BAB 1
PEMAHAMAN
TENTANG PENDIDIKAN ISLAM
1.
Pengertian
Pendidikan Islam
Agama islam adalah agama universal
yang mengajarkan kepada umat manusia mengenai berbagai aspek kehidupan baik
kehidupan yang sifatnyaduniawi maupun yang sifatnya ukhrawi. Salah satu ajaran
Islam adalah mewajibkan kepada umatnya untuk melaksanakan pendidikan,
karena dengan pendidikan manusia dapat memperoleh bekal kehidupan yang baik dan
terarah.[1]
Definisi pendidikan Islam yang
dikemukakan oleh beberapa tokoh pendidikan berikut ini:
Prof.Dr. Omar Mohammad At-Toumi
Asy-Syaibany mendefinisikan pendidikan islam sebagai proses mengubah tingkah
laku individu pada kehidupan pribadi, masyarakat, dan alam sekitarnya, dengan
cara pengajaran sebagai suatu aktivitas asasi dan sebagai profesi di antara
profesi-profesi asasi dalam masyarakat. (Asy-Syaibany, 1979: 399).[2]
Pengertian tersebut memfokuskan
perubahan tingkah laku manusia yang konotasinya pada pendidikan etika. Selain
itu, pengertian tersebut menekankan pada aspek-aspek produktivitas dan kreatifitas
manusia dalam peran dan profesinya dalam kehidupan masyarakat dan alam semesta.
Dr. Muhammad SA Ibrahimy
(Bangladesh) mengemukakan pengertian pendidikan islam sebagi berikut;
Pendidikan dalam pandangan yang sebenarnya adalah suatu sistem pendidikan yang
memungkinkan seseorang dapat mengarahkan kehidupannya sesuai dengan cita-cita
islam, sehingga dengan mudah ia dapat membentuk hidupnya sesuai dengan ajaran
islam.
Pengertian itu mengacu pada
perkembangan kehidupan manusia masa depan tanpa menghilangkan prinsip-prinsip
islami yang diamanahkan oleh Allah kepada manusia, sehingga manusia mampu
memenuhi kebutuhan dan tuntutan hidupnya seiring dengan perkembangan iptek.
2.
Tujuan Pendidikan Islam
Tujuan
pendidikan islam secara umum dapat dibagi menjadi tiga kelompok utama. Tujuan
umum ini harus dibangun berdasarkan ketiga komponen ini yang masing-masingnya
harus dipelihara sebaik-baiknya. Ini berarti bahwa kita didalam pendidikan ini
mempunyai tiga tujuan pokok, yakni tujuan jasmaniah (ahdaf al-jasmaniyah)
tujuan rohani (ahdaf al-ruhaniyah) dan tujuan mental (ahdaf
alaqliyah).
Tujuan umum pendidikan
islam diberi perhatian dan tidak terkena perubahan dari waktu-kewaktu.
Finalitas kenabian secara implisit menyatakan cita-cita yang diajarkan nabi
muhammad saw kepada manusia semua yang bersifat universal.
Islam
menghendaki agar manusia dididik supaya mampu merealisasikan tujuan hidupnya
agar sebagaimana yang telah digariskan oleh Allah. Tujuan hidup manusia itu
menurut Allah ialah beribadah kepada Allah. Ini diketahui dari surat Al-Dzariyat
ayat 56 yang berbunyi :
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ
إِلَّا لِيَعْبُدُونِ(56)
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia
kecuali supaya mereka beribadah kepada-Ku”. (QS. Al-Dzariyat : 56)[3]
3.
Hakikat Pendidikan Islam
Pendidikan adalah suatu proses yang dilakukan secara sadar
atau disengaja guna untuk menambah pengetahuan, wawasan serta pengalaman untuk
menentukan tujuan hidup sehingga bisa memiliki pandangan yang luas untuk ke
arah masa depan lebih baik dan dengan pendidikan itu sendiri dapat menciptakan
orang-orang berkualitas.
Pendidikan Islam berarti sistem pendidikan yang memberikan
kemampuan seseorang untuk memimpin kehidupannya sesuai dengan cita-cita dan
nilai-nilai Islam yang telah menjiwai dan mewarnai corak kepribadiannya, dengan
kata lain pendidikan Islam adalah suatu sistem kependidikannya yang mencakup
seluruh aspek kehidupan yang dibutuhkan oleh hamba Allah sebagaimana Islam
telah menjadi pedoman bagi seluruh aspek kehidupan manusia baik duniawi maupun
ukhrawi.
Istilah pendidikan dalam konteks Islam pada umumnya mengacu
kepada term al-tarbuyah, al-ta’dib, dan al-ta’lim. Dari keriga
istilah tersebut term yang populer digunakan dalam praktek pendidikan Islam
adalah term al-tarbiyah. Sedangkan term al-ta’dib dan al-ta’lim
jarang sekali digunakan. Padalah kedua istilah tersebut telah digunakan
sejak awal pertumbuhan pendidikan Islam.[4]
Kedatipun demikian, dalam hal-hal tertentu, ketiga terma
tersebut memiliki kesamaan makna. Namun secara esensial, setiap term memiliki
perbedaan, baik secara tekstual maupun kontekstual. Untuk itu, perlu
dikemukakan uraian dan analisis terhadap ketiga term pendidikan Islam tersebut
dengan beberapa argumentasi tersendiri dari beberapa pendapat para ahli
pendidikan Islam.
Ø
Tarbiyah
Penggunaan
istilah al-Tarbiyah berasal dari kata rabb. Walaupun kata ini
memiliki arti, akan tetapi pengertian dasarnya menunjukkan makna tumbuh,
berkembang, memelihara, merawat, mengatur, dan menjaga kelestarian atau
eksistensinya.[5]
Ø Taklim
Istilah
al-Ta’lim telah digunakan sejak periode awal pelaksanaan pendidikan islam.
Menurut para ahli, kata ini lebih bersifat universal dibanding dengan
al-Tarbiyah maupun al-Ta’dib. Rasyid Ridha mengartikan al-Ta’lim sebagai proses
transmisi berbagai ilmu pengetahuan pada jiwa individu tanpa adanya batasan dan
ketentuan tertentu.[6]
Ø Takdib
Atas
menawarkan satu istilah lain yang menggambarkan pendidikan Islam, dalam
keseluruhan esensinya yang fundamental yakni kata takdib. Istilah ini mencakup
unsur-unsur pengetahuan (‘ilm), pengajaran (taklim) dan pengasuhan yang
baik (tarbiyah).
4.
Objek
dan Fungsi Pendidikan Islam
A.
Objek
pendidikan Islam
Pendidikan islam mengidentifikasi
sasaran pada tiga pengembangan fungsi manusia yang mana semua itu berjalan
dengan misi agama islam yang bertujuan memberikan rahmat bagi sekalian makhluk
di alam ini: [7]
Menyadarkan manusia sebagai makhluk
individu, yaitu makhluk yang hidup di tengah-tengah makhluk lain, manusia harus
memerankan fungsi dan tanggung jawabnya, manusia akan mampu berperan sebagai
makhluk Allah yang paling utama diantara makhluk lainnya dan memfungsikan
sebagai kholifah di muka bumi ini.
Menyadarkan manusia sebagai makhluk
sosial. Sebagai makhluk sosial manusia harus mengadakan interaksi dengan
sesamanya dalam kehidupan bermasyarakat. Itulah sebabnya islam mengajarkan
persamaan, persaudaraan, gotong royong, dan bermusyawarah dengan upaya
membentuk masyarakat menjadi persekutuan hidup yang utuh.
Menyadarkan manusia sebagai hamba
Allah SWT. Manusia sebagai makhluk berketuhanan, sikap dan watak
religiusitasnya perlu dikembangkan sedemikian rupa sehingga mampu
menjiwai dan mewarnai kehidupannya. Dalam fitrah manusia telah diberikan
kemampuan beragama. Dengan kesadaran demikian, manusia sebagai kholifah dimuka
bumi dan yang terbaik diantara makhluk lainnya akan mendorong untuk melakukan
pengelolaan serta mendayagunakan ciptaan Allah untuk kesejahteraan hidup
bersama dengan yang lainnya.
B.
Fungsi
Pendidikan Islam
Fungsi
pendidikan agama islam, antara lain untuk membimbing dan mengarahkan manusia
agar mampu mengemban amanah dari allah, yaitu menjalankan tugas-tugas hidupnya
dimuka bumi baik sebagai abdullah (hamba Allah yang harus tunduk dan taat atas
segala aturan kehendaknya dan mengabdi hanya kepadanya), maupun sebagai
khalifah di bumi yang menyangkut tugas kekhalifahan terhadap diri sendiri,
dalam keluarga/rumah tangga, terhadap masyarakat dan kekhalifahan terhadap
alam.[8]
Menurut Hasan
Langgulung, fungsi pendidikan adalah pengembangan potensi-potensi yang ada pada
individu-individu supaya dapat dipergunakan olehnya sendiri dan seterusnya oleh
masyarakat untuk menghadapi tantangan-tantangan yang selalu berubah.
Fungsi Pendidikan Agama Islam di
sekolah atau madrasah Abdul Majid, dan Dian Andayani, dalam bukunya Pendidikan
Agama Islam Berbasis Kompotensi, yakni sebagai berikut:
- Pengembangan, yaitu meningkatkan keimanan dan ketakwaan peserta didik kepada Allah swt yang telah ditanamkan dalam lingkungan keluarga. Pada dasarnya kewajiban menanamkan keimanan dan ketakwaan di lakukan oleh setiap orang tua dalam keluarga. Sekolah berfungsi untuk menumbuh kembangkan lebih lanjut dalam diri anak melalui bimbingan, pengajaran dan pelatihan agar keimanan dan ketakwaan tersebut dapat berkembang secara optimal sesuai dengan tingkat perkembangannya.
- Penanaman nilai, sebagai pedoman hidup untuk mencari kebahagian hidup didunia dan di akhirat.
- Penyesuaian mental, yaitu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial dan dapat mengubah lingkungannya sesuai dengan ajaran agama islam.
- Perbaikan, yaitu untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan, kekurangan-kekurangan dan kelemahan-kelemahan peserta didik dalam keyakinan, pemahaman dan pengalaman ajaran dalam kehidupan sehari-hari.
- Pencegahan, yaitu untuk menangkal, hal-hal negatif dari lingkungannya atau dari budaya lain yang dapat membahayakan dirinya dan menghambat perkembangannya menuju manusia Indonesia seutuhnya.
- Pengajaran, tentang ilmu pengetahuan keagamaan secara umum system dan fungsional.
- Penyaluran, yaitu untuk menyalurkan anak-anak yang memiliki bakat khusus di bidang agama islam agar bakat tersebut dapat berkembangsecara optimal sehingga dapat dimanfaatkan untuk dirinya sendiri dan bagi orang lain.
BAB II
AL-QUR’AN DAN
HADITS SEBAGAI PEDOMAN HIDUP
1.
Defenisi Al-qur’an dan Hadits
a.
Pengertian
Al-qur’an
1.
Pengertian Al - Qur'an secara etimologi (bahasa)
Ditinjau dari bahasa, Al Qur'an berasal dari bahasa arab,
yaitu bentuk jamak dari kata benda (masdar) dari kata kerja qara'a - yaqra'u
- qur'anan yang berarti bacaan atau sesuatu yang dibaca berulang-ulang.
Konsep pemakaian kata tersebut dapat dijumpai pada salah satu surah al Qur'an
yaitu pada surat al Qiyamah ayat 17 - 18.
Artinya: 17. sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di
dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. 18. Apabila Kami telah selesai
membacakannya maka ikutilah bacaannya itu.
2.
Pengertian Al - Qur'an secara terminologi (istilah islam)
Secara istilah, al Qur'an diartikan
sebagai kalam Allah swt, yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw sebagai
mukjizat, disampaikan dengan jalan mutawatir dari Allah swt sendiri dengan
perantara malaikat jibril dan mambaca al Qur'an dinilai ibadah kepada Allah
swt. Al Qur'an adalah murni wahyu dari Allah swt, bukan dari hawa nafsu
perkataan Nabi Muhammad saw. Al Qur'an memuat aturan-aturan kehidupan manusia
di dunia. Al Qur'an merupakan petunjuk bagi orang-orang yang beriman dan
bertaqwa. Di dalam al Qur'an terdapat rahmat yang besar dan pelajaran bagi
orang-orang yang beriman. Al Qur'an merupakan petunjuk yang dapat mengeluarkan
manusia dari kegelapan menuju jalan yang terang.
3.
Pengertian Al - Qur'an menurut Para Ahli
Berikut ini pengertian al Qur'an
menurut beberapa ahli :
Al Qur'an adalah Firman Allah swt
yang tiada tandingannya, diturunkan kepada Nabi Muhammad saw penutup para nabi
dan rasul dengan perantaraan malaikat Jibril as, ditulis pada mushaf-mushaf
kemudian disampaikan kepada kita secara mutawatir, membaca dan mempelajari al
Qur'an adalah ibadah, dan al Qur'an dimulai dengan surat al Fatihah serta
ditutup dengan surat an Nas.
b.
Dr. Subhi as-Salih
Al Qur'an adalah kalam Allah swt
merupakan mukjizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw ditulis dalam
mushaf dan diriwayatkan dengan mutawatir serta membacanya adalah ibadah.
c.
Syekh Muhammad Khudari Beik
Al Qur'an adalah firman Allah yang
berbahasa arab diturunkan kepada Nabi Muhammad saw untuk dipahami isinya,
disampaikan kepada kita secara mutawatir ditulis dalam mushaf dimulai surat al
Fatihah dan diakhiri dengan surat an Nas.
Dari beberapa pengertian tersebut,
dapat kita simpulkan bahawa al Qur'an adalah wahyu Allah swt. yang
diturunkan kepada nabi Muhammad saw dengan perantara malaikat jibril,
disampaikan dengan jalan mutawatir kepada kita, ditulis dalam mushaf dan
membacanya termasuk ibadah. Al Qur'an diturunkan secara
berangsur-angsur kepada Nabi Muhammad saw selama kurang lebih 22 tahun.
b.
Pengertian Hadits
Hadits
merupakan segala tingkah laku Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan,
perbuatan, maupun ketetapan (taqrir). Hadits merupakan sumber hukum Islam yang
kedua setelah Al-Qur’an. Allah SWT telah mewajibkan untuk menaati hukum-hukum
dan perbuatan-perbuatan yang disampaikan oleh nabi Muhammad SAW dalam
haditsnya. Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT:
Artinya: ” … Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka
terimalah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah, …” (QS Al
Hasyr : 7)
2.
Fungsi Al-qur’an dan Hadits
a.
Fungsi Al-Qur’an
Al-Qur’an berfungsi sebagai:
1. Petunjuk
bagi manusia
Allah swt
menurunkan Al-qur’an sebagai petunjuk umat manusia. Seperti yang di jelaskan
dalam Q.S Al-Baqarah : 185 , Q.S
Al-Baqarah : 2 , QS. Fushshilat : 44
Artinya
: “Bulan Ramadan, bulan yang di
dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan
penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan
yang batil). Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat
tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barang
siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya
berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.
Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan
hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah
atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur” (QS.
Al Baqarah: 185)
Artinya
: “Kitab (Al Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang
bertakwa,” (QS. Al Baqarah : 2)
Artinya
: “Dan jikalau Kami jadikan Al Qur'an itu suatu bacaan dalam selain bahasa Arab
tentulah mereka mengatakan: "Mengapa tidak dijelaskan ayat-ayatnya?".
Apakah (patut Al Qur'an) dalam bahasa asing, sedang (rasul adalah orang) Arab?
Katakanlah: "Al Qur'an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang
yang beriman. Dan orang-orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada
sumbatan, sedang Al Qur'an itu suatu kegelapan bagi mereka. Mereka itu adalah
(seperti) orang-orang yang dipanggil dari tempat yang jauh" (QS.
Fushshilat : 44)
1. Sumber
pokok ajaran Islam
Fungsi
Al-Qur’an sebagai sumber ajaran islam sudah diyakini dan diakui kebenarannya
oleh segenap para ulama. Adapun ajarannya meliputi persoalan kemanusiaan secara
umum, seperti hukum, ibadah, ekonomi, politik, sosial, budaya, pendidikan, ilmu
pengetahuan dan seni.
2. Peringatan
dan pelajaran bagi manusia
Dalam
Al-qur’an banyak diterangkan tentang kisah para nabi dan umat terdahulu, baik
umat yang taat melaksanakan perintah allah maupun mereka yang menentang dan
mengingkari ajaran-Nya. Bagi kita, umat yang akan datang harus pandai mengambil
hikmah dan pelajaran dari kisah-kisah yang diterangkan dalam Al-qur’an.
3. Sebagai
mukjizat Nabi Muhammad saw
Turunnya
Al-Qur’an merupakan salah satu mukjizat yang dimiliki oleh Nabi Muhammad saw.
b. Fungsi
Hadits
1.
Bayan At taqrir
Bayan at taqrir atau
disebut juga bayan at ta’kid dan bayan al itsbat yaitu menetapkan dan
memperkuat apa yang telah diterangkan di dalam Al-qur’an. Fungsi hadits dalam
hal ini hanya memperkokoh kandungan Al-qur’an. contohnya
seperti dibawah ini;
فمن شهد منكم الشهر فليصمه
(البقرة 2: 185)
“Maka barang siapa yang mempersaksikan pada waktu itu bulan,
hendaklah ia berpuasa...(QS Al Baqarah : 185)
Hadits yang mentaqrir ayat Al quran
diatas adalah;
فأذا رأيتم الهلال فصوموا وإذا
رأيتموه فأفطروا (رواه مسلم(
“Apabila kalian melihat (ru’yah)bulan, maka berpuasalah,
juga apabila melihat (ru’yah) itu maka berbukalah”. (HR Muslim)
2.
Bayan At tafsir
Yaitu bahwa hadits
berfungsi untuk memberikan rincian dan tafsiran terhadap ayat-ayat Al quran
yang masih bersifat global (mujmal), memberikan persyaratan atau batasan
(taqyid) ayat-ayat yang bersifat mutlak, dan mengkhususkan (takhsish) terhadap
ayat-ayat yang masih bersifat umum.
a.
Tafsil al mujmal
Hadits memberi penjelasan secara
terperinci pada ayat-ayat yang masih bersifat global, baik menyangkut masalah
ibadah maupun hukum, sebagian ulama menyebutnya bayan tafshil atau bayan tafsir . [9]
صلوا كما رأيتموني أصلي (رواه
البخارى)
“Shalatlah
sebagaimana engkau melihatku shalat” (HR Al bukhari)
Hadits ini menjelaskan bagaimana sholat harus didirikan,
sedangkan dalam Al quran perintah sholat tidak dijelaskan secara rinci, seperti
pada ayat berikut;
وأقيموا الصلاة وأتوا الزكاة واركعوا
مع الراكعين (البقرة 2 : 43)
“Dan kerjakanlah sholat, tunaikan
zakat, dan ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’ “ (QS Al baqarah 43)
b.
Takhsish al ‘amm
يوصيكم الله فى أولادكم للذكرمثل حظ
الأنشيين (النساء 4: 11)
“Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk)
anak-anakmu, yaitu; bahagian anak laki-laki sama dengan bahagian anak
perempuan.” (QS An Nisa 11)
Ayat diatas masih umum, sedangkan hadits yang mentakhsish ayat
tersebut yaitu;
نحن معاشرالأنبياء لا نورث ماتركناه
“kami para nabi tidak meninggalkan
harta warisan”
Selain hadits tersebut ayat diatas
juga di takhsish oleh hadits;
لا يرث القاتل
“Pembunuh tidak dapat mewarisi
(harta pusaka)” (HR At Tirmidzi)
c.
Taqyid al muthlaq
Hadits membatasi kemutlakan
ayat-ayat Al-qur’an. Artinya Al-qur’an keterangannya secara mutlaq kemudian di
taqyid dengan hadits tertentu, misalnya pada ayat
dibawah ini;
والسارق والسارقة فاقطعوا أيديهما
(المائدة 5 : 38)
“Pencuri
laki-laki dan pencuri perempuan, maka potonglah tangan-tangan mereka” (QS Al
Maidah 38)
Dalam ayat tersebut tidak ada batasan tentang tangan yang
harus di potong oleh karenanya ditaqyid dengan hadits berikut ini;
أتي رسول الله صلى الله عليه وسلم
بسارق فقطع يده من مفصل الكف
“Rasulullah SAW didatangi seseorang dengan membawa pencuri,
maka beliau memotong tangan pencuri dari pergelangan tangan”
3.
Bayan At tasyri’
Yang dimaksud dengan bayan tasyri’
adalah mewujudkan suatu hukum atau ajaran-ajaran yang tidak didapati Al-qur’an,
atau dalam Al-qur’an hanya terdapat pokok-pokoknya (ashl) saja. [10]
Para ulama berbeda pendapat tentang fungsi sunnah sebagai
dalil pada suatu hal yang tidak disebutkan dalam Al quran. mayoritas mereka
bahwa sunnah berdiri sendiri sebagai dalil hukum dan yang lain berpendapat
bahwa sunnah menetapkan dalil yang terkandung atau tersirat secara implisit
dalam teks Al-qur’an. [11]
Didalam sunnah terdapat ketentuan
agama yang tidak diatur dalam Al-qur’an. Artinya, Nabi diberikan legitimasi
oleh Allah untuk mengambil kebijakan, ada yang berupa penjelasan terhadap
kandungan Al-qur’an dan dalam hal-hal tertentu Nabi membuat ketetapan khusus
sebagai wujud penjelasan hal yang tidak tertuang eksplisit dalam Al-qur’an. [12]
Surat Al A’raf ayat 157 menunjukkan
demikian. Disana disebutkan;
ويحل لهم الطيبات ويحرم عليهمم
الخبائث... (الأعرف 157)
“…Dan Nabi menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan
mengharamkan bagi mereka segala yang buruk” (QS Al a’raf 157)
Contoh hukum yang tidak terdapat dalam Al quran tetapi hanya
terdapat dalam hadits yaitu; larangan menikahi seorang wanita bersama bibinya
dalam waktu yang sama.
...لا يجمع بين المرأة وعمتها ولا بين المرأة
وخالتها
“Tidak
boleh dikumpulkan seorang perempuan dengan saudara ayahnya atau dengan saudara
ibunya”
Selain itu juga larangan memakan daging “himar jinak” dan
hewan yang mempunyai taring dan berkuku tajam. Aturan yang hanya terkandung
dalam sunnah ini mengikat semua orang islam sebagaimana Al quran mengikat
mereka.
4.
Bayan Al nasakh
Hadits menghapus (nasakh) hukum yang
diterangkan dalam Al-qur’an. misalnya kewajiban wasiat yang diterangkan dalam
surat Al baqarah ayat 180;
“Diwajibkan atas
kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia
meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya
secara ma’ruf, (ini adalah kewajiban) atas orang-orang yang bertaqwa.” (QS Al
baqarah 180)
Ayat
diatas dinasakh dengan hadits Nabi;
إن الله قد
اعطى كل ذي حق حقه ولا وصية لوارث
“Sesungguhnya Allah member hak kepada setiap orang yang
mempunyai hak dan tak ada wasiat itu wajib bagi waris.” (HR An nasa’i)
Namun
demikian perlu diketahui bahwa mengenai fungsi hadits yang ke-4 ini masih
terjadi perbedaan pendapat diantara para ulama, ada yang membolehkan adanya
naskh namun ada juga yang menolak naskh. Diantara kelompok yang membolehkan
naskh yaitu; golongan mu’tazilah, hanafiyah, dan madzhab ibn hazm al dhahiri.
Sedangkan ulama yang menolak naskh diantaranya yaitu imam syafi’I dan sebagian
besar pengikutnya, pengikut madzhab zhahiriyah dan kelompok khawarij [13].
Terlepas dari itu tentunya mereka mempunyai alasan tersendiri wallahua’lam.
3. Proses Turunnya Al-qur’an
Dalam proses
pewahyuannya terdapat beberapa cara untuk menyampaikan wahyu yang dibawa
Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad, diantaranya: [14]
Pertama:
Turunnya wahyu kepada beliau seperti suara lonceng, dan cara ini adalah cara
yang paling berat bagi Rasulullahshallallahu 'alaihi wasallam. Sebagaimana
dalam
hadits yang diriwayatkan oleh Imam
al-Bukhari rahimahullah, dari ‘Aisyah radhiyallahu 'anha bahwasanya al-Harits
bin Hisyamradhiyallahu 'anhu bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam, ia berkata: ”Wahai Rasulullah,
bagaimana wahyu turun kepada anda?”
Maka
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab:
( أحيانا يأتيني مثل صلصلة الجرس، وهو أشده
علي فيفهم عني وقد وعيت عنه ما قال )
”Terkadang
wahyu itu datang kepadaku seperti suara lonceng, dan itu adalah yang paling
berat bagiku. Kemudian ia terhenti sedangkan aku sudah memahami apa yang Jibril
katakan.”
’Aisyah radhiyallahu 'anha berkata:
وَلَقَدْ رَأَيْتُهُ يَنْزِلُ عَلَيْهِ الْوَحْىُ فِى الْيَوْمِ الشَّدِيدِ الْبَرْدِ، فَيَفْهمُ عَنْهُ، وَإِنَّ جَبِينَهُ لَيَتَفَصَّدُ عَرَقًا
”Dan
sungguh aku telah melihat wahyu itu turun kepada beliau (Nabi shallallahu
'alaihi wasallam) pada hari yang sangat dingin, lalu wahyu itu terhenti
sementara keringat telah mengalir di dahi beliau.”
Kedua: Dan terkadang
wahyu turun dalam bentuk seorang laki-laki yang menyampaikan Kalamullah kepada
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, sebagaimana
hadits
yang lalu dalam shahih al-Bukhari. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam telah
ditanya tentang tata cara turun wahyu, maka beliau menjawab:
( وأحيانا يتمثل لي الملك رجلاً فيكلمني فأعي
ما يقول )
”Dan terkadang
Malaikat menjelma kepadaku sebagai seorang laki-laki, lalu ia berbicara
kepadaku dan kemudian aku memahami apa yang dia katakan.”
Karena sesungguhnya Malaikat telah menjelma menjadi
sosok lelaki dalam bentuk yang beraneka macam, dan tidak ada yang terluput
darinya apa yang dibawa oleh Malaikat pembawa wahyu tersebut. Sebagaimana dalam
kisah datangnya Malaikat dalam rupa Dihyah al-Kalbi, atau seorang Arab badui
dan dalam bentuk yang lainnya. Dan semuanya tercatat dalam kitab Shahih.
Ketiga: Dan terkadang
wahyu turun dengan cara Allah berbicara langsung kepada Nabi shallallahu
'alaihi wasallam dalam keadaan terjaga (tidak tidur), sebagaimana dalam hadits
Isra’ Mi’raj yang panjang, yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukahari, dan di
dalamnya disebutkan:
فلما جاوزتُ نادى منادٍ: أمضيتُ فريضتي وخففتُ
عن عبادي
”Ketika
aku lewat, ada penyeru yang berkata:”Aku telah berlakukan kewajibanku dan telah
aku ringankan atas hamba-hambaku.”
4.
Macam-Macam Hadits
Hadits
menurut sifatnya mempunyai klasifikasi sebagai berikut:
1. Hadits Shohih, adalah hadits yang diriwayatkan
oleh Rawi (orang yang meriwayatkan atau memberitakan
hadist)
yang adil, sempurna ingatan, sanadnya bersambung, tidak ber illat, dan tidak
janggal. Illat hadits yang dimaksud adalah suatu penyakit yang samar-samar yang
dapat menodai keshohehan suatu hadits
2. Hadits Makbul, adalah hadits-hadits yang
mempunyai sifat-sifat yang dapat diterima sebagai Hujjah. Yang termasuk Hadits
Makbul adalah Hadits Shohih dan Hadits Hasan
3. Hadits Hasan, adalah hadits yang diriwayatkan
oleh rawi yang adil, tapi tidak begitu kuat ingatannya (hafalannya), bersambung
sanadnya, dan tidak terdapat illat dan kejanggalan pada matannya. Hadits Hasan
termasuk hadits yang makbul biasanya dibuat hujjah untuk sesuatu hal yang tidak
terlalu berat atau tidak terlalu penting
4. Hadits Dhoif, adalah hadits yang kehilangan satu
syarat atau lebih syarat-syarat hadits shohih atau hadits hasan. Hadits dhoif
banyak macam ragamnya dan mempunyai perbedaan derajat satu sama lain,
disebabkan banyak atau sedikitnya syarat-syarat hadits shohih atau hasan yang
tidak dipenuhi
Adapun syarat-syarat suatu hadits dikatakan hadits yang shohih, yaitu:
Adapun syarat-syarat suatu hadits dikatakan hadits yang shohih, yaitu:
·
Rawinya bersifat adil
·
Sempurna ingatan
·
Sanadnya tidak terputus
·
Hadits itu tidak berilat
·
Hadits itu tidak janggal
5.
Struktur Komponen Hadits
Secara
struktur hadits terdiri atas tiga komponen utama yakni sanad, matan dan rawi.
a. Sanad Hadits
Sanad menurut bahasa adalah al-mu’tamad artinya “sandaran” atau sesuatu yang dijadikan sandaran, pegangan dan pedoman. Dikatakan demikian, karena hadits bersandar kepadanya.
Sedangkan menurut istilah sanad adalah jalannya hadis, maksudnya mata rantai (jalur) para rawi yang menghubungkan matan mulai dari awal hingga akhir.
Sanad terdiri atas seluruh penutur mulai dari orang yang mencatat hadits tersebut dalam bukunya atau kitab hadits hingga mencapai Rasulullah. Agar lebih jelas, berikut akan dipaparkan contoh sanad hadits:
“Musaddad mengabari bahwa yahya sebagaimana diberitakan oleh Syu’bah dari Qatdah dari Anas dari Rasulullah SAW bahwa beliau bersabda:”
Sanad mengandung dua bagian penting, yakni:
1. Nama-nama periwayat yang terlibat
dalam periwayatan hadits yang bersangkutan.
2. Lambang-lambang periwayatan hadits
yang telah digunakan oleh masing-masing periwayat dalam meriwayatkan hadits
yang bersangkutan, misalnya sami’tu, akhbarani, ‘an, dan anna. [15]
Para ulama hadits menilai bahwa
sangat penting kedudukan sanad dalam meriwayatkan hadits. Karena demikian
pentingnya kedudukan dalam meriwayatkan sanad itu, maka suatu berita yang
dinyatakan sebagai hadits, tetapi berita tersebut tidak memiliki sanad sama sekali
tidak dapat disebut hadits. Sekiranya berita tersebut tetap dinyatakan sebagai
hadits, maka berita tersebut oleh ulama hadits dinyatakan sebagai hadits
maudhu’.
Sebuah hadits dapat memiliki
beberapa sanad dengan jumlah penutur atau perawi bervariasi dalam lapisan atau
tingkatan sanadnya. Sedangkan yang perlu dicermati dalam memahami Al-Hadits
terkait dengan sanadnya ialah:
·
Keutuhan sanadnya
·
Jumlahnya
·
Perawi akhirnya
Kemudian
dari kata sanad keluarlah kata isnad,musnid dan musnad.Isnad mempunyai dua makna
yaitu pertama artinya
mengasalkan hadits kepada orang yang mengatakan kedua artinya
silsilah orang-orang yang menghubungkan hadits kepada matan.
Musnid adalah seseorang yang meriwayatkan hadits dengan sanadnya, baik dia
mengerti apa yang diriwayatkannya atau tidak.
Musnad
mempunya dua makna yaitu pertama bermakna hadits yang
sanadnya bersambung sampai Rasul saw. kedua berarti nama satu kitab hadits yang ditulis berdasarkan
tartib nama-nama para sahabat rawi hadits, seperi kitab Musnad Imam Ahmad.
b. Matan Hadits
Kata matan atau al- matan menurut bahasa berarti ma shaluba wa irtafa’amin al -aradhi (tanah yang meninggi). Secara temonologis, istilah matan memiliki beberapa definisi, yang mana maknanya sama yaitu materi atau lafazh hadits itu sendiri. Definisi matan dari sisi bahasa bermakna 'punggung jalan' atau ‘gundukan’ bisa juga bermakna ‘isi atau muatan’. Ibarat tangga , akhir dari anak tangga berujung pada teks itu sendiri adalah ucapan yang dituturkan oleh si pengucap. Pengucap atau penutur teks itu bias nabi, sahabat, atau bias juga tabi’in.
Matan menurut hadits yaitu “perkataan yang disebut pada akhir sanad, yakni sabda nabi saw yang disebut sesudah habis disebutkan sanadnya.”
Terkait dengan matan atau redaksi, maka yang perlu dicermati dalam memahami hadits ialah:
1. Ujung sanad sebagai sumber redaksi, apakah berujung pada Nabi Muhammad atau bukan.
2. Matan Hadits itu sendiri dalam hubunganya dengan hadits lain yang lebih kuat sanadnya (apakah ada yang melemahkan atau menguatkan) dan selanjutnya dengan ayat dalam Al-Qur’an (apakah ada yang bertolak belakang).
Suatu materi hadits dapat dinilai baik apabila materi hadits itu tidak bertentangan dengan Al-Qur’an atau hadits lain yang lebih kuat, tidak bertentangan dengan realita, fakta sejarah dan prinsip-prinsip pokok ajaran islam.
Matan harus melalui proses penelitian mengenai isinya agar bisa dikatakan maqbul (diterima). Tolok ukur penelitian matan yang dikemukakan ulama tidak seragam. Menurut Al-Khatib Al-Baghdadi (wafat 463 H/1072 M), suatu matan dinyatakan diterima apabila:
1. Tidak bertentangan dengan akal sehat
2. Tidak bertentangan dengan hukum Al-Qur’an yang telah muhkam (ketentuan hukun yang telah tetap)
3. Tidak bertentangan dengan hadits mutawatir.
4. Tidak bertentangan dengan amalan yang telah menjadi kesepakatan ulama masa lalu (ulama salaf)
5. Tidak bertentangan dengan dalil yang telah pasti.
6. Tidak bertentangan dengan hadits ahad yang kualitas keshahihannya lebih kuat.
Dalam praktik, penelitian matan memang tidak mudah. Sebagai penyebab sulitnya penelitian matan ialah:
1. Adanya periwayatan secara makna.
2. Acuan yang digunakan sebagai pendekatan tidak satu macam saja.
3. Latar belakang timbulnya petunjuk hadits tidak selalu mudah dapat dikketahui.
4. Adanya kandungan hadits yang berkaitan dengan hal-hal yang berdimensi supra rasional.
c. Rawi Hadits
Kata Al-rawi berarti
orang yang meriwayatkan atau memberitahukan hadits. Sebenarnya antara sanad dan
rawi merupakan dua istilah yang tidak dapat dipisahkan. Sanad-sanad hadits pada
setiap generasi atau thabaqah juga terdiri dari para rawi. Mereka adalah
orang-orang yang menerima dan memindahkan hadits dari seorang guru kepada
murid-muridnya atau kepada teman-temannya. Kemudian bagi perawi yang terakhir
yang menghimpun hadits ke dalam satu kitab tadwin disebut dengan perawi
atau disebut juga dengan mukharrij demikian juga mereka disebut
dengan mudawwin, karena ia menerangkan para perawi dalam sanad dan
derajat hadits tersebut dalam bukunya.
Tidak semua perawi yang meriwayatkan
hadits dapat diterima periwayatannya. Para ulama telah membuat beberapa
persyaratan agar periwayatan seorang perawi dapat diterima. Ada dua hal yang
harus diteliti pada diri periwayat hadits untuk dapat diketahui apakah riwayat
yang dikemukakannya dapat diterima sebagai sebuah hadits yang dapat dijadikan
hujjah atau ditolak, yaitu:
1.
Adil, keadilan memiliki empat kriteria
atau empat unsur yakni beragama Islam, mukalaf, melaksanakan ketentuan agama
dan menjaga muru’ah. Kriteria tersebut berbeda di saat menerima dan
menyampaikan hadits. Keempat kriteria tersebut harus terpenuhi disaat periwayat
menyampaikan periwayatan hadits. Sedangkan tatkala menerima riwayat, kriteria
beragama islam dan mukalaf tidak mesti terpenuhi. Periwayat tatkala menerima
hadits riwayat hadits tidak harus beragama Islam dan mukalaf, asalkan dia telah
mumayyiz atau dapat memahami maksud pembicaraan dan dapat membedakan
antara sesuatu dengan yang lainnya. Akan tetapi tatkala menyampaikan riwayat
hadits, dia telah memeluk Islam.
2.
Dhabith, yaitu kuat hafalannya atau
mempunyai catatan pribadi yang dapat dipertanggungjawabkan.
Sebagian ulama menyatakan bahwa
orang yang dhabith ialah orang yang mendengarkan pembicaraan sebagai mana
seharusnya, dia memahami arti pembicaraan tersebut secara benar, kemudian dia
menghafalnya dengan sungguh-sungguh dan sempurna, sehingga dia mampu menyampaikan
hafalannya itu kepada orang lain dengan baik.
Dhabith ada dua:
·
Dhabith Shadar, yakni menghafal dengan baik.
·
Dhabith Kitab, yakni memelihara kitabnya dengan baik dari
kemasukan sisipan atau yang lain.
Dalam periwayatan Hadits ada istilah
Muttabi’ dan Syahid,.
1. Muttabi’
Muttabi’
disebut juga At-Thaabi’ menurut bahasa adalah isim fa’il dari taba’a yang
artinya mengiringi atau yang mencocoki. Sedangkan menurut istilah adalah satu
hadits yang sanadnya menguatkan sanad lain dari hadits itu juga, dan sahabat
yang meriwayatkan adalah satu.
2. Asy-Syahid,
menurut bahasa adalah isim fa’il yang artinya
adalah yang menyaksikan. Sedangkan menurut istilah sdalah satu hadits yang
matannya sama dengan hadits lain dan biasanya sahabat yang meriwayatkan hadits
tersebut berlainan.
BAB III
KONSEP KETUHANAN DALAM ISLAM
1.
Pentingnya
Beriman KepadaAllah
a. Arti
beriman kepada Allah SWT
Menurut
pengertian secara bahasa, kata iman adalah percaya atau membenarkan. Menurut
ilmu tauhid, iman berarti kepercayaan yang diyakini kebenarannya dalam hati,
diikrarkan secara lisan, dan direalisasikan dalam perbuatan.
b. Menunjukkan
tanda –tanda adanya Allah SWT
a) Meyakinkan
hati bahwa Allah itu ada
Untuk membuktikan bahwa Allah itu
ada dibutuhkan keyakinan dalam hati dan keyakinan tersebut diterima dan
dibenarkan dalam pikiran dan perasaannya bahwa Allah itu benar-benar ada.
b) Mengamati
dan memikirkan ciptaan Allah
Banyak cara yang dapat dilakukan
untuk memahami dan meyakini adanya Allah SWT. Salah satunya adalah dengan cara
memahami dan memikirkan ciptaan Allah. Untuk memahaminya dapat dilakukan dengan
cara mengamati segala ciptaan Allah SWT.
c) Menunjukkan
adanya Allah melalui dalil naqli
Dalam ayat Al-Qur’an, banyak diterangkan
tenang nama, sifat dan keberadaan Allah. Semuanya menunjukkan bahwa Allah
benar-benar ada. Sebagaimana pada ayat berikut :
اِنَّرَبَّكُمُ اللهُ
الَّذِيْ خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ فِيْ سِتَّةِ ايَّامٍ ثُمَّ اسْتَوٰى
عَلَى الْعَرْشِۗ يُغْشِى الَّيْلَ النَّهَا رَ يَطْلُبُهُ حَثِيْثًاۙ
وَّالشَّمْسَ وَلْقَمَرَ وَالنُّجُوْمُ مُسَخَّرٰتٍ بِاَمْرِهِۙ اَلاَ لَهُ
الْخَلْقُ وَالْاُمْرُۗ تَبٰرَكَ اللهُ رَبُّ الْعٰلَمِيْنَ.
Artinya :
“ sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang menciptakan langit dan bumi
dalam enam masa, lalu ia bersemayam di atas Arsy. Dia menutupkan malam kepada
siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan
dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah,
menciptakan dan memerintahkan adalah hak Allah, Maha suci Allah, Tuhan semesta
alam.”(Q.S. Al-A’raf, 7:54) .[16]
2.
Definisi
Iman dan Takwa
Iman secara
etimologis berasal dari kata aamana-yu’minu berarti tasdiq yaitu membenakan
mempercayai. Dan menurut istilah Iman ialah “ membenarkan dengan hati diucapkan
dengan lisan dan dibuktikan dengan amal perbuatan”.
Tanda-tanda orang beriman:
1. Bila disebut nama Allah hatinya
bergetar.
2. Iman mereka
bertambah bila mendengar ayat Allah.
3. Bertawakal
kepada Allah.
4. Menegakkan
shalat.
5. Menginfakkan
sebagian rezeki yang mereka peroleh
Takwa
Kata takwa (التَّقْوَى)
dalam etimologi bahasa Arab berasal dari kata kerja (وَقَى)
yang memiliki pengertian menutupi, menjaga, berhati-hati dan berlindung. Oleh karena itu imam Al Ashfahani menyatakan: Takwa adalah menjadikan jiwa
berada dalam perlindungan dari sesuatu yang ditakuti, kemudian rasa takut juga
dinamakan takwa. Sehingga takwa dalam istilah syar’I adalah menjaga diri dari
perbuatan dosa.
Al-Hasan
Al-Bashri menyatakan bahwa taqwa adalah takut dan menghindari apa yang
diharamkan Allah, dan menunaikan apa-apa yang diwajibkan oleh Allah. Taqwa juga
berarti kewaspadaan, menjaga benar-benar perintah dan menjauhi larangan.[17]
Tanda-tanda oarang bertakwa:
1. Beriman kepada ALLAH dan yang ghaib
2. Sholat, zakat, puasa
3. Infak disaat lapang dan sempit
4. Menahan amarah dan memaafkan orang lain
5. Takut pada ALLAH
6. Menepati janji
7. Berlaku lurus pada musuh ketika mereka pun melakkukan hal yang sama
8. Bersabar dan menjadi pendukung kebenaran
9. Tidak meminta ijin untuk tidak ikut berjihad
10. Berdakwah agar terbebas dari dosa ahli maksiat
3.
Proses Terbentukknya Keimanan
Benih iman
yang dibawa sejak dalam kandungan memerlukan pemupukan yang berkesinambungan.
Benih yang unggul apabila tidak disertai pemeliharaan yang intensif, besar
kemungkinan menjadi punah. Demikian pula halnya dengan benih iman. Berbagai
pengaruh terhadap seseorang akan mengarahkan iman/kepribadian seseorang, baik
yang datang dari lingkungan keleuarga, masyarakat, pendidikan maupun lingkungan
termasuk benda benda mati seperti cuaca, tanah, air, dan lingkungan flora serta
fauna. Pengaruh pendidikan keluarga secara langsung maupun tidak langsung baik
yang disengaja maupun tidak disengaja amat berpengaruh terhadap keimanan
seseorang. Tingkah laku orang tua dalam rumah tangga senantiasa menjadi contoh
dan teladan bagi anak anak. Dalam hal ini Rasulullah bersabda"Setiap anak
lahir membawa fitrah. Orang tuanya berperan menjadikan anak tersebut menjadi
yahudi, nasrani, atau majusi". Pada dasarnya proses pembentukan Iman juga
demikian. Di awali dengan proses perkenalan, kemudian meningkat menjadi senang
atau benci. mengenal ajaran Allah adalah langkah awal mencapai iman kepada
Allah. Jika seseorang tidak mengenal ajaran Allah, maka orang tersebut tidak
mungkin beriman kepada Allah.
Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَخْرُحُ مِنَ النَّارِ مَنْ كَانَ فِيْ
قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنَ اْلإِيْمَانِ.
“Akan keluar dari Neraka orang yang di dalam hatinya masih ada seberat
dzarrah dari iman..” [18]
4.
Implementasi
1. Pemantapan
Iman dan Taqwa
Masa depan
ditentukan oleh umat yang memiliki kekuatan budaya yang dominan. Generasi
pelopor penyumbang dibidang pemikiran (aqliyah), dan pembaruan (inovator),
perlu dibentuk di era pembangunan.
Keunggulan
generasi pelopor akan di ukur ditengah masyarakat dengan pengetahuan dan
pemahaman (identifikasi) permasalahan yang dihadapi umat, dengan equalisasi
mengarah kepada kaderisasi (patah tumbuh hilang berganti). Keunggulan ini di
iringi dengan kemampuan penswadayaan kesempatan-kesempatan. Pentingnya
menumbuhkan generasi pelopor menjadi relevansi tuntutan agama dalam menatap
kedepan.
Mantapnya
pemahaman agama dan adat budaya (tamaddun) dalam perilaku seharian jadi
landasan dasar kaderisasi re-generasi. Usaha kearah pemantapan metodologi
pengembangan melalui program pendidikan dan pelatihan, pembinaan keluarga,
institusi serta lingkungan mesti sejalin dan sejalan dengan pemantapan Akidah
Agama pada generasi mendatang. Political action berkenaan pengamalan ajaran
Agama menjadi sumber kekuatan besar menopang proses pembangunan melalui
integrasi aktif, dimana umat berperan sebagai subjek dalam pembangunan bangsa
itu sendiri.
2.
Melemahnya Jati Diri
Kelemahan
mendasar ditengah perkembangan zaman adalah melemahnya jati diri, dan kurangnya
komitmen kepada nilai luhur agama yang menjadi anutan bangsa. Isolasi diri
karena tidak berkemampuan menguasai “bahasa dunia” (politik, ekonomi, sosial,
budaya, iptek), berujung dengan hilangnya percaya diri. Kurangnya kemampuan
dalam penguasaan teknologi dasar yang akan menopang perekonomian bangsa,
dipertajam oleh kurangnya minat menuntut ilmu, menjadikan isolasi diri
masyarakat bertambah tertutup. Kondisi ini akan menjauhkan peran serta di
era-kesejagatan (globalisasi), dan akhirnya membuka peluang menjadi anak
jajahan di negeri sendiri.
Sosialisasi
pembinaan jati diri bangsa mesti disejalankan dengan pengokohan lembaga
keluarga (extended family), dan peran serta masyarakat pro aktif menjaga
kelestarian adat budaya (hidup beradat, di masyarakat Minangkabau adat
bersendikan syarak, syarak bersendikan Kitabullah). Setiap generasi yang di
lahirkan dalam satu rumpun bangsa wajar tumbuh menjadi kekuatan yang peduli dan
pro-aktif menopang pembangunan bangsa.
Melibatkan
generasi muda secara aktif menguatkan jalinan hubungan timbal balik antara
masyarakat serumpun di desa dalam tata kehidupan sehari-hari. Aktifitas ini mendorong
lahirnya generasi penyumbang yang bertanggung jawab, di samping antisipasi
lahirnya generasi lemah.
3.
Arus Globalisas
Menjelang
berakhirnya alaf kedua memasuki
millenium ketiga, abad dua puluh satu ditemui lonjakan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi dengan pesat. Globalisasi sebenarnya dapat diartikan
sebagai suatu tindakan atau proses menjadikan sesuatu mendunia (universal),
baik dalam lingkup maupun aplikasinya. Era globalisasi adalah era perubahan
cepat. Dunia akan transparan, terasa sempit seakan tanpa batas.
Hubungan
komunikasi, informasi, transportasi menjadikan jarak satu sama lain menjadi
dekat, sebagai akibat dari revolusi industri, hasil dari pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Arus globalisasi juga menggeser pola hidup masyarakat
dari agraris dan perniagaan tradisional menjadi masyarakat industri dan
perdagangan modern.
Arus kesejagatan
(globalisasi) secara dinamik memerlukan penyesuaian kadar agar arus kesejagatan
tidak mencabut generasi dari akar budaya bangsanya. Sebaliknya arus kesejagatan
mesti di rancang bisa merobah apa yang tidak di kehendaki.
Membiarkan diri
terbawa arus deras perubahan sejagat tanpa memperhitungkan jati diri akan
menyisakan malapetaka. Globalisasi menyisakan banyak tantangan (sosial, budaya,
ekonomi, politik, tatanan, sistim, perebutan kesempatan menyangkut banyak aspek
kehidupan kemanusiaan.
Globalisasi juga
menjanjikan harapan dan kemajuan. Setiap Muslim harus ‘arif dalam menangkap
setiap pergeseran dan tanda-tanda perubahan zaman. Kejelian dalam menangkap
ruh zaman (zeitgeist) mampu men- jaring peluang‑peluang yang ada, sehingga
memiliki visi jauh ke depan. Diantara
yang menjanjikan itu adalah pertumbuhan ekonomi yang pesat. Pesatnya
pertumbuhan ekonomi menjadi alat untuk menciptakan kemakmuran masyarakat.
4.
Paradigma Tauhid
Paradigma
tauhid, laa ilaaha illa Allah, mencetak manusia menjadi ‘abid, hamba yang
mengabdi kepada Allah dalam arti luas,
berkemampuan melaksanakan ajaran syar’iy mengikuti perintah Allah dan
sunnah Rasul Allah, untuk menjadi manusia mandiri (self help), sesuai dengan
eksistensi manusia itu di jadikan.
Manusia pengabdi
(‘abid) adalah manusia yang tumbuh dengan Akidah Islamiah yang kokoh. Akidah
Islamiah merupakan sendi fundamental dari dinul Islam, dan titik dasar paling
awal untuk menjadikan seorang muslim.
Akidah adalah
keyakinan bulat tanpa ragu, tidak sumbing dengan kebimbangan, membentuk manusia
dengan watak patuh dan ketaatan yang menjadi bukti penyerahan total kepada
Allah. Akidah menuntun hati manusia kepada pembenaran kekuasaan Allah secara absolut. Tuntunan
Akidah membimbing hati manusia merasakan nikmat rasa aman dan tentram dalam
mencapai Nafsul Mutmainnah dengan segala sifat-sifat utama.
Apabila Akidah
tauhid telah hilang, dapat dipastikan akan lahir prilaku fatalistis dengan
hanya menyerah kepada nasib sambil bersikap apatis dan pesimis. Sikap negatif
ini adalah virus berbahaya bagi individu pelopor penggerak pembangunan.
Keyakinan tauhid secara hakiki menyimpan kekuatan besar berbentuk energi
ruhaniah yang mampu mendorong manusia untuk hidup inovatif.
BAB
IV
KONSEP
MORAL DAN AKHLAK DALAM ISLAM
1.
Defenisi
Akhlak dan Moral
a)
Pengertian
akhlak
Kata akhlak
berasal dari kata khalaq atau khuluqan[19]
(bahasa arab) yang berarti budi pekerti, adat kebiasaan, perangai, muru’ah atau
segala sesuatu yang sudah menjadi tabiat[20].
Pengertian akhlak adalah tingkah laku manusia untuk menetapkan nilai-nilai baik
atau buruknya perbuatan itu. Baik atau buruk apabila dilakukan sesuai atau
bertentangan dengan norma-norma akhlak tersebut[21]
b)
Pengertian moral
c)
Adapun arti moral dari segi
bahasa berasal dari bahasa latin, mores
yaitu jamak dari kata mos yang
berarti adat kebiasaan[22].
Dalam bahasa indonesia, moral diartikan dengan arti susila. Yang dimaksud
dengan moral ialah sesuai dengan ide-ide yang diterima tentang tindakan manusia
mana yang baik dan wajar, disesuaikan dengan ukuran-ukuran yang oleh umum
diterima yang meliputi kesatuan sosial atau lingkungan tertentu.
2.
Akhlak Islami
Secara sederhana akhlak Islami dapat diartikan sebagai
akhlak yang berdasarkan ajaran Islam atau akhlak yang bersifat Islami. Kata
Islam yang berada di belakang kata akhlak dalam hal menempati posisi sebagai
sifat. Dengan demikian akhlak Islami adalah perbuatan yang dilakukan dengan
mudah, disengaja, mendarah-daging dan sebenarnya yang didasarkan pada ajaran
Islam. Dilihat dari segi sifatnya yang universal, maka akhlak Islami juga
bersifat universal. Namun dalam rangka menjabarkan akhlak islami yang universal
ini diperlukan bantuan pemikiran akal manusia dan kesempatan sosial yang
terkandung dalam ajaran etika dan moral[23].
Dengan kata lain akhlak Islami adalah akhlak yang
disamping mengakui adanya nilai-nilai universal sebagai dasar bentuk akhlak, juga
mengakui nilai-nilai bersifat lokal dan temporal sebagai penjabaran atas
nilai-nilai yang universal itu. Namun demikian, perlu dipertegas disini, bahwa
akhlak dalam ajaran agama tidak dapat disamakan dengan etika atau moral,
walaupun etika dan moral itu diperlukan dalam rangka menjabarkan akhlak yang
berdasarkan agama (akhlak Islami). Hal yang demikian disebabkan karena etika
terbatas pada sopan santun antara sesama manusia saja, serta hanya berkaitan
dengan tingkah laku lahiriah. Jadi ketika etika digunakan untuk menjabarkan
akhlak Islami, itu tidak berarti akhlak Islami dapat dijabarkan sepenuhnya oleh
etika atau moral.
3.
Indikator
Manusia Berakhlak
Manusia berakhlak adalah manusia yang suci dan sehat
hatinya, sedang manusia tidak berakhlak adalah manusia yang kotor dan sakit
hatinya. Namun sering kali manusia tidak sadar kalau hatinya sakit. Kalaupun
dia sadar tentang kesakitan hatinya, ia tidak berusaha untuk mengobatinya.
Padahal penyakit hati jauh lebih berbahaya ketimbang penyakit fisik. Seseorang
yang sakit secara fisik jika penyakitnya tidak dapat diobati dan disembuhkan
ujungnya hanya kematian. Kematian bukanlah akhir dari segala persoalan melainkan
pintu yang semua orang akan memasukinya. Tetapi penyakit hati jika tidak
disembuhkan maka akan berakhir dengan kecelakaan di alam keabadian.
Indikator manusia berakhlak (husn al-khuluq),
kata Al-Ghazali, adalah tertanamnya iman dalam hatinya. Sebaliknya manusia yang
tidak berakhlak (su’u al-khuluq) adalah manusia yang ada nifaq di
dalam hatinya. Nifaq artinya sikap mendua dalam Tuhan. Tidak ada
kesesuaian antara hati dan perbuatan. Iman bagaikan akar dari sebuah tumbuhan.
Sebuah pohon tidak akan tumbuh pada akar yang rusak dan kropos. Sebaliknya
sebuah pohon akan baik tumbuhnya bahkan berbuah jika akarnya baik. Amal akan
bermakna jika berpangkal pada iman, tetapi amal tidak membawa makna apa-apa
apabila tidak berpangkal pada iman. Demikian juga amal tidak bermakna apabila
amal tersebut berpangkal pada kemunafikan. Hati orang beriman itu bersih, di
dalamnya ada pelita yang bersinar dan hati orang kafir itu hitam dan malah
terbalik.
Taat akan perintah Allah, juga tidak mengikuti
keinginan syahwat dapat mengkilaukan hati, sebaliknya melakukan dosa dan
maksiat dapat menghitamkan hati. Barang siapa melakukan dosa, hitamlah hatinya
dan barang siapa melakukan dosa tetapi menghapusnya dengan kebaikan, tidak akan
gelaplah hatinya hanya cahaya itu berkurang. Dengan mengutip beberapa ayat Al
Qur’an dan Hadits, selanjutnya Al-Ghazali mengemukakan tanda-tanda manusia
beriman, diantaranya :
1.
Manusia beriman adalah manusia yang
khusu’ dalam shalatnya
2.
Berpaling dari hal-hal yang tidak
berguna (tidak ada faedahnya)
3.
Selalu kembali kepada Allah
4.
Mengabdi hanya kepada Allah
5.
Selalu memuji dan mengagungkan Allah
6.
Bergetar hatinya jika nama Allah
disebut
7.
Berjalan di muka bumi dengan tawadhu’
dan tidak sombong
8.
Bersikap arif menghadapi orang-orang
awam
9.
Mencintai orang lain seperti ia
mencintai dirinya sendiri
10.
Menghormati tamu
11.
Menghargai dan menghormati tetangga
12.
Berbicara selalu baik, santun dan
penuh makna
13.
Tidak banyak berbicara dan bersikap
tenang dalam menghadapi segala persoalan
14.
Tidak menyakiti orang lain baik
dengan sikap maupun perbuatan
Sufi yang lain mengungkapkan tanda-tanda manusia
berakhlak, antara lain: Memiliki budaya malu dalam interaksi dengan sesamanya,
tidak menyakiti orang lain, banyak kebaikannya, benar dan jujur dalam
ucapannya, tidak banyak bicara tapi banyak bekerja, penyabar, hatinya selalu
bersama Allah, tenang, suka berterima kasih, ridha terhadap ketentuan Allah,
bijaksana, hati-hati dalam bertindak, disenangi teman dan lawan, tidak
pendendam, tidak suka mengadu domba, sedikit makan dan tidur, tidak pelit dan hasad,
cinta karena Allah dan benci karena Allah.
Ketika Rasulullah ditanya tentang
perbedaan mukmin dan munafik, Rasulullah menjawab, orang mukmin keseriusannya
dalam shalat, puasa dan ibadah sedangkan orang munafik kesungguhannya dalam
makan minum layaknya hewan. Hatim al-‘Asam seorang ulama tabi’in menambahkan,
bahwa indikator mukmin adalah manusia yang sibuk dengan berfikir dan hikmah,
sementara munafik sibuk dengan obsesi dan panjang angan-angan, orang mukmin
putus harapan terhadap manusia kecuali pada Allah. Sebaliknya orang munafik
banyak berharap kepada sesama manusia dan bukan kepada Allah. Mukmin merasa
aman dari segala sesuatu kecuali dari Allah, munafik merasa takut oleh segala
sesuatu kecuali oleh Allah. Mukmin berani mengorbankan hartanya demi agamanya
sedangkan munafik berani mengorbankan agamanya demi hartanya. Mukmin menangis
dan berbuat baik, munafik berbuat jahat dan tertawa terbahak-bahak. Mukmin
senang berkhalawat (bersemedi) sedang munafik senang keramaian. Mukmin menanam
dan menjaga agar tidak terjadi kerusakan, munafik menuai dan mengharap
keuntungan. Mukmin memerintah dan melarang (amar ma’ruf nahi munkar)
untuk kekuasaan, maka kerusakannlah yang terjadi.
Kalau akhlak
dipahami sebagai pandangan hidup, maka manusia berakhlak adalah manusia yang
menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban dalam hubungannya dengan Tuhan,
sesama makhluk dan alam dalam arti luas.
4.
Aktualisasi Akhlak dalam Kehidupan
Aktualisasi
akhlak adalah bagaimana seseorang dapat mengimplementasikan iman yang
dimilikinya dan mengaplikasikan seluruh ajaran islam dalam setiap tingkah laku
sehari-hari. Dan akhlak seharusnya diaktualisasikan dalam kehidupan seorang
muslim seperti di bawah ini[24].
a)
Akhlak terhadap Allah
Akhlak
kepada Allah dapat diartikan sebagai sikap atau perbuatan yang seharusnya
dilakukan oleh manusia sebagai makhluk, kepada Tuhan sebagai Khalik[25]
1.
Beribadah kepada-Nya dengan ikhlas
Yaitu melaksanakan perintah untuk
menyembah Allah sesuai dengan perintah-Nya. Perintah beribadah dengan ikhlas
ditegaskan Allah dalam firmannya
“Padahal
mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaqwaan
kepada-Nya dalam (menjalankannya) dengan lurus dan supaya mereka mendirikan
sholat dan menunaikan zakat, demikianlah agama yang lurus” [26]
2.
Mentauhidkan Allah
Allah itu maha esa setiap mukmin
yang memiliki pengetahuan tentang ke-Mahaesaan-Nya, maka aktivitas
kesehariannya tertuju hanya kepada Allah semata. Dalam alqur’an ditegaskan
“Katakanlah
dialah Allah yang Maha Esa, Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya
segala sesuatu Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan dan tidak ada satupun
yang setara dengan-Nya” [27]
1.
Bertawakal
Yaitu mempercayakan diri kepada
Allah dikala melakukan sesuatu perbuatan. Dalam hal ini Allah berfirman “Sesungguhnya
orang-orang yang berfirman itu apabila disebut nama Allah hatinya bergetar dan
apabila dibacakan ayat ayat alquran bertambah imannya dan kepada Allah mereka
bertawaqal.”
1)
Bertaqwa kepada Allah
Yaitu akhlak
yang paling mulia disisi Allah dan ini pulalah yang harus dicapai oleh setiap
muslim dalam kehidupannya. Diantaranya Allah berfirman
“Hai orang orang yang beriman bertaqwalah kamu kepada Allah yang telah
menciptakan kamu dari diri yang satu dan Allah meciptakan dari diri yang satu
itu istrinya dan keduanya Allah menciptakan laki-laki dan perempuan yang
banyak, bertaqwalah kepada-Nya yang dengan atas nama-Nya” [28]
1.
Berdoa kepada Allah saja
Orang mukmin merasa dirinya lemah,
mereka tidak mampu mewujudkan segala sesuatu yang diinginkannya kecuali dengan
pemberian dan pertolongan dari Allah. Maka mereka berdoa memohon pertolongan
dari Allah, seperti dalam ayat berikut.
“Hanya
kepada engkau kami menyembah dan kepada engkau kami meminta pertolongan” [29]
2.
Berzikir kepada Allah
Yaitu
mengingat Allah dalam berbagai situasi dan kondisi. Dengan berzikir kepada
Allah akan menentramkan hati dan menyejukkan perasaan dan pikiran. Dalam hal
ini Allah berfirman
“Ingatlah dengan berzikir kepada Allah
hati menjadi tentram” [30]
B.
Akhlak terhadap Rasulullah
1.
Mengikuti atau menjalankan sunnah
Rosul
Mengacu kepada sikap, tindakan, ucapan dan cara Rasulullah menjalani hidupnya atau garis-garis perjuangan / tradisi yang dilaksanakan oleh
Rasulullah. Sunnah merupakan sumber hukum kedua dalam Islam, setelah Al-Quran.
2.
Bersholawat Kepada Rosul
Mengucapkan puji-pujian kepada Rasulullah S.A.W. Sesungguhnya Tuhan beserta
para malaikatnya semua memberikan sholawat kepada Nabi (dari Allah berarti
memberi rahmat, dan dari malaikat berarti memohonkan ampunan).
C. Akhlak Terhadap diri sendiri
1.
Sikap sabar
Sabar adalah menahan amarah dan
nafsu yang pada dasarnya bersifat negative. Kemudian manusia harus sabar dalam
menghadapi segala cobaan.
2.
Sikap Syukur.
Dalam keseharian, kadang atau bahkan sering kali kita lupa untuk bersyukur,
atau mensyukuri segala nikmat Allah yang telah diberikan kepada kita. Ada 3
(tiga) cara yang mudah untuk mensyukuri nikmat Allah yaitu bersyukur dengan
hati yang tulus, mensyukuri dengan lisan yang dilakukan dengan memuji Allah
melalui ucapan alhamdulillah, dan bersyukur dengan perbuatan yang dilakukan
dengan menggunakan nikmat dan rahmat Allah pada jalan dan perbuatan yang
diridhoi-Nya
3.
Sikap Tawadlhu’
Tawadlhu’ atau rendah hati merupakan salah satu bagian dari akhlak mulia
jadi sudah selayaknya kita sebagai umat muslim bersikap tawadhu, karena tawadhu
merupakan salah satu akhlak terpuji yang wajib dimiliki oleh setiap umat islam.
Orang yang tawadhu’ adalah orang menyadari bahwa semua kenikmatan
yang didapatnya bersumber dari Allah SWT
4.
Bertaubat.
Apabila melakukan kesalahan, maka segera bertaubat dan tidak mengulanginya
lagi. Apabila ada dari kita yang merasa telah terlalu banyak berbuat dosa dan
maksiat sebaiknya kita jangan berputus asa dari rahmat ampunan Allah,
karena Allah SWT selalu memberikan kesempatan pada kita untuk bertobat.
D. Akhlak Terhadap
Sesama Manusia
1. Merajut Ukhuwah atau Persaudaraan
Membina persaudaraan adalah perintah Allah yang diajarkan oleh semua agama,
termasuk agama Islam. Oleh sebab itu, sudah sewajarnya kalau semua elemen
membangun ukhuwwah dalam komunitasnya. Apabila ada kelompok tertentu dengan
mengatas-namakan agama tetapi enggan memperjuangkan perdamaian dan persaudaraan
maka perlu dipertanyakan kembali komitmen keagamaannya.
2. Ta’awun atau saling tolong menolong
Dalam Islam, tolong-menolong adalah kewajiban setiap Muslim. Sudah
semestinya konsep tolong-menolong tidak hanya dilakukan dalam lingkup yang
sempit. Tolong-menolong menjadi sebuah keharusan karena apapun yang kita kerjakan membutuhkan pertolongan dari
orang lain. Tidak ada manusia seorang pun di muka bumi ini yang tidak
membutuhkan pertolongan dari yang lain.
3. Suka memaafkan kesalahan orang lain
Islam mengajar umatnya untuk bersikap pemaaf dan suka memaafkan kesalahan
orang lain tanpa menunggu permohonan maaf daripada orang yang berbuat salah
kepadanya. Pemaaf adalah sikap suka memberi maaf terhadap kesalahan orang lain
tanpa ada sedikit pun rasa benci dan dendam di hati. Sifat pemaaf adalah salah
satu perwujudan daripada ketakwaan kepada Allah.
4. Menepati Janji
Janji memang ringan diucapkan namun berat untuk ditunaikan. Menepati janji
adalah bagian dari iman. Maka seperti itu pula ingkar janji, termasuk tanda
kemunafikan.
E. Akhlak Terhadap Lingkungan
1.
Tafakur (Berfikir)
Salah satu ciri khas manusia yang membedakanya dari makhluk yang lain, bahwa
manusia adalah makhluk yang berpikir. Dengan kemampuan itulah manusia bisa
meraih berbagai kemajuan, kemanfaatan, dan kebaikan.[32]
2.
Memanfaatkan Alam
Kedudukan manusia di bumi ini
bukanlah sebagai penguasa yang sewenang-wenang, tetapi sebagai khalifah yang
mengemban amanat Allah. Karena
itu, segala pemanfaatan manusia atas bumi ini harus dengan penuh tanggung jawab
dan tidak menimbulkan kerusakan. Sebab, Allah tidak menyukai orang-orang yang
berbuat kerusakan
5. Hubungan Tasawuf dengan Akhlak
Para
ahli Ilmu Tasawuf pada umumnya membagi tasawuf kepada tiga bagian. Pertama
tasawuf falsafi, kedua tasawuf akhlaki dan ketiga tasawuf amali. Ketiga macam
tasawuf ini tujuannya sama, yaitu mendekatkan diri kepada Allah dengan cara
membersihkan diri dari perbuatan yang tercela dan menghias diri dengan
perbuatan yang terpuji[33].
Dengan demikian dalam proses pencapaian tujuan bertasawuf seseorang harus
terlebih dahulu berakhlak mulia. Ketiga macam tasawuf ini berbeda dalam hal
pendekatan yang digunakan. Pada tasawuf falsafi pendekatan yang digunakan
adalah pendekatan rasio atau akal pikiran, karena dalam tasawuf ini menggunakan
bahan-bahan kajian atau pemikiran yang terdapat dikalangan para filosof,
seperti filsafat tentang Tuhan, manusia, hubungan manusia dengan Tuhan dan lain
sebagainya. Selanjutnya pada tasawuf akhlaki pendekatan yang digunakan adalah
pendekatan akhlak yang tahapannya terdiri dari takhalli (mengosongkan diri dari akhlak yang buruk), tahalli (menghiasinya dengan akhlak yang
terpuji), dan tajalli (terbukanya
dinding penghalang (hijab)) yang membatasi manusia dengan Tuhan, sehingga Nur
Illahi tampak jelas padanya. Sedangkan pada tasawuf amali pendekatan yang
dilakukan adalah pendekatan amaliayah atau
wirid, yang selanjutnya mengambil
bentuk tarikat. Dengan mengamalkan tasawuf baik yang bersifat falsafi, akhlaki
atau amali, seseorang dengan sendirinya berakhlak baik. Perbuatan yang demikian
itu ia lakukan dengan sengaja, sadar, pilihan sendiri, dan bukan karena
paksaan.
Hubungan
antara Ilmu Akhlak dengan Ilmu Tasawuf lebih lanjut dapat kita ikuti uraian
yang diberikan Harun Nasution. Menurutnya ketika mempelajari tasawuf ternyata
pula bahwa al-Quran dan al-Hadis mementingkan akhlak. Al-Quran dan al-Hadis
menekankan nilai-nilai kejujuran, kesetiakawanan, persaudaraan, rasa
kesosialan, keadilan, tolong-menolong, murah hati, suka memberi maaf, sabar,
baik sangka, berkata benar, pemurah, keramahan, bersih hati, berani, kesucian,
hemat, menepati janji, disiplin, mencintai ilmu dan berpikiran lurus. Nilai-nilai
serupa ini yang harus dimiliki oleh seorang muslim, dan dimasukkan ke dalam
dirinya dari semasa ia kecil.[34]
Sebagaimana
diketahui bahwa dalam tasawuf masalah ibadah amat menonjol, karena bertasawuf
itu pada hakikatnya melakukan serangkaian ibadah seperti shalat, puasa, haji,
zikir, dan lain sebagainya, yang semuanya itu dilakukan dalam rangka
mendekatkan diri kepada Allah. Ibadah yang dilakukan dalam rangka bertasawuf
itu ternyata erat hubungannya dengan akhlak. Dalam hubungan ini Harun Nasution
lebih lanjut mengatakan, bahwa ibadah dalam islam erat sekali hubungannya
dengan pendidikan akhlak. Ibadah dalam al-Quran dikaitkan dengan taqwa, dan
taqwa berarti melaksanakan perintah Tuhan dan menjauhi larangan-Nya, yaitu
orang yang berbuat baik dan jauh dari yang tidak baik. Inilah yang dimaksud
dengan ajaran amar ma’ruf nahi munkar,
mengajak orang pada kebaikan dan mencegah orang dari hal-hal yang tidak baik.
Tegasnya orang yang bertaqwa adalah orang yang berakhlak mulia. Harun Nasution
lebih lanjut mengatakan, kaum sufilah, terutama yang pelaksanaan ibadahnya
membawa kepada pembinaan akhlak mulia dalam diri mereka. Hal itu, dalam istilah
sufi disebut dengan al-takhalluq bi
akhlaqillah, yaitu berbudi pekerti dengan budi pekerti Allah, atau al-ittishaf bi shifatillah, yaitu
mensifati diri dengan sifat-sifat yang dimiliki Allah[35]
BAB VI
KERUKUNAN
ANTAR UMAT BERAGAMA
1.
Agama Islam Rahmat dari Allah
Agama Islam adalah agama yang allah turunkan sejak manusia
pertama,yaitu Nabi Adam as kemudian Allah turunkan secara berkesinambungan
kepada Nabi atau Rasul berikutnya. Akhir dari penurunan agama Islam itu terjadi
pada masa kerasulan Muhammad Saw.
Ketika Islam mulai disampaikan oleh Rasulullah Saw kepada
masyarakat Arab, beliau mengajak masyarakat untuk menerima dan mentaati ajaran
Islam, tanggapan yang mereka sampaikan pada Rasulullah adalah sikap heran dan
aneh. Islam dianggapnya sebagai ajaran yang menyimpang dari tradisi leluhur
yang telah mendarah daging bagi masyrakat Arab, yang telah mereka taati secara
turun menurun.
Kata Islam berarti damai, selamat, selamat, penyerahan diri,
tunduk dan patuh. Pengertian tersebut menunjukan bahwa agama Islam adalah agama
yang mengandung ajaran untuk menciptakan kedamaian, kerukunan, keselamatan, dan
kesejahteraan bagi kehidupan umat manusia pada khususnya dan semua makhluk
Allah pada umumnya, bukan untuk mendatangkan dan membuat bencana atau kerusakan
di muka bumi.
Fungsi Islam sebagai Agama Rahmatan Lil Alamin tidak
tergantung pada peneriman atau penilaian manusia, substansi rahmat terletak
pada fungsi ajaran tersebut,dan fungsi itu baru akan terwujud dan dapat
dirasakan oleh manusia sendiri maupun oleh makhluk-makhluk yang lain , apabila
manusia sebagai pengemban amanat Allah telah dapat mentaati dan menjalankan
aturan-aturan ajaran Islam dengan benar dan khaffah.
Fungsi Islam juga sebagai rahmat dan bukan sebagai agama
pembawa bencana, dijelaskan oleh Allah dalam Alqur’an surat Al Anbiya’: 107
قرأتفيتفسيرعمادالدينأبيالفداءالإمامإسماعيلبنعمربنكثيرعليهرحماتاللهعندتفسيرقوله – تعالى -(وماأرسلناكإلارحمةللعالمين) فيسورةالأنبياءالآية 107 قوله: (…فإنقيل: فأيرحمةحصلتلمنكفربه؟فالجوابمارواهأبوجعفربنجريرعنابنعباسفيقوله: وماأرسلناكإلارحمةللعالمين.قال: منآمنباللهواليومالآخر،كتبلهالرحمةفيالدنياوالآخرة،ومنلميؤمنباللهورسوله،عوفيمماأصابالأمممنالخسفوالقذف. yang artinya:”Dan tidaklah Kami
mengutus kamu Muhammad, melainkan untuk menjadi rahmat sebagai semesta alam.” Sedangkan
bentuk-bentuk kerahmatan Allah pada ajaran Islam itu adalah:
- Islam menunjukan Manusia jalan hidup yang benar.
- Islam menghormati dan menghargai semua manusia sebagai hamba Allah, baik mereka muslim maupaun non muslim.
- Islam mengatur pemanfaatan alam secara baik dan professional.
- Islam memberikan kebebasan kepada manusia untuk menggunakan potensi yang diberikan oleh Allah secara tanggung jawab, dll.
2. Definisi Kerukunan
Kerukunan dalam Islam diberi istilah “tasamuh” atau
toleransi.Sehingga yang dimaksud toleransi adalah kerukunan sosial
kemasyarakatan, bukan dalam hal akidah Islamiyah (keimanan), karena akidah
telah digariskan secara jelas dan tegas dalam Alqur’an dan Hadits. Dalam hal
akidah atau keimanan seorang muslim hendaknya meyakini bahwa Islam adalah
satu-satunya agama dan keyakinan yang dianutnya sesuai dengan firman Allah SWT
dalam surat Al Kafirun ayat 1-6 sebagai berikut:
Artinya
: “Katakanlah, Hai orang-orang kafir!. Aku tidak menyembag apa yang kamu
sembah. Dan tidak (pula) kamu menyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku bukan
penyembah apa yang biasa kamu sembah. Dan kamu bukanlah penyembah Tuhan yang
aku sembah. Bagimu agamamu dan bagiku agamaku” [36]
Manusia
ditakdirkan Allah Sebagai makhluk social yang membutuhkan hubungan dan
interaksi sosial dengan sesama manusia. Sebagai makhluk social, manusia
memerlukan kerja sama dengan orang lain dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, baik
kebutuhan material maupun spiritual.
Ajaran
Islam menganjurkan manusia untuk bekerja sama dan tolong menolong (ta’awun)
dengan sesama manusia dalam hal kebaikan. Dalam kehidupan sosial kemasyarakatan
umat Islam dapat berhubungan dengan siapa saja tanpa batasan ras, bangsa, dan
agama.
A. Kerja sama intern umat beragama
Persaudaraan
atau ukhuwah, merupakan salah satu ajaran yang mendapat perhatian penting dalam
islam. Al-qur’an menyebutkan kata yang mengandung arti persaudaraan sebanyak 52
kali yang menyangkut berbagai persamaan, baik persamaan keturunan, keluarga,
masyarakat, bangsa, dan agama. Ukhuwah yang islami dapat dibagi kedalam empat
macam,yaitu :[37]
1.
Ukhuwah ‘ubudiyyah, ialah persaudaraan yang timbul dalam
lingkup sesama makhluk yang tunduk kepada Allah.
2.
Ukhuwah insaniyyah atau basyariyyah, yakni persaudaraan
karena sama-sama memiliki kodrat sebagai manusia secara keseluruhan
(persaudaraan antarmanusia, baik itu seiman maupun berbeda keyakinan).
3.
Ukhuwah wataniyyah wa an nasab, yakni persaudaraan yang
didasari keterikatan keturunan dan kebangsaan.
4.
Ukhuwah diniyyah, yakni persaudaraan karena seiman atau
seagama.
3.
Kerukunan antar umat beragama
Kerukunan antar umat beragama adalah
suatu kondisi sosial ketika semua golongan agama bisa hidup bersama tanpa
menguarangi hak dasar masing-masing untuk melaksanakan kewajiban agamanya.
Kerukunan antar umat beragama juga di contohkan rasulullah
dalam hijrahnya ke madinah beliau berhubungan baik dengan antar kaum anzar
dengan muhajirin dan juga dengan umat yahudi .di perjelas dengan adanya
perjanjian yg isinya :
1. Umat yahudi dan umat islam hidup
dalam satu bangsa
2. Menjalankan agamanya masing masing
tanpa mengganggu satu sama lain
3. Jika satu dari mereka di serang
musuh maka mereka akan saling membantu
4. Jika madinah di serang musuh , maka
umat islam dan yahudi ikut mempertahankannya
5. Jika kedua belah pihak berselisih
maka rasulullah yang akan mengadilinya .[38]
Kerukunan antar umat beragama itu sendiri juga bisa
diartikan dengan toleransi antar umat beragama.Dalam toleransi itu sendiri pada
dasarnya masyarakat harus bersikap lapang dada dan menerima perbedaan antar
umat beragama. Selain itu masyarakat juga harus saling menghormati satu sama
lainnya misalnya dalam hal beribadah, antar pemeluk agama yang satu dengan lainnya
tidak saling mengganggu.
Kerukunan umat Islam dengan penganut agama lainnya telah
jelas disebutkan dalam Alqur’an dan Al-hadits. Hal yang tidak diperbolehkan
adalah dalam masalah akidah dan ibadah, seperti pelaksanaan sosial, puasa dan
haji, tidak dibenarkan adanya toleransi, sesuai dengan firman-Nya dalam surat
Al Kafirun: 6, yang artinya: “Bagimu agamamu, bagiku agamaku”.Beberapa prinsip
kerukunan antar umat beragama berdasar Hukum Islam :
a.
Islam tidak membenarkan adanya paksaan dalam memeluk suatu
agama (QS.Al-Baqarah : 256).
ا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَنْ
يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى
لا انْفِصَامَ لَهَا وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
b.
Allah SWT tidak melarang orang Islam untuk berbuat
baik,berlaku adil dan tidak boleh memusuhi penganut agama lain,selama mereka
tidak memusuhi,tidak memerangi dan tidak mengusir orang Islam.(QS. Al-Mutahanah
: 8).
ايَنْهَاكُمُاللَّهُعَنِالَّذِينَلَمْيُقَاتِلُوكُمْفِيالدِّينِوَلَمْيُخْرِجُوكُمْمِنْدِيَارِكُمْأَنْتَبَرُّوهُمْوَتُقْسِطُواإِلَيْهِمْإِنَّاللَّهَيُحِبُّالْمُقْسِطِينَ . ﴿سورةالممتحنة : ٨-۹
c.
Setiap pemeluk agama mempunyai kebebasan untuk mengamalkan
syari'at agamanya masing-masing (QS.Al-Baqarah :139).
قُلْأَتُحَاجُّونَنَافِياللَّهِوَهُوَرَبُّنَاوَرَبُّكُمْوَلَنَاأَعْمَالُنَاوَلَكُمْأَعْمَالُكُمْوَنَحْنُلَهُمُخْلِصُونَ
d. Islam mengharuskan berbuat
baik dan menghormati hak-hak tetangga,tanpa membedakan agama tetangga
tersebut.Sikap menghormati terhadap tetangga itu dihubungkan dengan iman kepada
Allah SWT dan iman kepada hari akhir (Hadis Nabi riwayat Muttafaq Alaih).
e. Barangsiapa membunuh
orang mu'ahid,orang kafir yang mempunyai perjanjian perdamaian dengan umat
Islam, tidak akan mencium bau surga;padahal bau surga itu telah tercium dari
jarak perjalanan empat puluh tahun (Hadis Nabi dari Abdullah bin 'Ash riwayat
Bukhari).
4.
Menjaga Kerukunan Hidup Antar Umat Beragama
Menjaga Kerukunan Hidup Antar Umat
Beragama salah satunya dengan dialog antar umat beragama. Secara historis
banyak terjadi konflik antar umat beragama, misalnya konflik di Poso antara
umat islam dan umat kristen. Agama disini terlihat sebagai pemicu atau sumber
dari konflik tersebut.Sangatlah ironis konflik yang terjadi tersebut padahal
suatu agama pada dasarnya mengajarkan kepada para pemeluknya agar hidup dalam
kedamaian, saling tolong menolong dan juga saling menghormati.Untuk itu marilah
kita jaga tali persaudaraan antar sesama umat beragama.
Menurut Prof. Dr. H Muchoyar H.S, MA
dalam menyikapi perbedaan agama terkait dengan toleransi antar umat beragama
agar dialog antar umat beragama terwujud memerlukan 3 konsep yaitu :[39]
1.
Setuju untuk tidak setuju, maksudnya setiap agama memiliki
akidah masing- masing sehingga agama saling bertoleransi dengan perbedaan
tersebut.
2.
Setuju untuk setuju, konsep ini berarti meyakini semua agama
memiliki kesamaan dalam upaya peningkatan kesejahteraan dan martabat umatnya.
3.
Setuju untuk berbeda, maksudnya dalam hal perbedaan ini
disikapi dengan damai bukan untuk saling menghancurkan.
Faktor
Penyebab Ketidakharmonisan Kerukunan Antar Umat Beragama
Terdapat delapan faktor utama penyebab timbulnya ketidak
harmonisan di bidang kerukunan hidup umat beragama ditilik dari dampak kegiatan
keagamaan antara lain:[40]
a.
Pendirian Tempat Ibadah.
Tempat ibadah yang didirikan tanpa mempertimbangkan situasi
dan kondisi lingkungan umat beragama setempat sering menciptakan
ketidak-harmonisan umat beragama yang dapat menimbulkan konflik antar umat
beragama.
b.
Penyiaran Agama.
Penyiaran agama, baik secara lisan, melalui media cetak
seperti brosur, pamflet, selebaran dsb, maupun media elektronika, serta media
yang lain dapat menimbulkan kerawanan di bidang kerukunan hidup umat beragama,
lebih-lebih yang ditujukan kepada orang yang telah memeluk agama lain.
c.
Bantuan Luar Negeri.
Bantuan dari Luar negeri untuk pengembangan dan penyebaran
suatu agama, baik yang berupa bantuan materiil / finansial ataupun bantuan
tenaga ahli keagamaan, bila tidak mengikuti peraturan yang ada, dapat
menimbulkan ketidak-harmonisan dalam kerukunan hidup umat beragama, baik intern
umat beragama yang dibantu, maupun antar umat beragama.
d.
Perkawinan Beda Agama.
Perkawinan yang dilakukan oleh pasangan yang berbeda agama,
walaupun pada mulanya bersifat pribadi dan konflik antar keluarga, sering
mengganggu keharmonisan dan mengganggu kerukunan hidup umat beragama,
lebih-lebih apabila sampai kepada akibat hukum dari perkawinan tersebut, atau
terhadap harta benda perkawinan, warisan, dsb.
e.
Perayaan Hari Besar Keagamaan.
Penyelenggaraan perayaan Hari Besar Keagamaan yang kurang
mempertimbangkan kondisi dan situasi serta lokasi dimana perayaan tersebut
diselenggarakan dapat menyebabkan timbulnya kerawanan di bidang kerukunan hidup
umat beragama.
f.
Penodaan Agama.
Perbuatan yang bersifat melecehkan atau menodai agama dan
keyakinan suatu agama tertentu yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok
orang, dapat menyebabkan timbulnya kerawanan di bidang kerukunan hidup umat
beragama.
g.
Kegiatan Aliran Sempalan.
Kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang
yang didasarkan pada keyakinan terhadap suatu agama tertentu secara menyimpang
dari ajaran agama yang bersangkutan dapat menimbulkan keresahan terhadap
kehidupan beragama, sehingga dapat pula menyebabkan timbulnya kerawanan di
bidang kerukunan hidup beragama.
h.
Aspek Non Agama yang mempengaruhi.
Aspek-aspek non agama yang dapat mempengaruhi kerukunan
hidup umat beragama antara lain : kepadatan penduduk, kesenjangan sosial
ekonomi, pelaksanaan pendidikan, penyusupan ideologi dan politik berhaluan
keras yang berskala regional maupun internasional, yang masuk ke Indonesia
melalui kegiatan keagamaan.
BAB VII
1.
FILSAFAT
PENDIDIKAN
A. Pengertian Filsafat
Pendidikan
Filsafat
pendidikan adalah aktivitas pikiran yang teratur yang menjadikan filsafat
sebagai jalan untuk mengatur, menyelaraskan, dan memadukan proses
pendidikan. Artinya, filsafat pendidikan dapat menjelaskan nilai-nilai dan
maklumat-maklumat yang diupayakan untuk mencapainya. Dalam hal ini,
filsafat, filsafat pendidikan, dan pengalaman kemanusiaan merupakan faktor
yang integral. Filsafat pendidikan juga bisa didefinisikan sebagai kaidah
filosofis dalam bidang pendidikan yang menggambarkan aspek-aspek pelaksanaan
falsafah umum dan menitikberatkan pada pelaksanaan prinsip-prinsip dan
kepercayaan yang menjadi dasar dari filsafat umum dalam upaya memecahkan
persoalan-persoalan pendidikan secara praktis.
Berdasarkan
uraian diatas dapat kita tarik pengertian bahwa filsafat pendidikan sebagai
ilmu pengetahuan normatif dalam bidang pendidikan merumuskan kaidah-kaidah
norma dan atau ukuran tingkah laku perbuatan yang sebenarnya dilaksanakan oleh
manusia dalam hidup dan kehidupannya.
B. Ruang Lingkup Filsafat
Pendidikan
Secara
mikro yang menjadi ruang lingkup filsafat pendidikan meliputi:
1.
Merumuskan secara tegas sifat
hakikat pendidikan (the nature of education);
2.
Merumuskan sifat hakikat
manusia, sebagai subjek dan objek pendidikan (the nature of man);
3.
Merumuskan secara tegas
hubungan antara filsafat, filsafat pendidikan, agama dan kebudayaan;
4.
Merumuskan hubungan antara
filsafat, filsafat pendidikan, dan teori pendidikan;
5.
Merumuskan hubungan antara
filsafat Negara (ideologi), filsafat pendidikan dan politik
pendidikan (sistem pendidikan);
6.
Merumuskan sistem nilai-norma
atau isi moral pendidikan yang merupakan tujuan pendidikan.
Dengan demikian,
dari uraian di atas diperoleh suatu kesimpulan bahwa yang menjadi ruang
lingkup filsafat pendidikan itu ialah semua aspek yang berhubungan dengan upaya
manusia untuk mengerti dan memahami hakikat pendidikan itu
sendiri, yang berhubungan dengan bagaimana pelaksanaan pendidikan yang
baik dan bagaimana tujuan pendidikan itu dapat dicapai seperti yang
dicita-citakan.
C. Hubungan Filsafat dengan
Filsafat Pendidikan
Hubungan antara
filsafat dan filsafat pendidikan sangatlah penting sebab ia menjadi dasar, arah
dan pedoman suatu sistem pendidikan. Menurut Jalaludin & Idi
(2007: 32) filsafat pendidikan merupakan aktivitas pemikiran teratur yang
menjadikan filsafat sebagai medianya untuk menyusun proses pendidikan, menyelaraskan
dan mengharmoniskan serta menerangkan nilai-nilai dan tujuan yang ingin di capai.
Lebih jauh,
Jalaludin & Idi (2007: 32) menyampaikan hubungan fungsional
antara filsafat dan teori pendidikan, sebagai berikut:
1.
Filsafat merupakan suatu cara
pendekatan yang dipakai untuk memecahkan problematika pendidikan dan menyususn
teori-teori pendidikan.
2.
Filsafat berfungsi memberi arah
terhadap teori pendidikan yang memiliki relevansi dengan kehidupan yang nyata.
3.
Filsafat, dalam hal ini fisafat
pendidikan, mempunyai fungsi untuk memberikan petunjuk dan arah dalam
pengembangan teori-teori pendidikan menjadi ilmu pendidikan.
Adapun
hubungan filsafat umum dan filsafat pendidikan terdapat batasan-batasan sebagai
berikut:
1.
Filsafat pendidikan merupakan
pelaksana pandangan filsafat dan kaidah filsafat dalam bidang pengalaman
kemanusiaan yang disebut pendidikan.
2.
Kajian tentang filsafat
pendidikan sangat penting karena merupakan upaya dalam pengembangan pandangan
terhadap proses pendidikan dalam upaya memperbaikai keadaan pendidikan.
3.
Filsafat pendidikan memiliki
prinsip-prinsip, kepercayaan, konsep andaian yang kontinuansi satu sama
lainnya.
Dari uraian di
atas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa antara filsafat pendidikan dan
pendidikan terdapat suatu hubungan yang erat sekali dan tak terpisahkan.
Filsafat pendidikan mempunyai peranan yang amat penting dalam sistem pendidikan
karena filsafat merupakan pemberi arah dan pedoman dasar bagi usaha-usaha
perbaikan, meningkatkan kemajuan dan landasan kokoh bagi tegaknya sistem
pendidikan.[41]
2. FILSAFAT
MANUSIA SEMPURNA
Manusia adalah makhluk yang
memiliki kemampuan, hak istimewa, dan memiliki tugas menyelidiki hal-hal yang
mendalam. Ia memikirkan dan bertanya tentang segala hal.
[43]
Setiap individu manusia memiliki
tanggung jawab terhadap dirinya sendiri. Meskipun ia tidak perlu mengenal dan
mengerti segala hal, setidaknya manusia berusaha mengenal serta megerti dirinya
sendiri secara cukup mendalam untuk dapat mengatur sikapnya dalam hidup. Tetapi
untuk dapat mengatur diri dan untuk dapat membedakan apa yang baik atau yang
buruk baginya. Ia harus sudah memperoleh pandangan yang cukup tepat tentang
apakah hakikat sifat manusia itu, kemampuan apa yang dimiliki oleh sifat-sifat
manusiawi itu, apa yang dicita-citakannya, dan apa yang benar dapat
mengembangkan manusia sehingga menjadi “Manusia Sempurna”.
Wacana manusia
sempurna seperti ini merupakan wacana yang sudah banyak dikaji oleh para
filosof dan juga di dalam kitab-kitab suci yang menjadi pandangan hidup
manusia. Meskipun sebutan manusia sempurna memiliki istilah yang berbeda-beda
pada masing-masing sistem, seperti Wakil Tuhan, Jivan Mukti, Manusia Super,
Manusia yang teraktualisasi, Insan Kamil dan masih banyak istilah-istilah lain.
Namun semuanya menyatu pada satu “muara” yaitu bagaimana manusia yang
seharusnya.
B.
Menuju
Manusia Sempurna
Menjadi
manusia yang baik merupakan idaman setiap orang, baik dalam dimensi rohani yang
berhubungan dengan Tuhan maupun baik dalam dimensi jasmani yang terkait dalam
kehidupan sosial. Dalam pembentukan karakter manusia diperlukan pemahaman
terhadap nilai-nilai. Oleh karena itu, pengkajian akan nilai, etika, dan
implementasinya dalam kehidupan sosial, sangatlah diperlukan. Terlebih ditambah
dengan bagaimana cara dalam penanaman esensi-esensi nilai dan etika pada diri
seseorang untuk membentuk pribadi ideal dan yang lebih tinggi.
Disadari
atau tidak, nilai-nilai di dalam realitas kehidupan telah mengalami degradasi
nilai yang menjadikan manusia lupa akan kemanusiaannya. Kriminalitas yang marak
terjadi pada saat ini seharusnya menjadi cermin bagi manusia akibat dari
pendewaan terhadap modernisme dan kebebasan tanpa batas agar berupaya
mengatasinya. [44]
Pandangan
Al-Ghazali
Menurut
Al-Ghazali kebahagiaan yang sebenarnya merupakan tujuan seseorang dalam
mencapai tahap kesempurnaan paling tinggi terutama bagi manusia adalah mengenal
hakikat sesuatu, hal tersebut tidak dapat tercapai seluruhnya di dunia. Bagi
setiap orang yang berusaha untuk meraih dengan sebenar-benarnya, maka akan
didapatnya di akhirat. Karena selama di dunia sarana untuk mendapatkan ma’rifat
selalu memperoleh cobaan. Yang demikian itu akan lenyap besok jika manusia
sudah hidup di akhirat, dan cobaan yang menghalangi manusia akan dilepas supaya
mata manusia berubah menjadi jelas dan terang.
Ma’rifat
merupakan tingkat tertinggi yang dapat
dicapai oleh manusia dan merupakan tujuan hidupnya dalam konsep
al-Ghazali. Menurut al-Ghazali jalan menuju ma’rifat adalah paduan
antara ilmu dan amal dengan memfungsikan keutamaan-keutamaan di dunia. Dalam
hal ini diaktualisasikan dengan menjalankan syari’at Islam secara kaffah,
yang secara fisik terwujud dalam amalan-amalan lahiriah dan menjadikan ibadah
sebagai parameter di setiap gerak dan tingkah lakunya. Secara psikis dengan
memperhatikan kesucian jiwa, yang dilakukan dengan dua hal. Pertama al-mujahadat
yaitu kesugguhan menghilangkan segala hambatan dan kedua al-riyadhat
yaitu latihan pendekatan diri kepada Tuhan. Usaha pembersihan diri berlangsung
secara berangsur-angsur melalui beberapa maqam, yaitu: taubat, sabar,
kefakiran, zuhud, tawakkal, mahabbah, dan ridlo. Setelah hal-hal tersebut
terpenuhi, sampailah ia pada tingkatan paling tinggi yaitu al-ma’rifat
atau pengetahuan yang tertinggi tentang Tuhan.[45]
3.
ETIKA
MURID TERHADAP GURU
Pada zaman Rasulullah dan para Sahabat murid
itu mendapatkan kedudukan yang sangat tinggi dalam proses pendidikan, karena
murid itu adalah sosok yang sedang tumbuh dan berkembang yang harus diperhatikan
oleh pendidik. Dalam hal ini, para guru membuat aturan bagaimana murid mampu
merealisasikan aturan, sehingga dapat menciptakan proses pembelajaran yang
baik.[46]
Adapun mengenai etika murid terhadap guru,
menurut Sa’id bin Muhammad Da’ib Hawwa itu ada delapan:
1. Mendahulukan
kesucian jiwa dari pada kejelekan akhlak dan keburukan sifat, karena ilmu
adalah ibadahnya hati, shalatnya jiwa, dan
2.
peribadatannya batin kepada
Allah.
3. Mengurangi
keterikatannya dengan kesibukan dunia, karena iktan-iktan itu menyibukkan dan
memalingkan kepada Allah. Jika pikiran terpecah maka tidak bisa mengetahui
berbagai hakekat. Oleh karena itu, ilmu tidak akan diberikan kepada seseorang
sebelum seseorang tersebut menyerahkan seluruh jiwanya.
4. Tidak
bersikap sombong kepada orang yang berilmu dan tidan tidak bertindak
sewenang-wenang terhadap guru, bahkan ia harus menyerahkan seluruh urusannya
dan mematuhi nasehatnya. Oleh karena itu, penuntut ilmu tidak boleh bersikap
sombong terhadap guru. Di antara bentuk kesombongannya terhadap guru adalah
sikap tidak mau mengambil manfaat (ilmu) kecuali dari orang-orang besar yang
terkenal.
5. Hendaknya
seorang murid menjaga diri dari mendengarkan perselisihan di antara mereka,
baik yang ditekuni itu termasuk ilmu dunia ataupun akhirat. Karena itu akan
membingungkan akal dan pikirannya, dan membuatnya putus asa dari melakukan
pengkajian dan telaah mendalam.
6. Seorang
penuntut ilmu tidak boleh meninggalkan suatu cabang ilmu yang terpuji, atau
salah satu jenis ilmu, kecuali ia harus mempertimbangkan matang-matang dan
memperhatikan tujuan dan maksudnya.
7. Hendaknya
seorang tidak menekuni semua bidang ilmu secara sekaligus melainkan memulai
dengan yang lebih mudah.
8. Hendaklah
seorang murid tidak memasuki suatu cabang ilmu sebelum menguasai cabang ilmu
yang sebelumnya.
9. Hendaklah
mengetahui faktor penyebab adanya ilmu yang mulia. Yang dimaksud adalah
kemulian hasil, kekokohan dan kekuatan dalil.
10. Hendaklah
tujuan murid di dunia adalah semata-mata untuk menghias dan mempercantik
hatinya dengan keutamaan, dan akhirat adalah untuk mendekatkan diri kepada
Allah dan meningkatkan diri untuk bisa berdekatan dengan makhluk tertinggi dari
kalangan malaikat dan orang-orang yang didekatkan (muqorrobin).
11. Hendaklah
mengetahui kaitan dengan tujuan agar supaya mengutamakan yang tinggi.[47]
Sedangkan menurut Hasyim Asy’ari bahwa etika
murid terhadap ada sepuluh macam yang harus diketahui oleh murid.
1. Murid
hendaknya membersihkan hati dari segala kotoran, agar ilmu mudah masuk pada
dirinya.
2. Memfokuskan
niat hanya semata-mata karena Allah dan beramal dengan ilmunya, menjaga
syariat, menerangi hati dan taqorrub Kepada Allah.
3. Berusaha
semaksimal mungkin untuk segera memperoleh ilmu, tidak tertipu oleh
lamunan-lamunan kosong atau kemalasan.
4. Qona’ah
dan sabar terhadap makanan dan pakaian yang sederhana agar segera memperoleh
kedalam ilmu dan sumber hikmah.
- Pandai mengatur waktu, sehingga semua potensi bisa dimanfaatkan secara maksimal.
6. Makan
sekedarnya, tidak terlalu kenyang, agar tidak menghambat ibadah dan memberatkan
badan.
7. Berusaha
bersikap waro’ (hati-hati terhadap masalah haram, subhat dan sia-sia);
memilih yang halal bagi kebutuhan hidupnya agar hati senantiasa bersinar dan
siap menerima cahaya ilmu dan keberkahanya.
8. Menghindari makanan yang menyebabkan kemalasan dan melemahkan
keberanian, termasuk juga menghindari hal-hal yang banyak menyebabkan lemahnya
daya ingat.
9. Menyedikitkan
tidur selama tidak mengganggu kesehatan diri.
10. Meninggalkan
hal yang bisa menarik pada kesia-sian dan kelalaian dari belajar dan ibadah [48]
Sangat jelas sekali, keharusan adanya niat dan
kebersihan hati dalam belajar. Karena belajar dianggap sebagai ibadah dan
tujuannya adalah ridha dan taqorrub kepada Allah. Untuk itu, murid harus
menyesuaikan diri dengan sifat-sifat bersih dan suci dari Allah. Penekanan
pentingnya kebersihan hati dalam belajar itu berdasarkan atas kepercayaan bahwa
ilmu merupakan anugerah dari Allah yang maha Agung. Semakin suci dan bersih
hati manusia akan semakin baik dan kuat menerima ilmu dan nur Allah.
Dan juga perlu disadari, bahwa hormat dan patuh
kepada gurunya bukanlah manifestasi penyerahan total kepada guru yang dianggap
memiliki otoritas, melainkan karena keyakinan murid bahwa guru adalah penyalur
kemurahan Tuhan kepada para murid di dunia maupun di akhirat. Selain itu juga
didasarkan atas kepercayaan bahwa guru tersebut memiliki kesucian karena
memegang kunci penyalur ilmu pengetahuan dari Allah. Dengan demikian, dalam
kontek kepatuhan santri pada guru hanyalah karena hubungannya dengan kesalehan
guru kepada Allah, ketulusannya, dan kecintaanya mengajar murid-murid.
BAB VIII
ISLAM
MEMBANGUN PERSATUAN DALAM KEBERAGAMAN
Pengertian
Persatuan dan Kerukunan
Secara
bahasa persatuan diartikan sebagai gabungan (ikatan,kumpulan dan lain
sebagainya), beberapa bagian yang sudah bersatu. Sedangkan rukun berarti baik,
damai, tidak bertengkar. Kerukunan berarti sebagai hidup rukun, damai dan tidak
bertengkar antara warga masyarakat.[49]
Persatuan
dan kerukunan sangat diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat, sebab
terciptanya persatuan dan kerukunan dalam suatu negara akan menjadikan rakyat
nyaman dan tentram dalam bekerja, menurut ilmu, melaksanakan ajaran agama,
melaksanakan pembangunan dan lain sebagainya. Agama islam mengajarkan kepada
umatnya untuk membina persatuan dan kerukunan. Firman Allah:
Artinya: “Hai
manusia,Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu
disisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujuraat:13)
Ayat tersebut menegaskan bahwa manfaat diciptakan
manusia dengan berbeda-beda suku, bangsa adalah supaya saling mengenal dan
memberi manfaat satu dengan yang lainnya. Pada ayat lain,Allah melarang
hamba-Nya saling mengolok-olok kaum satu dengan yang lainnya:
Artinya: “ wahai
orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang
lain,boleh jadi yang mereka itu lebih baik dari mereka(yang mengolok-olok), dan
jangan pula sekumpulan perempuan mengolok-olok kumpulan lainnya, boleh jadi
yang di perolok-olokkan itu lebih baik perempuan yang mengolok-olok. Janganlah
kamju saling mencela satu sama lain, dan janganlah saling memanggil dengan
gelar-gelar buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah yang buruk setelah beriman.
Dan barang siapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.”(QS.
al-Hujuraat :11)
1.
Menggali
konsep Islam tentang Pluralitas
a. Keberagaman
pluralitas dalam Beragama
Istilah pluralisme
merupakan istilah yang banyak di dengar dewasa ini. Banyak ilmuan dan
pemikir yang membahas masalah ini kepada masyarakat. Menurut mereka paham ini
sangat cocok di kembangkan di Indonesia, dikarenakan kondisi masyarakat yang
plural(sangat beragam dalam berbagai hal). Menurut Adnin Armas, paham
pluralisme mengajarkan bahwa semua agama adalah sama. Dalam setiap agama
terdapat kebenaran. Banyak jalan menuju kebenaran. Oleh sebab itu,islam bukan
lah satu satunya jalan yang sah menuju pada kebenaran.
Kata “pluralisme” di terjemahkan dalam berbagai
interpretasi. Interpretasi populer dari Johan Hick, mengenai pluralisme ini
adalah anggapan bahwa kebenaran merupakan suatu hal yang kolektif diantara semua agama, dan seluruh agama bisa menjadi
sumber keselamatan, kesempurnaan dan keagungan bagi para penganutnya.[50]
Sejalan dengan itu, Nurcholis Madjid berpendapat
bahwa pluralisme tidak dapat dipahami hanya dengan mengatakan bahwa masyarakat
kita majemuk, beraneka ragam terdiri dari berbagai suku dan agama, yang hanya
menggambarkan kesan pragmentasi, sekedar “kebaikan negatif” yang hanya untuk
menyingkirkan kesan fanatisme. Pluralisme menurutnya harus di paham sebagai
pertalian sejati kebijakan dalam pertalian keadaban,bahkan pluralisme juga
suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia,antara lain mekanisme pengawasan
dan pengimbangan yang di hasilnya.
Interpretasi lain tentang pluralisme tersorot kepada
dimensi sosial kehidupan beragama,artinya segenap peganut agama bisa hidup
berdampingan secara damai dalam sebuah masyarakat serta saling menjaga
batas-batas dan hak masing- masing. Menurut pendapat Ali Rabbani,pluralisme
agama yang bisa di terima adalah pluralisme dalam makna kedua, yakni dalam
kehidupan bersama secara rukun, masing-masing meyakini kebenaran berada di
pihaknya,penulis sendiri juga sependapat dengan interpretasi kedua,karena jika
kita meyakini kebenaran ada pada semua agama,maka kesaliman aqidah kita akan
goyah.
Kebersamaan hidup antara orang islam dengan non
muslim telah di contohkan oleh rosullulah ketika beliau dengan para sahabat
mengawali hidup di Madinah setelah hijrah. Rosullulah megikat perjanjian
penduduk madinah yang terdiri dari orang orang kafir dan muslim untuk saling
membantu dan menjaga keamanan kota madinah dari ganguan musuh. Rosullulah juga
pernah menggadaikan baju besinya kepada orang-orang Yahudi ketika umat Islam
kekurangan pangan. Hal ini menunjukkan bahwa Islam mengakui
Kebersamaan(pluralitas) dan menolak pluralisme. Sebab Rosululloh telah
mengajarkan kita untuk tetap berkompromi,bergaul, dengan masyarakat diluar
agama Islam dalam hal sosial kemasyarakatan. Rosululloh tetap berinteraksi
secara inklusif dan ekslusif dengan orang diluar agama Islam. Namun dalam hal
aqidah kita tidak boleh saling kompromi,karena sesuai dengan surat Al-Kafirun
ayat 6.
لَكُمْ
دِيْنُكُمْ وَلِىَ دِيْنِ
Artinya:
“Untukmu agamamu,dan untukkulah agamaku”(QS. Al kafirun: 6)
2.
Menggali
konsep Islam tentang Toleransi
a. Pengertian
Toleransi
Toleransi
adalah sifat atau sikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian
(pendapat,pandangan,kepercayaan,kebiasaan,kelakuan,dsb) yang lain atau
bertentangan dengan pendiriannya sendiri(agama,ideologi,ras).[51] Dalam bahasa Arab, toleransi biasa disebut “ikhtimal”,
“tasamuh” yang artinya membiarkan sesuatu untuk dapat saling mengizinkan
dan saling memudahkan.
Toleransi
menurut Syekh Salim bin Hilali memiliki karakteristik sebagai berikut, yaitu
antara lain:
1.
Kerelaan hati karena kemuliaan dan
kedermawanan
2.
Kelapangan dada karena kebersihan
dan ketaqwaan
3.
Kelemah lembutan karena kemudahan
4.
Muka yang ceria karena kegembiraan
5.
Rendah diri dihadapan kaum muslimin
bukan karena kehinaan
6.
Mudah dalam berhubungan sosial
(mu'amalah) tanpa penipuan dan kelalaian
7.
Menggampangkan dalam berda'wah ke
jalan Allah tanpa basa basi
8.
Terikat dan tunduk kepada agama Allah SWT
tanpa rasa keberatan.
Dasar-dasar al-Sunnah (Hadist Nabi) menegaskan bahwa
toleransi dalam Islam itu sangat komprehensif dan serba-meliputi,baik lahir
maupun batin. Maka dari itu, toleransi tidak akan tegak jika tidak lahir dari
hati, dari dalam. Ini berarti toleransi bukan saja memerlukan kesediaan ruang
untuk menerima perbedaan, tetapi juga memerlukan pengorbanan material maupun
spiritual, lahir maupun batin. Di sinilah, konsep Islam tentang toleransi
(as-samahah) menjadi dasar bagi umat Islam untuk melakukan mu’amalah (hablum
minannas) yang ditopang oleh kaitan spiritual kokoh (hablum minallāh).
Kesalahan memahami arti toleransi dapat mengakibatkan
talbisul haqbil bathil (mencampuradukan antara hak dan bathil) yakni suatu sikap
yang sangat dilarang dilakukan oleh seorang muslim, seperti halnya menikah
antar agama dengan toleransi sebagai landasannya. Sebagaimana yang telah
dijelaskan diayat Al-Quran dibawah ini, Allah SWT berfirman:
إن الدين عند الله الإ سلم ومااختلف
الذين أوتواالكتب إلامن بعد ماجاءهم العلم بغيا بينهم ومن يكفر بأيت الله فإن الله
سريع الحساب
Artinya:
“Sesungguhnya
agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang
yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka
karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap
ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya”. (QS.Ali Imran:
19)
Menurut kami, toleransi
dapat disimpulkan sebagai sikap menghargai dan menghormati setiap orang yang
berbeda-beda baik secara etnis, ras, bahasa, budaya, politik, pendirian,
kepercayaan maupun tingkah laku.
b.
Manfaat-manfaat yang diperoleh dari sikap toleransi antara lain:
1.
Menghindari
Terjadinya Perpecahan
Bersikap toleran merupakan solusi
agar tidak terjadi perpecahan dalam mengamalkan agama. Sikap bertoleransi harus
menjadi suatu kesadaran pribadi yang selalu dibiasakan dalam wujud interaksi
sosial. Toleransi dalam kehidupan beragama menjadi sangat mutlak adanya dengan
eksisnya berbagai agama samawi maupun agama ardhi dalam kehidupan umat manusia ini.
Dalam kaitannya ini Allah telah mengingatkan kepada umat manusia dengan pesan yang
bersifat universal, berikut firman Allah SWT:
شرع لكم من الدين ما وصى به نوحاوالذى
أوحينا إليك وماوصينابه إبرهيم وموسى وعيسى أن أقيمواالدين ولاتتفرقوا فيه كبرعلى
المشركين ماتدعوهم إليه الله يجتبى إليه من يشا ءويهدى إليه من ينيب
Artinya: “Dia telah
mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada
Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan
kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu : Tegakkanlah agama dan janganlah kamu
berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu
seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang
dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada -Nya orang yang
kembali.”(As-Syuro:13)
واعتصموا بحبل الله خميعا ولاتفرقوا
واذكروا نعمت الله عليكم إذكنتم أعدآء فألف بين قلو بكم فأصبحتم بنعمته إخونا
وكنتم على شفا حفرة من النا رفأ نقذ كم منها كذ لك يبين الله لكم ءايته لعلكم
تهتدون
Artinya:
”Dan berpeganglah kamu
semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan
ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah)
bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu Karena
nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu Telah berada di tepi jurang
neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.”
(Al-Imran:103)
Pesan universal ini merupakan pesan
kepada segenap umat manusia tidak terkecuali, yang intinya dalam menjalankan
agama harus menjauhi perpecahan antar umat beragama maupun sesama umat
beragama.
2.
Memperkokoh
Silaturrahim dan Menerima Perbedaan
Salah satu wujud dari toleransi hidup beragama adalah menjalin dan
memperkokoh tali silaturahim antar umat beragama
dan menjaga hubungan yang baik dengan manusia lainnya. Pada umumnya, manusia
tidak dapat menerima perbedaan antara sesamanya, perbedaan dijadikan alasan
untuk bertentangan satu sama lainnya. Perbedaan agama merupakan salah satu
faktor penyebab utama adanya konflik antar sesama manusia.
Merajut hubungan damai antar penganut agama hanya bisa dimungkinkan jika
masing-masing pihak menghargai pihak lain. Mengembangkan sikap toleransi
beragama, bahwa setiap penganut agama boleh menjalankan ajaran dan ritual
agamanya dengan bebas dan tanpa tekanan. Oleh karena itu, hendaknya toleransi
beragama kita jadikan kekuatan untuk memperkokoh silaturahim dan menerima adanya perbedaan. Dengan ini, akan terwujud perdamaian,
ketentraman, dan kesejahteraan.
Hal-hal yang dapat terjadi apabila toleransi di dalam masyarakat diabaikan
adalah:
1.
Menimbulkan
konflik di dalam masyarakat dikarenakan tidak adanya saling menghormati satu
sama lain. Yang paling membahayakan dari konflik adalah menyebabkan
lahirnya kekerasan dan adanya korban, dan hal ini dapat berpengaruh pada
keamanan dan stabilitas suatu negara.
2.
Semakin
maraknya pelanggaran HAM. Hal ini disebabkan oleh reduksi universalitas
agama yang mengakibatkan agama tersekat dalam tempurung yang sempit dan
mewujudkan angan-angan tersendiri bagi pengikutnya bisa dalam bentuk fanatisme
sempit yang tidak rasional bahkan menimbulkan ketakutan terhadap agama atau
kelompok yang bisa terkespresi dengan perilaku melanggar HAM.[52]
Upaya-upaya yang dapat mengubah sikap permusuhan menjadi sikap bekerja sama
dan saling menghormati yaitu:
1.
Menyingkirkan
segala upaya politisasi agama dan menempatkan agama sebagai nilai yang
universal
2.
Menumbuhkan
kesadaran bahwa masyarakat terdiri dari berbagai pemeluk agama yang berbeda dan
kebersamaan merupakan hal yang tidak dapat dihindarkan utnuk menjaga
kententraman kehidupan
3.
Kontak yang
sering terjadi, walaupun mungkin tidak sampai pada belajar tentang jaran agama
lain. Yang penting adalah adnaya kesempatan untuk bertemu sehingga
kelihatan bahwa orang lain mesti berupa lawan
4.
Informasi yang adil tentang agama lain.
Mungkin ini merupakan kelanjutan kontak diatas, namun bisa juga terjadi karena
banyaknya media massa yang tidak mengenal batas kelompok
5.
Sikap
pemerintah, seperti negara Pancasila, yang tidak memperlakukan umat-umat
beragama degan berat sebelah
6.
Pendidikan yang
tidak hanya mempertemukan beberapa anak pemeluk agama yang berbeda-beda namun
juga mencerahkan pikiran dan memungkinkannya untuk membuka diri terhadap orang
lain.
c.
Toleransi
dalam Pandangan Islam
Saling
menghargai dalam iman dan keyakinan adalah konsep Islam yang amat
komprehensif. Konsekuensi dari prinsip ini adalah lahirnya spirit taqwa
dalam beragama. Karena taqwa kepada Allah melahirkan rasa persaudaraan
universal di antara umat manusia. Abu Ju’la dengan amat menarik
mengemukakan, “Al-khalqu kulluhum ‘iyālullāhi fa ahabbuhum ilahi anfa’uhum
li’iyālihi” (“Semua makhluk adalah tanggungan Allah, dan yang paling
dicintainya adalah yang paling bermanfaat bagi sesama tanggungannya”).
Selain itu, hadits Nabi tentang persaudaraan universal
juga menyatakan:
قال رسول الله صلى الله عليه وآله
وصحبه وسلم (...ارحموا من في الأرض يرحمكم من في السماء) (حديث صحيح رواه أحمد)
Artinya: Rosululloh
Saw bersabda,”...sayangilah orang yang ada di bumi maka akan sayang pula mereka
yang di langit kepadamu.”
Persaudaran universal adalah bentuk dari
toleransi yang diajarkan Islam. Persaudaraan ini menyebabkan terlindunginya
hak-hak orang lain dan diterimanya perbedaan dalam suatu masyarakat Islam.
Dalam persaudaraan universal juga terlibat konsep keadilan, perdamaian, dan
kerja sama yang saling menguntungkan serta menegasikan semua keburukan.
Fakta historis toleransi juga dapat ditunjukkan
melalui Piagam Madinah. Piagam ini adalah satu contoh mengenai prinsip
kemerdekaan beragama yang pernah dipraktikkan oleh Nabi Muhamad SAW pada awal
pembangunan Negara Madinah. Di antara butir-butir yang menegaskan toleransi
beragama adalah sikap saling menghormati di antara agama yang ada dan tidak
saling menyakiti serta saling melindungi anggota yang terikat dalam Piagam
Madinah.
Contoh lain wujud toleransi Islam kepada agama lain
diperlihatkan oleh Umar ibn-al-Khattab. Umar membuat sebuah perjanjian
dengan penduduk Yerussalem, setelah kota suci itu ditaklukan oleh kaum
Muslimin.
Sikap melindungi dan saling tolong-menolong tanpa
mempersoalkan perbedaan keyakinan juga muncul dalam sejumlah Hadist dan praktik
Nabi. Bahkan sikap ini dianggap sebagai bagian yang melibatkan Tuhan. Sebagai
contoh, dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dalam Syu’ab al-Imam, karya
seorang pemikir abad ke-11, al-Baihaqi, dikatakan: “Siapa yang membongkar aib
orang lain di dunia ini, maka Allah (nanti) pasti akan membongkar aibnya di
hari pembalasan”.
Di sini, saling tolong-menolong di antara sesama umat
manusia muncul dari pemahaman bahwa umat manusia adalah satu kesatuan, dan akan
kehilangan sifat kemanusiaannya bila mereka menyakiti satu sama lain.
Tolong-menolong, sebagai bagian dari inti toleransi, menjadi prinsip yang
sangat kuat di dalam Islam.
Namun, prinsip yang mengakar paling kuat dalam
pemikiran Islam yang mendukung sebuah teologi toleransi adalah keyakinan kepada
sebuah agama fitrah, yang tertanam di dalam diri semua manusia, dan kebaikan
manusia merupakan konsekuensi alamiah dari prinsip ini.
Dalam konteks toleransi antar-umat beragama, Islam memiliki konsep yang
jelas
. لَكُمْ دِيْنُكُمْ وَلِىَ دِيْنِ
“Bagi kalian agama kalian, dan
bagi kami agama kami” (QS. Al-Kafirun:6)
adalah contoh populer dari toleransi dalam Islam .
Dalam hubungannya dengan
orang-orang yang tidak seagama, Islam mengajarkan agar umat Islam berbuat baik
dan bertindak adil. Selama tidak berbuat aniaya kepada umat Islam.
Al-Qur’an juga mengajarkan agar umat Islam mengutamakan terciptanya suasana
perdamaian, hingga timbul rasa kasih sayang diantara umat Islam dengan umat
beragama lain. Kerjasama dalam bidang kehidupan masyarakat seperti
penyelenggaraan pendidikan, pemberantasan penyakit sosial, pembangunan ekonomi
untuk mengatasi kemiskinan, adalah beberapa contoh kerja sama yang dilakukan
antara umat Islam dengan umat beragama lain.
Namum perlu ditegaskan lagi, toleransi tidak
dapat disama artikan dengan mengakui kebenaran semua agama dan tidak pula dapat
diartikan kesediaan untuk mengikuti ibadat-ibadat agama lain. Toleransi
harus dibedakan dari komfromisme, yaitu menerima apa saja yang dikatakan orang
lain asal bis menciptakan kedamaian dan kebersamaan.
Berbeda halnya dengan gagasan dan praktik toleransi
yang ada di barat. Toleransi di barat lahir karena perang-perang agama
pada abad ke-17 telah mengoyak-ngoyak rasa kemanusiaan sehingga nyaris harga
manusia jatuh ke titik nadir. Latar belakang itu menghasilkan
kesepakatan-kesepakatan di bidang. Toleransi antar-agama yang kemudian
meluas ke aspek-aspek kesetaraan manusia di depan hukum.
3.
Menggali
Konsep Islam tentang Multikulturalisme
a. Pengertian Multikulturalisme
Multikultural berarti beraneka ragam kebudayaan.
Menurut Parsudi Suparlan (2002) akar kata dari multikulturalisme adalah
kebudayaan, yaitu kebudayaan yang dilihat dari fungsinya sebagai pedoman bagi
kehidupan manusia. Dalam konteks pembangunan bangsa, istilah multikultural ini
telah membentuk suatu ideologi yang disebut multikulturalisme. Konsep
multikulturalisme tidaklah dapat disamakan dengan konsep keanekaragaman secara
sukubangsa atau kebudayaan sukubangsa yang menjadi ciri masyarakat majemuk,
karena multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam
kesederajatan. Ulasan mengenai multikulturalisme mau tidak mau akan mengulas
berbagai permasalahan yang mendukung ideologi ini, yaitu politik dan demokrasi,
keadilan dan penegakan hukum, kesempatan kerja dan berusaha, HAM, hak budaya
komuniti dan golongan minoritas, prinsip-prinsip etika dan moral, dan tingkat
serta mutu produktivitas.
Multikulturalisme adalah sebuah ideologi dan sebuah
alat untuk meningkatkan derajat manusia dan kemanusiaannya. Untuk dapat
memahami multikulturalisme diperlukan landasan pengetahuan yang berupa bangunan
konsep-konsep yang relevan dan mendukung keberadaan serta berfungsinya
multikulturalisme dalam kehidupan manusia. Bangunan konsep-konsep ini harus
dikomunikasikan di antara para ahli yang mempunyai perhatian ilmiah yang sama
tentang multikulturalisme sehingga terdapat kesamaan pemahaman dan saling
mendukung dalam memperjuangkan ideologi ini. Berbagai konsep yang relevan
dengan multikulturalisme antara lain adalah, demokrasi, keadilan dan hukum,
nilai-nilai budaya dan etos, kebersamaan dalam perbedaan yang sederajat,
sukubangsa, kesukubangsaan, kebudayaan sukubangsa, keyakinan keagamaan,
ungkapan-ungkapan budaya, domain privat dan publik, HAM, hak budaya komuniti,
dan konsep-konsep lainnya yang relevan.
b. Multikulturalisme Menurut Al
Qur’an
Kita perlu kembali merenungkan berbagai ajaran yang
telah disampaikan Allah melalui para Rasul-Nya, yang terdapat dalam kitab Suci
Al Qur’an. Kita hendaknya mampu mengoptimalkan peran agama sebagai faktor
integrasi dan pemersatu. Al qur’an, misalnya, memuat banyak sekali ayat yang
bisa dijadikan asas untuk menghormati dan melakukan rekonsiliasi di antara
sesama manusia. Dalam tulisan ini dapat dikemukkan contoh sebagai berikut;.
Pertama, Al Qur’an menyatakan bahwa; dulu manusia
adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan ) maka Allah mengutus para
Nabi, sebagi pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan. Dan Allah menurunkan
bersama mereka kitab yang benar, untuk memberikan keputusan diantara manusia
tentang perkara yang mereka perselisihkan.
كان الناس أمة وحدة فبعث الله النبين
مبشرين ومنذرين وأنزل معهم الكتب بالحق ليحكم بين النا س فيما اختلفوا فيه وما
اختلف فيه إلا الذين أوتوه من بعد ما جا ءتهم البينت بغيا بينهم فهدى الله الذين
ءامنوا لما اختلفوا فيه من الحق بإذنه والله يهدى من يشآ ءإلى صرط مستقيم
Artinya:
“Tidak berselisih tentang kitab itu melainkan orang
yang telah didatangkan kepada mereka kitab, yaitu setelah datang kepada mereka
keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka
Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal
yang mereka perselisihkan itu dengan kehendakNya. Dan Allah selalu memberi
petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki kepada jalan yang lurus,” (QS Al
Baqarah: 213)
Dengan ayat ini, Al-Qur’an menegaskan konsep
kemanusiaaan universal Islam yang mengajarkan bahwa umat manusia pada mulaya
adalah satu. Perselisihan terjadi disebabkan oleh timbulnya berbagai vested
interest masing-masing kelompok manusia. Yang masing-masing mereka mengadakan
penafsiran yang berbeda tentang suatu hakekat kebenaran menurut vested interest
nya.
Kedua, meskipun asal mereka adalah satu, pola hidupnya
menganut hukum tentang kemajemukan, antara lain karena Allah menetapkan jalan
dan pedoman hidup yang berbeda-beda untuk berbagai golongan manusia. Perbedaan
itu seharusnya tidak menjadi sebab perselisihan dan permusuhan, melainkan
pangkal tolak bagi perlombaan untuk melakukan berbagai kebaikan. Al Qur’an
menyebutkan:
...ولوشاءالله لجعلكم أمة وحدة ولكن ليبلو كم
فى ماءاتكم فاستبقوا الخيرت إلى الله مرجعكم جميعا فينبئكم بما كنتم فيه تختلفون
Artinya: “….. Untuk tiap-tiap manusia diantara
kamu, Kami berikan jalan dan pedoman hidup. Sekiranya Allah menghendaki,
niscaya kamu dijadikannya satu umat saja. Tetapi Allah hendak menguji kamu
terhadap pemberianNya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebaikan. Hanya
kepada Allah-lah kembali kamu semua, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang
telah kamu perselisihkan itu.”(QS. Al-Maidah 48)
Sehingga dari kedua ayat diatas dapat saya tarik
kesimpulan bahwa; betapapun perbuatan yang terjadi pada manusia di bumi ini,
namun hakekat kemanusiaan akan tetap dan tidak akan berubah. Yaitu fitrahnya
yang hanif, sebagai wujud perjanjian primordial (azali) antara Tuhan dan
Manusia sendiri. Responsi atau timbal balik manusia kepada ajaran tentang
kemanusiaan universal adalah kelanjutan dan eksisitensialisme dari perjanjian
primordial itu dalam hidup di dunia ini.
Selain itu, kita juga harus membutuhkan sebuah
artikulasi atau penjabaran suatu visi dari dalam yang baru tentang manusia.
Sekarang menjadi suatu keharusan bahwa semua agama harus mengambil bagian.
Sekurang-kurangnya untuk sebagian dari sebuah visi dari dalam, sebuah konsep
manusia mengenai dirinya sendiri, sesama, bahkan dengan orang yang menyatakan
dirinya tidak beragama. Dalam pencarian itu mungkin sangat penting bagi umat
beragama untuk melihat kepada pribadi-pribadi terkemuka yang dimilikinya dan
peninggalan kolektifnya di masa lampau.
Dari semua pembahasan diatas, jelas bahwa Islam adalah
agama yang terbuka. Maksudnya,tidak memandang apapun dari segi
agama,suku,budaya dan lain sebagainya. Untuk mencapai suatu tujuan
tertentu,kita haruslah bersatu. Sama halnya seperti lidi, satu batang lidi saja
tidak mampu untuk membersihkan sampah, di perlukan banyak batang lidi yang
disatukan menjadi sapu lidi agar bisa membersihkan sampah-sampah. Jadi kita
harus bersatu dengan berbagai keberagaman yang ada.
[1] Zuhairini dkk, Filsafat
Pendidikan Islam,(Jakarta : Bumi Aksara,1995), Hlm.98.
[2] Omar Muhammad al-Toumi al syaibany, Falsafah Pendidikan Islam, Terj.Hasan Langgulung,(Jakarta:Bulan
Bintang,1979), Hlm.399.
[3] Made pidarta, “landasan
pendidikan”, (Jakarta : Rineka Cipta, 1997), Hlm. 7.
[4] Samsul Nizar, Filsafat
Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teoritis, dan Praktis, (Jakarta:
CIPUTAT PERS, 2002). Hlm. 25.
[5] Ibid., Hlm. 25.
[6] Samsul Nizar, Filsafat
Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teoritis, dan Praktis, (Jakarta:
CIPUTAT PERS, 2002). Hlm. 27.
[7] Arifin H.M., Ilmu Pendidikan Islam Tinjauan Teoritis dan Praktis
berdasarkan pendekatan indisipliner, (Jakarta:PT.Bumi Aksara,2008)
[8] Muhaimin, dkk., Paradigma Pendidikan Islam Op Cit, Hlm. 24.
[17] Muchammad Syihabulhaq.
Definisi Takwa. http://pencerahqolbu.wordpress.com/2011/05/25/definisi-taqwa/
[18] Achmad Sunarto, Mutiara
Hadits Qudsi (Surabaya: Karya Agung, 2007) hlm.178.
[21] Awaluddin ML dan Basri,
“Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi untuk Pengembangan Kepribadian”
(Pekanbaru: Pusat Pengembangan Pendidikan Universitas Riau, 2009), hal: 71
[23] Drs. H. Abuddin Nata, M.A., “Akhlak Tasawuf” (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 1996), hal: 145
[24] Awaluddin ML dan Basri,
“Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi untuk Pengembangan Kepribadian”
(Pekanbaru: Pusat Pengembangan Pendidikan Universitas Riau, 2009), hal: 80
[32] Awaluddin ML, “Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum
untuk Pengembangan Kepribadian” (Pekanbaru: Pusat Pengembangan Pendidikan
Universitas Riau, 2009), hal: 84
[34] Harun Nasution, “Islam Rasional, Gagasan dan Pemikiran” (Bandung:
Mizan, 1995), cet. III, hal: 57
[35] Harun Nasution, op. cit., hal: 59
[36]Wahyuddin.dkk. 2009.Pendidikan
Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi.Jakarta; PT. Gramedia Widiasarana Indonesi
Hal. 58
[37] Basri, Awaluddin ML. pendidikan
agama islam di perguruan tinggi umum untuk pengembangan kepribadian. I Hal.
112
[38] Drs . garuda S.M .pendidikan agama islam sekolah menengah kejuruan
kurikulum 1994 hal . 149
[39]Sairin, Weinata. 2002. Kerukunan
umat beragama pilar utama kerukunan berbangsa: butir-butir pemikiran.
[40]Daud Ali, Mohammad, 1998. Pendidikan
Agama Islam, Jakarata: Rajawalu pers.
[41]
http://ade-budayaminang.blogspot.com
[43] Louis Leahy, Manusia Sebuah
Misteri (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1894) hal.2
[44] Tim Penulis Rosda, Kamus Filsafat (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1995), hal. 100-101
[45] Al-Ghazali, Ihya
Ulumuddin (Beirut: Dar Al-Fikr VIII,
1980), hal. 190
[46] Abuddin Nata, Ibid, hal. 89-90
[47] Sa’id bin Muhammad Daib
Hawwa, “Al-Mustakhlash fi Tazkiyatul Anfus”, Penj. Annur Rafiq Shaleh Tamhid,
Mensucikan Jiwa; Konsep Tazkiyatun Nafs Terpadu, (Jakarta: Robbani Press,
2000), hal.20-24
[48] Hayim Asy’ari, Adab Al-Alim
Wa Al-Muta’allim (Jombang: Maktabah Al-Thurast Al-Islami, t. th), hal.24-28
[49] Muhammad Syukron Maksum. Buku
Pintar Agama Islam untuk Pelajar. Mutiara Media: Yogyakarta. Hal 299
[50] Ali Rabbani Gulpaigani. Menggugat
Pluralisme Agama. Jakarta: Alhuda 2004. Hal 4
[51] WJS Poerwadarminta. KBBI Edisi
Ketiga. Jakarta:Balai Pustaka 2003. Hal 1288
[52] Hamdan Farchan. Agama dan HAM
dalam Konteks Masyarakat Pluralis. Yogyakarta:CD Bethesda 2003. Hal 2
0 komentar:
Posting Komentar
@mira_rara ツ
@Mirasandrana
hidup tuh punya tujuan ツ untuk sekarang,esok,dan masa depan ツ.bissmilahirohmanirohim ツI love Allah ツ
rengat,riau ,indonesia · http://mira-sandrana.blogspot.com
Sunting profil anda
* 161 Tweets
* 350 Following
* 88 Followers