihaknya,penulis sendiri juga sependapat dengan interpretasi kedua,karena jika kita meyakini kebenaran ada pada semua agama,maka kesaliman aqidah kita akan goyah.
Kebersamaan hidup antara orang islam dengan non muslim telah di contohkan oleh rosullulah ketika beliau dengan para sahabat mengawali hidup di Madinah setelah hijrah. Rosullulah megikat perjanjian penduduk madinah yang terdiri dari orang orang kafir dan muslim untuk saling membantu dan menjaga keamanan kota madinah dari ganguan musuh. Rosullulah juga pernah menggadaikan baju besinya kepada orang-orang Yahudi ketika umat Islam kekurangan pangan. Hal ini menunjukkan bahwa Islam mengakui Kebersamaan(pluralitas) dan menolak pluralisme. Sebab Rosululloh telah mengajarkan kita untuk tetap berkompromi,bergaul, dengan masyarakat diluar agama Islam dalam hal sosial kemasyarakatan. Rosululloh tetap berinteraksi secara inklusif dan ekslusif dengan orang diluar agama Islam. Namun dalam hal aqidah kita tidak boleh saling kompromi,karena sesuai dengan surat Al-Kafirun ayat 6.
لَكُمْ دِيْنُكُمْ وَلِىَ دِيْنِ
Artinya: “Untukmu agamamu,dan untukkulah agamaku”(QS. Al kafirun: 6)
2.      Menggali konsep Islam tentang Toleransi

a.       Pengertian Toleransi
Toleransi adalah sifat atau sikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat,pandangan,kepercayaan,kebiasaan,kelakuan,dsb) yang lain atau bertentangan dengan pendiriannya sendiri(agama,ideologi,ras).[51]  Dalam bahasa Arab, toleransi biasa disebut “ikhtimal”, “tasamuh” yang artinya membiarkan sesuatu untuk dapat saling mengizinkan dan saling memudahkan.
Toleransi menurut Syekh Salim bin Hilali memiliki karakteristik sebagai berikut, yaitu antara lain:
1.      Kerelaan hati karena kemuliaan dan kedermawanan
2.      Kelapangan dada karena kebersihan dan ketaqwaan
3.      Kelemah lembutan karena kemudahan
4.      Muka yang ceria karena kegembiraan
5.      Rendah diri dihadapan kaum muslimin bukan karena kehinaan
6.      Mudah dalam berhubungan sosial (mu'amalah) tanpa penipuan dan kelalaian
7.      Menggampangkan dalam berda'wah ke jalan Allah tanpa basa basi
8.       Terikat dan tunduk kepada agama Allah SWT tanpa rasa keberatan.
Dasar-dasar al-Sunnah (Hadist Nabi) menegaskan bahwa toleransi dalam Islam itu sangat komprehensif dan serba-meliputi,baik lahir maupun batin. Maka dari itu, toleransi tidak akan tegak jika tidak lahir dari hati, dari dalam. Ini berarti toleransi bukan saja memerlukan kesediaan ruang untuk menerima perbedaan, tetapi juga memerlukan pengorbanan material maupun spiritual, lahir maupun batin. Di sinilah, konsep Islam tentang toleransi (as-samahah) menjadi dasar bagi umat Islam untuk melakukan mu’amalah (hablum minannas) yang ditopang oleh kaitan spiritual kokoh (hablum minallāh).
Kesalahan memahami arti toleransi dapat mengakibatkan talbisul haqbil bathil (mencampuradukan antara hak dan bathil) yakni suatu sikap yang sangat dilarang dilakukan oleh seorang muslim, seperti halnya menikah antar agama dengan toleransi sebagai landasannya.  Sebagaimana yang telah dijelaskan diayat Al-Quran dibawah ini, Allah SWT berfirman:
إن الدين عند الله الإ سلم ومااختلف الذين أوتواالكتب إلامن بعد ماجاءهم العلم بغيا بينهم ومن يكفر بأيت الله فإن الله سريع الحساب

Artinya:
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya”. (QS.Ali Imran: 19)

Menurut kami, toleransi dapat disimpulkan sebagai sikap menghargai dan menghormati setiap orang yang berbeda-beda baik secara etnis, ras, bahasa, budaya, politik, pendirian, kepercayaan maupun tingkah laku.

b.      Manfaat-manfaat yang diperoleh dari sikap toleransi antara lain:
1.      Menghindari Terjadinya Perpecahan
Bersikap toleran merupakan solusi agar tidak terjadi perpecahan dalam mengamalkan agama. Sikap bertoleransi harus menjadi suatu kesadaran pribadi yang selalu dibiasakan dalam wujud interaksi sosial. Toleransi dalam kehidupan beragama menjadi sangat mutlak adanya dengan eksisnya berbagai agama samawi maupun agama ardhi dalam kehidupan umat manusia ini.
Dalam kaitannya ini Allah telah mengingatkan kepada umat manusia dengan pesan yang bersifat universal, berikut firman Allah SWT:

شرع لكم من الدين ما وصى به نوحاوالذى أوحينا إليك وماوصينابه إبرهيم وموسى وعيسى أن أقيمواالدين ولاتتفرقوا فيه كبرعلى المشركين ماتدعوهم إليه الله يجتبى إليه من يشا ءويهدى إليه من ينيب

Artinya: “Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu : Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada -Nya orang yang kembali.”(As-Syuro:13)

واعتصموا بحبل الله خميعا ولاتفرقوا واذكروا نعمت الله عليكم إذكنتم أعدآء فألف بين قلو بكم فأصبحتم بنعمته إخونا وكنتم على شفا حفرة من النا رفأ نقذ كم منها كذ لك يبين الله لكم ءايته لعلكم تهتدون
Artinya:
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu Karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu Telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (Al-Imran:103)

Pesan universal ini merupakan pesan kepada segenap umat manusia tidak terkecuali, yang intinya dalam menjalankan agama harus menjauhi perpecahan antar umat beragama maupun sesama umat beragama.
2.      Memperkokoh Silaturrahim dan Menerima Perbedaan
Salah satu wujud dari toleransi hidup beragama adalah menjalin dan memperkokoh tali silaturahim antar umat beragama dan menjaga hubungan yang baik dengan manusia lainnya. Pada umumnya, manusia tidak dapat menerima perbedaan antara sesamanya, perbedaan dijadikan alasan untuk bertentangan satu sama lainnya. Perbedaan agama merupakan salah satu faktor penyebab utama adanya konflik antar sesama manusia.
Merajut hubungan damai antar penganut agama hanya bisa dimungkinkan jika masing-masing pihak menghargai pihak lain. Mengembangkan sikap toleransi beragama, bahwa setiap penganut agama boleh menjalankan ajaran dan ritual agamanya dengan bebas dan tanpa tekanan. Oleh karena itu, hendaknya toleransi beragama kita jadikan kekuatan untuk memperkokoh silaturahim dan menerima adanya perbedaan. Dengan ini, akan terwujud perdamaian, ketentraman, dan kesejahteraan.
Hal-hal yang dapat terjadi apabila toleransi di dalam masyarakat diabaikan adalah:
1.      Menimbulkan konflik di dalam masyarakat dikarenakan tidak adanya saling menghormati satu sama lain.  Yang paling membahayakan dari konflik adalah menyebabkan lahirnya kekerasan dan adanya korban, dan hal ini dapat berpengaruh pada keamanan dan stabilitas suatu negara.
2.      Semakin maraknya pelanggaran HAM.  Hal ini disebabkan oleh reduksi universalitas agama yang mengakibatkan agama tersekat dalam tempurung yang sempit dan mewujudkan angan-angan tersendiri bagi pengikutnya bisa dalam bentuk fanatisme sempit yang tidak rasional bahkan menimbulkan ketakutan terhadap agama atau kelompok yang bisa terkespresi dengan perilaku melanggar HAM.[52]
Upaya-upaya yang dapat mengubah sikap permusuhan menjadi sikap bekerja sama dan saling menghormati yaitu:
1.             Menyingkirkan segala upaya politisasi agama dan menempatkan agama sebagai nilai yang universal
2.             Menumbuhkan kesadaran bahwa masyarakat terdiri dari berbagai pemeluk agama yang berbeda dan kebersamaan merupakan hal yang tidak dapat dihindarkan utnuk menjaga kententraman kehidupan
3.             Kontak yang sering terjadi, walaupun mungkin tidak sampai pada belajar tentang jaran agama lain.  Yang penting adalah adnaya kesempatan untuk bertemu sehingga kelihatan bahwa orang lain mesti berupa lawan
4.              Informasi yang adil tentang agama lain.  Mungkin ini merupakan kelanjutan kontak diatas, namun bisa juga terjadi karena banyaknya media massa yang tidak mengenal batas kelompok
5.             Sikap pemerintah, seperti negara Pancasila, yang tidak memperlakukan umat-umat beragama degan berat sebelah
6.             Pendidikan yang tidak hanya mempertemukan beberapa anak pemeluk agama yang berbeda-beda namun juga mencerahkan pikiran dan memungkinkannya untuk membuka diri terhadap orang lain.

c.       Toleransi dalam Pandangan Islam
Saling menghargai dalam iman dan keyakinan adalah konsep Islam yang amat komprehensif.  Konsekuensi dari prinsip ini adalah lahirnya spirit taqwa dalam beragama. Karena taqwa kepada Allah melahirkan rasa persaudaraan universal di antara umat manusia. Abu Ju’la  dengan amat menarik mengemukakan, “Al-khalqu kulluhum ‘iyālullāhi fa ahabbuhum ilahi anfa’uhum li’iyālihi” (“Semua makhluk adalah tanggungan Allah, dan yang paling dicintainya adalah yang paling bermanfaat bagi sesama tanggungannya”).
Selain itu, hadits Nabi tentang persaudaraan universal juga menyatakan:
قال رسول الله صلى الله عليه وآله وصحبه وسلم (...ارحموا من في الأرض يرحمكم من في السماء) (حديث صحيح رواه أحمد)
 Artinya: Rosululloh Saw bersabda,”...sayangilah orang yang ada di bumi maka akan sayang pula mereka yang di langit kepadamu.”
  Persaudaran universal adalah bentuk dari toleransi yang diajarkan Islam. Persaudaraan ini menyebabkan terlindunginya hak-hak orang lain dan diterimanya perbedaan dalam suatu masyarakat Islam. Dalam persaudaraan universal juga terlibat konsep keadilan, perdamaian, dan kerja sama yang saling menguntungkan serta menegasikan semua keburukan.
Fakta historis toleransi juga dapat ditunjukkan melalui Piagam Madinah.  Piagam ini adalah satu contoh mengenai prinsip kemerdekaan beragama yang pernah dipraktikkan oleh Nabi Muhamad SAW pada awal pembangunan Negara Madinah. Di antara butir-butir yang menegaskan toleransi beragama adalah sikap saling menghormati di antara agama yang ada dan tidak saling menyakiti serta saling melindungi anggota yang terikat dalam Piagam Madinah.
Contoh lain wujud toleransi Islam kepada agama lain diperlihatkan oleh Umar ibn-al-Khattab.  Umar membuat sebuah perjanjian dengan penduduk Yerussalem, setelah kota suci itu ditaklukan oleh kaum Muslimin.
Sikap melindungi dan saling tolong-menolong tanpa mempersoalkan perbedaan keyakinan juga muncul dalam sejumlah Hadist dan praktik Nabi. Bahkan sikap ini dianggap sebagai bagian yang melibatkan Tuhan. Sebagai contoh, dalam sebuah hadis yang diriwayatkan  dalam Syu’ab al-Imam, karya seorang pemikir abad ke-11, al-Baihaqi, dikatakan: “Siapa yang membongkar aib orang lain di dunia ini, maka Allah (nanti) pasti akan membongkar aibnya di hari pembalasan”.
Di sini, saling tolong-menolong di antara sesama umat manusia muncul dari pemahaman bahwa umat manusia adalah satu kesatuan, dan akan kehilangan sifat kemanusiaannya bila mereka menyakiti satu sama lain. Tolong-menolong, sebagai bagian dari inti toleransi, menjadi prinsip yang sangat kuat di dalam Islam.
Namun, prinsip yang mengakar paling kuat dalam pemikiran Islam yang mendukung sebuah teologi toleransi adalah keyakinan kepada sebuah agama fitrah, yang tertanam di dalam diri semua manusia, dan kebaikan manusia merupakan konsekuensi alamiah dari prinsip ini.
Dalam konteks toleransi antar-umat beragama, Islam memiliki konsep yang jelas
. لَكُمْ دِيْنُكُمْ وَلِىَ دِيْنِ
“Bagi kalian agama kalian, dan bagi kami agama kami”  (QS. Al-Kafirun:6) adalah contoh populer dari toleransi dalam Islam .
Dalam hubungannya dengan orang-orang yang tidak seagama, Islam mengajarkan agar umat Islam berbuat baik dan bertindak adil.  Selama tidak berbuat aniaya kepada umat Islam.  Al-Qur’an juga mengajarkan agar umat Islam mengutamakan terciptanya suasana perdamaian, hingga timbul rasa kasih sayang diantara umat Islam dengan umat beragama lain.  Kerjasama dalam bidang kehidupan masyarakat seperti penyelenggaraan pendidikan, pemberantasan penyakit sosial, pembangunan ekonomi untuk mengatasi kemiskinan, adalah beberapa contoh kerja sama yang dilakukan antara umat Islam dengan umat beragama lain.
 Namum perlu ditegaskan lagi, toleransi tidak dapat disama artikan dengan mengakui kebenaran semua agama dan tidak pula dapat diartikan kesediaan untuk mengikuti ibadat-ibadat agama lain.  Toleransi harus dibedakan dari komfromisme, yaitu menerima apa saja yang dikatakan orang lain asal bis menciptakan kedamaian dan kebersamaan.
Berbeda halnya dengan gagasan dan praktik toleransi yang ada di barat.  Toleransi di barat lahir karena perang-perang agama pada abad ke-17 telah mengoyak-ngoyak rasa kemanusiaan sehingga nyaris harga manusia jatuh ke titik nadir.  Latar belakang itu menghasilkan kesepakatan-kesepakatan di bidang.  Toleransi antar-agama yang kemudian meluas ke aspek-aspek kesetaraan manusia di depan hukum.

3.      Menggali Konsep Islam tentang Multikulturalisme
a. Pengertian Multikulturalisme         
Multikultural berarti beraneka ragam kebudayaan. Menurut Parsudi Suparlan (2002) akar kata dari multikulturalisme adalah kebudayaan, yaitu kebudayaan yang dilihat dari fungsinya sebagai pedoman bagi kehidupan manusia. Dalam konteks pembangunan bangsa, istilah multikultural ini telah membentuk suatu ideologi yang disebut multikulturalisme. Konsep multikulturalisme tidaklah dapat disamakan dengan konsep keanekaragaman secara sukubangsa atau kebudayaan sukubangsa yang menjadi ciri masyarakat majemuk, karena multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan. Ulasan mengenai multikulturalisme mau tidak mau akan mengulas berbagai permasalahan yang mendukung ideologi ini, yaitu politik dan demokrasi, keadilan dan penegakan hukum, kesempatan kerja dan berusaha, HAM, hak budaya komuniti dan golongan minoritas, prinsip-prinsip etika dan moral, dan tingkat serta mutu produktivitas.
Multikulturalisme adalah sebuah ideologi dan sebuah alat untuk meningkatkan derajat manusia dan kemanusiaannya. Untuk dapat memahami multikulturalisme diperlukan landasan pengetahuan yang berupa bangunan konsep-konsep yang relevan dan mendukung keberadaan serta berfungsinya multikulturalisme dalam kehidupan manusia. Bangunan konsep-konsep ini harus dikomunikasikan di antara para ahli yang mempunyai perhatian ilmiah yang sama tentang multikulturalisme sehingga terdapat kesamaan pemahaman dan saling mendukung dalam memperjuangkan ideologi ini. Berbagai konsep yang relevan dengan multikulturalisme antara lain adalah, demokrasi, keadilan dan hukum, nilai-nilai budaya dan etos, kebersamaan dalam perbedaan yang sederajat, sukubangsa, kesukubangsaan, kebudayaan sukubangsa, keyakinan keagamaan, ungkapan-ungkapan budaya, domain privat dan publik, HAM, hak budaya komuniti, dan konsep-konsep lainnya yang relevan.

b. Multikulturalisme Menurut Al Qur’an
Kita perlu kembali merenungkan berbagai ajaran yang telah disampaikan Allah melalui para Rasul-Nya, yang terdapat dalam kitab Suci Al Qur’an. Kita hendaknya mampu mengoptimalkan peran agama sebagai faktor integrasi dan pemersatu. Al qur’an, misalnya, memuat banyak sekali ayat yang bisa dijadikan asas untuk menghormati dan melakukan rekonsiliasi di antara sesama manusia. Dalam tulisan ini dapat dikemukkan contoh sebagai berikut;.
Pertama, Al Qur’an menyatakan bahwa; dulu manusia adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan ) maka Allah mengutus para Nabi, sebagi pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan. Dan Allah menurunkan bersama mereka kitab yang benar, untuk memberikan keputusan diantara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan.
كان الناس أمة وحدة فبعث الله النبين مبشرين ومنذرين وأنزل معهم الكتب بالحق ليحكم بين النا س فيما اختلفوا فيه وما اختلف فيه إلا الذين أوتوه من بعد ما جا ءتهم البينت بغيا بينهم فهدى الله الذين ءامنوا لما اختلفوا فيه من الحق بإذنه والله يهدى من يشآ ءإلى صرط مستقيم
Artinya:
“Tidak berselisih tentang kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendakNya. Dan Allah selalu memberi petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki kepada jalan yang lurus,” (QS Al Baqarah: 213)
Dengan ayat ini, Al-Qur’an menegaskan konsep kemanusiaaan universal Islam yang mengajarkan bahwa umat manusia pada mulaya adalah satu. Perselisihan terjadi disebabkan oleh timbulnya berbagai vested interest masing-masing kelompok manusia. Yang masing-masing mereka mengadakan penafsiran yang berbeda tentang suatu hakekat kebenaran menurut vested interest nya.
Kedua, meskipun asal mereka adalah satu, pola hidupnya menganut hukum tentang kemajemukan, antara lain karena Allah menetapkan jalan dan pedoman hidup yang berbeda-beda untuk berbagai golongan manusia. Perbedaan itu seharusnya tidak menjadi sebab perselisihan dan permusuhan, melainkan pangkal tolak bagi perlombaan untuk melakukan berbagai kebaikan. Al Qur’an menyebutkan:
...ولوشاءالله لجعلكم أمة وحدة ولكن ليبلو كم فى ماءاتكم فاستبقوا الخيرت إلى الله مرجعكم جميعا فينبئكم بما كنتم فيه تختلفون

Artinya: “….. Untuk tiap-tiap manusia diantara kamu, Kami berikan jalan dan pedoman hidup. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikannya satu umat saja. Tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberianNya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebaikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semua, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.”(QS. Al-Maidah 48)
Sehingga dari kedua ayat diatas dapat saya tarik kesimpulan bahwa; betapapun perbuatan yang terjadi pada manusia di bumi ini, namun hakekat kemanusiaan akan tetap dan tidak akan berubah. Yaitu fitrahnya yang hanif, sebagai wujud perjanjian primordial (azali) antara Tuhan dan Manusia sendiri. Responsi atau timbal balik manusia kepada ajaran tentang kemanusiaan universal adalah kelanjutan dan eksisitensialisme dari perjanjian primordial itu dalam hidup di dunia ini.
Selain itu, kita juga harus membutuhkan sebuah artikulasi atau penjabaran suatu visi dari dalam yang baru tentang manusia. Sekarang menjadi suatu keharusan bahwa semua agama harus mengambil bagian. Sekurang-kurangnya untuk sebagian dari sebuah visi dari dalam, sebuah konsep manusia mengenai dirinya sendiri, sesama, bahkan dengan orang yang menyatakan dirinya tidak beragama. Dalam pencarian itu mungkin sangat penting bagi umat beragama untuk melihat kepada pribadi-pribadi terkemuka yang dimilikinya dan peninggalan kolektifnya di masa lampau.
Dari semua pembahasan diatas, jelas bahwa Islam adalah agama yang terbuka. Maksudnya,tidak memandang apapun dari segi agama,suku,budaya dan lain sebagainya. Untuk mencapai suatu tujuan tertentu,kita haruslah bersatu. Sama halnya seperti lidi, satu batang lidi saja tidak mampu untuk membersihkan sampah, di perlukan banyak batang lidi yang disatukan menjadi sapu lidi agar bisa membersihkan sampah-sampah. Jadi kita harus bersatu dengan berbagai keberagaman yang ada.








[1] Zuhairini dkk, Filsafat Pendidikan Islam,(Jakarta : Bumi Aksara,1995), Hlm.98.

[2] Omar Muhammad al-Toumi al syaibany, Falsafah Pendidikan Islam, Terj.Hasan Langgulung,(Jakarta:Bulan Bintang,1979), Hlm.399.
[3] Made pidarta, “landasan pendidikan”, (Jakarta : Rineka Cipta, 1997), Hlm. 7.
[4] Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teoritis, dan Praktis, (Jakarta: CIPUTAT PERS, 2002). Hlm. 25.
[5] Ibid., Hlm. 25.
[6] Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teoritis, dan Praktis, (Jakarta: CIPUTAT PERS, 2002). Hlm. 27.
[7] Arifin H.M., Ilmu Pendidikan Islam Tinjauan Teoritis dan Praktis berdasarkan pendekatan indisipliner, (Jakarta:PT.Bumi Aksara,2008)
[8] Muhaimin, dkk., Paradigma Pendidikan Islam Op Cit, Hlm. 24.
[9] . Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, hal: 17
[10] . Munzier Suparta, Ilmu Hadits, hal: 63
[11] . Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, hal: 19
[12] . Abdul Majid Khon dkk, Ulumul Hadits. Hal: 205
[13] . Munzier Suparta, Ilmu Hadits, hal: 66
[14] . Abu Yusuf Sojono , “Kaifa Nazzalal Quran”
[15] . Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadits Nabi. Hal: 25
[16] M. Nasikin, Ayo Belajar Agama Islam untuk SMP kelas VII (Jakarta: Erlangga,  2006)
[17] Muchammad Syihabulhaq. Definisi Takwa. http://pencerahqolbu.wordpress.com/2011/05/25/definisi-taqwa/
[18] Achmad  Sunarto, Mutiara Hadits Qudsi (Surabaya: Karya Agung, 2007) hlm.178.
[19] Drs. K. H. Muslim Nurdin, “Moral dan Kognisi Islam” (Bandung: CV.Alfabeta, 1995), hal: 205
[20] Drs. H. Abuddin Nata, M.A., “Akhlak Tasawuf” (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 1996), hal: 3
[21] Awaluddin ML dan Basri, “Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi untuk Pengembangan Kepribadian” (Pekanbaru: Pusat Pengembangan Pendidikan Universitas Riau, 2009), hal: 71
[22] Asmaran AS, “Pengantar Studi Akhlak” (Jakarta: Rajawali Pers, 1992), cet.I, hal: 8
[23] Drs. H. Abuddin Nata, M.A., “Akhlak Tasawuf” (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 1996), hal: 145
[24] Awaluddin ML dan Basri, “Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi untuk Pengembangan Kepribadian” (Pekanbaru: Pusat Pengembangan Pendidikan Universitas Riau, 2009), hal: 80
[25] Abuddin Nata M.A., “Akhlak Tasawuf” (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 1996), hal:147
[26] Q.S Al-Bayyinah: 5
[27] Q.S Al-Ikhlas: 1-4
[28] Q.S An-Nisa’:1
[29] Q.S Al-Fatihah: 5
[30] Q.S Ar-Ra’d: 28
[31] Q.S Al-Ahzab: 56
[32] Awaluddin ML, “Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum untuk Pengembangan Kepribadian” (Pekanbaru: Pusat Pengembangan Pendidikan Universitas Riau, 2009), hal: 84
[33] Abuddin Nata, M.A., “Akhlak Tasawuf” (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 1996), hal: 18
[34] Harun Nasution, “Islam Rasional, Gagasan dan Pemikiran” (Bandung: Mizan, 1995), cet. III, hal: 57
[35] Harun Nasution, op. cit., hal: 59
[36]Wahyuddin.dkk. 2009.Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi.Jakarta; PT. Gramedia Widiasarana Indonesi Hal. 58
[37] Basri, Awaluddin ML. pendidikan agama islam di perguruan tinggi umum untuk pengembangan kepribadian. I Hal. 112
[38] Drs . garuda S.M .pendidikan agama islam sekolah menengah kejuruan kurikulum 1994 hal . 149
[39]Sairin, Weinata. 2002. Kerukunan umat beragama pilar utama kerukunan berbangsa: butir-butir pemikiran.
[40]Daud Ali, Mohammad, 1998. Pendidikan Agama Islam, Jakarata: Rajawalu pers.

[41]  http://ade-budayaminang.blogspot.com

[43]  Louis Leahy, Manusia Sebuah Misteri (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1894) hal.2
[44]  Tim Penulis Rosda, Kamus Filsafat (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1995), hal. 100-101
[45]  Al-Ghazali,  Ihya Ulumuddin (Beirut: Dar Al-Fikr  VIII, 1980), hal. 190
[46]  Abuddin Nata, Ibid, hal. 89-90
[47]  Sa’id bin Muhammad Daib Hawwa, “Al-Mustakhlash fi Tazkiyatul Anfus”, Penj. Annur Rafiq Shaleh Tamhid, Mensucikan Jiwa; Konsep Tazkiyatun Nafs Terpadu, (Jakarta: Robbani Press, 2000), hal.20-24
[48]  Hayim Asy’ari, Adab Al-Alim Wa Al-Muta’allim (Jombang: Maktabah Al-Thurast Al-Islami, t. th), hal.24-28
[49] Muhammad Syukron Maksum. Buku Pintar Agama Islam untuk Pelajar. Mutiara Media: Yogyakarta. Hal 299
[50] Ali Rabbani Gulpaigani. Menggugat Pluralisme Agama. Jakarta: Alhuda 2004. Hal 4
[51] WJS Poerwadarminta. KBBI Edisi Ketiga. Jakarta:Balai Pustaka 2003. Hal 1288
[52] Hamdan Farchan. Agama dan HAM dalam Konteks Masyarakat Pluralis. Yogyakarta:CD Bethesda 2003. Hal 2

0 komentar:

Posting Komentar

@mira_rara ツ
@Mirasandrana

hidup tuh punya tujuan ツ untuk sekarang,esok,dan masa depan ツ.bissmilahirohmanirohim ツI love Allah ツ

rengat,riau ,indonesia · http://mira-sandrana.blogspot.com
Sunting profil anda

* 161 Tweets
* 350 Following
* 88 Followers

 

"Pio_Igo" :) Copyright © 2011 Design by Ipietoon Blogger Template | web hosting